Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Kawan2 Yth,
Komersialisasi pendidikan sebagaimana diuraikan oleh Pak Widodo Dwi Putro,
Peneliti LP3ES di harian Kompas, akan menimbulkan makin besarnya kesenjangan
sosial Kelompok orang-orang Kaya dan Kelompok Rakyat Miskin, serta
pelestarian Kelompok orang-orang kaya, serta mengubur kemungkinan proses
migrasi vertikal kelas bawah ke kelas diatasnya. Ini menentang Cita-cita
Nasional Pendirian Republik Indonesia yang ingin membuat negeri ini menjadi
negeri yang aman, makmur, adil, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, bagi
seluruh rakyatnya, dan upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan
sosial diantara masyarakatnya.
Pendidikan yang baik memang memerlukan dana yang besar, dan kami pribadi
tidak menentang kenyataan ini. Tetapi komersialisasi Pendidikan tanpa adanya
alternatif lain untuk mengimbanginya akan menyebabkan orang berlomba2 untuk
memperoleh pendidikan di Universitas atau Sekolah yang terkenal, baik di DN
maupun di LN. Ujung-ujungnya bagi kelompok kaya, ada yang mencari jalan
pintas agar dapat gelar S2 dan S3 dari Universitas/Sekolah begengsi dengan
mengucurkan dana yang besar agar mendapatkan kemudahan-kemudahan.
Oleh karena itu, kita semua sebagai warga Negara Republik Indonesia yang
mencintai negeri ini agar bisa mencapai cita-cita yang kita inginkan sesuai
piagam pendirian Republik ini perlu mencari jalan alternatif pendidikan lain
yang terjangkau masyarakat Indonesia yang kurang mampu.
Mengingat saat ini Indonesia telah berhasil mengembangkan jaringan Akses
Internet Berpita Lebar (Broadband Internet Network) yang cukup luas
jangkauannya, maka kami ingin mengusulkan agar Pemerintah/Masyarakat/Swasta
untuk mengembangkan suatu alternatif pendidikan melalui jaringan ini, yang
biasa disebut sebagai e-Learning/e-Education, Pendidikan secara Online.
Materi untuk pendidiak atau Kontent untuk pendidikan ini sudah banyak
tersedia dari berbagai sumber Universitas-universitas besar di LN, seperti
dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Open Course Ware yang sudah
tersedia secara gratis sebanyak 1800 subyek pendidikan, dan dari yang
lainnya. Dari Indonesia juga sudah ada tersedia antara lain di Web
http://ilmukomputer.com, dan lainnya lagi, seperti dari Perpustakaan Online
Dr. Onno W. Purbo.
Agar hal ini dapat terjadi, maka perlu ada kesepakatan bersama diantara
kita, dan yang lebih penting adanya Akreditasi dari DEPDIKNAS, bahwa
pendidikan online ini, asalkan diselenggarakan secara baik dan teratur
sesuai persyaratan yang ditentukan DEPDIKNAS, maka para lulusannya berhak
menyandang gelar pendidikan yang setara dengan Pendidikan yang Komersiil
tersebut diatas. Bila perlu, ujian kenaikan kelas atau tingkat dan ujian
akhir dilakukan bersamaan dengan ujian di berbagai Sekolah2 atau
Universitas2 yang begengsi, untuk menghindari tuduhan bahwa produk
Sekolah/Universitas Online ini tidak bermutu.Para siswa/mahasiswa
sekolah/Universitas Online ini dipersaingkan dengan para Siswa/Mahasiswa
sekolah/univesitas komersiil bergengsi tersebut.
Lalu bagaimanakah para siswa/mahasiswa sekolah/universtas Online itu? Ada
berbagai cara:
1. Di tempat-tempat umum yang dibangun khusus untuk Akses Gratis Internet
untuk siswa/mahasiswa oleh Pemerinah (Depdiknas), Swasta, atau Lembaga
Non-Profit, seperti di Perpustakaan Umum, Hot Spots WiFi di Mall, Cafe,
Warnet, Taman, dsb. Untuk yang akses gratisan, maka di layar PC atau Laptop
diperbolehkan dipasan iklan produk atau jasa sebagai imbalannya.
2. Bila siswa/mahasiswa sudah memiliki PC atau Laptop, baik milik sendiri
atau fasilitas perusahaan tempatnya bekerja, maka mereka dapat melakukan
akses ke materi-materi atau kuliah pendidikan yang dipilihnya, gratis atau
berbayar murah.
3. Untuk materi pendidikan atau kuliah, dibuat di DN atau dari terjemahan
dari Open Course Ware (OCW) produk berbagai Univesitas atau sekolah di LN,
dan agar didapat secara gratis.
4. Pemerintah melaui DEPDIKNAS agar memberikan subsidi kepada Penyelenggara
Pendidikan Online ini dari sebagian dana APBN untuk pendidikan yang Rp 49
Trilyun tersebut. Subsidi atau Kontribusi dana ini dapat pula diberikan oleh
perusahaan-perusahaan Swasta, Operator-operator Telekomunikasi, dll, sebagai
kewajiban Community Social Responsibility (CSR).
5. Untuk menghemat biaya Akses Internet, di lokasi-lokasi Pendidikan
tersebut diatas juga disediakan Akses Offline, dengan menyimpan data-data
Course Ware tertentu yang sangat populer, di Harddisk PC/Laptop, atau Pusat
Server Jaringan LAN.
6. Diadakan kerjasama khusu antara Organisasi Warnet dengan Organisasi
Penyelenggara Online Education/Learning ini.
e-Education/e-Learning vs Pendidikan Komersiil ini analogi-nya adalah Open
Source Software/Free OSS vs Software Proprietary, dimana keduanya tetap
exist untuk menjadi pilihan masyarakat.
Mohon kiranya dapat diberikan tanggapan, saran atau kritik, sehingga dapat
dibuat sebuah kesimpulan untuk dilaksanakan bersama.
Semoga bemanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.
Wassalam,
S Roestam
Komersialisasi Pendidikan: Widodo Dwi Putro
[kompas] SEJUMLAH perguruan tinggi negeri (PTN) besar berlomba membuka
"jalur khusus" penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp 15
juta sampai Rp 150 juta. Berbagai langkah PTN itu ditempuh menyusul
kebijakan dijadikannya kampus sebagai Badan Hukum Milik Negara, yang
tidak lagi mendapat subsidi melainkan diharuskan mencari dana sendiri
(Kompas, 16 Juni 2003).
KETIKA komersialisasi pendidikan itu mendapat kritik, Mendiknas Abdul
Malik Fadjar menanggapi sebagai berikut, "Yang penting itu terbuka,
transparan, dan akuntabilitasnya terjamin. Itu saja" (Kompas, 17
Juni2003). Hanya atas alasan demikiankah lalu bisnis pendidikan
seolah-olah menjadi suatu yang rasional, produktif, efisien, wajar,
dan manusiawi. Apa benar boleh dijalankan, asal dilakukan secara
transparan?
Dalam ideologi mana pun, liberal atau sosialis, negara diharuskan
menyediakan pendidikan untuk rakyatnya. Dalam sistem sosialis, rakyat
memperoleh pendidikan tanpa biaya. Kendati demikian, dalam sistem
sosialis (terutama yang totaliter) negara sering mendapat kritik
karena ia (negara) selalu campur tangan dalam banyak hal, yakni mulai
dari kurikulum hingga buku yang boleh dibaca atau tidak.
Sedangkan dalam sistem liberal, peran pemerintah sangat kecil dan
pendidikan dikelola secara profesional oleh swasta. Implikasinya,
pendidikan menjadi komoditas bisnis sehingga hanya anak orang kaya
saja yang dapat mereguk pendidikan yang berkualitas. Lalu pendidikan
Indonesia berada dalam sistem yang mana?
Orangtua siswa yang hidup pada zaman Orde Lama akan teringat bagaimana
ketika bersekolah dulu tanpa biaya. Bahkan mereka diberi alat tulis
menulis gratis. Pada masa Orde Baru keadaan mulai berubah. Negara
memang tetap menyubsidi pendidikan, tetapi biaya untuk sekolah mulai
mahal terutama sekolah-sekolah swasta.
Meskipun demikian, sulit untuk mengatakan bahwa pada masa Orde Baru
sistem pendidikan telah bergeser ke liberal. Walaupun pendidikan sudah
menjadi komoditas, tetapi negara kerap kali turut campur mulai dari
indoktrinasi (misalnya, penataran P4), kurikulum hingga pelarangan
mempelajari ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan stabilitas.
Pada masa sekarang, negara meningkatkan subsidi pendidikan hingga 20
persen dari APBN. Namun setelah Indonesia memasuki pusaran neoliberal,
subsidi sebesar itu tidak signifikan, apalagi diperparah oleh korupsi
yang terbendung. Pada fase neoliberal, peran negara mulai dilucuti dan
digantikan dengan kedaulatan pasar.
Termasuk dalam sektor pendidikan, negara melakukan deregulasi atau
lebih dikenal dengan nama otonomi pendidikan. Kebijakan otonomi
pendidikan ini menyebabkan sejumlah perguruan tinggi harus mencari
dana sendiri, terutama dengan jalan bisnis atau istilahnya World Trade
Organization (WTO) sebagai commercial service.
KONSEKUENSI memilih sistem neoliberal adalah pendidikan menjadi ajang
bisnis. Dapat kita saksikan bagaimana belalai komersialisasi
pendidikan tidak hanya meluas pada perguruan tinggi, tetapi sudah
membelit hingga sekolah dasar dan menengah. Ada sekolah, mulai SD
hingga SMU di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta, yang uang sekolahnya
mencapai Rp 3 juta per bulan.
Sekolah-sekolah super elite itu ber-AC dan menawarkan berbagai program
memikat di antaranya pelajaran ekstra kurikuler out born, belajar
berkuda, dan belajar tata pergaulan internasional. Banyak orangtua
kaya yang memasukkan anak mereka ke sekolah mewah ini karena berharap
masa depan anaknya gemilang.
Barangkali kita bisa menyimak pendapat seorang pengusaha yang
menjadikan Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, Eropa, dan AS sebagai
lahan bisnisnya ketika berbicara tentang pendidikan anaknya sebagai
berikut, "Cuma anak tertua, perempuan, yang saya sekolahkan sampai
universitas terkenal di Indonesia.
Sesudah itu saya sekolahkan MBA ke Amerika. Dua adiknya, begitu tamat
SD langsung saya kirim ke Selandia Baru dan Australia untuk SMP dan
SMA-nya. Kini keduanya juga di Amerika. Mengapa begitu? Mereka akan
mewarisi bisnis saya. Memang basis bisnis mereka adalah Indonesia.
Tetapi di abad ke-21 ini bergerak begitu cepat, banyak hal yang harus
dipelajari" (Kompas, 24 Juni 2002).
Argumentasi dalam kliping itu memang tidak dapat mewakili responden
atau informan yang lain. Tetapi paling tidak, kita dapat mengetahui
secuil motif mengapa para orangtua rela mengeluarkan uangnya untuk
biaya pendidikan yang begitu mahal? Melalui pendidikan yang mahal dan
berkualitas, mereka ingin melestarikan posisi kelasnya hingga pada
keturunan berikutnya.
Dengan kata lain, bisnis pendidikan semacam ini adalah sarana
pelestarian kelas, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas
bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Analisis ini kedengarannya
radikal, tetapi kita tidak bisa menghindari karena pembacaan
realitasnya memang demikian. Bahwa dapat dipastikan hanya strata
sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang
bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi
tertinggal dan masuk dalam lingkaran calon pengangguran, atau kalaupun
bekerja melanjutkan profesi orangtuanya sebagai penjual bakso, tukang
becak, buruh, petani gurem, dan sebagainya.
Pierre Bourdieu dalam The State Nobility dan Homo Academicus
mempersoalkan hal yang kurang lebih sama. Menurut Bourdieu,
orang-orang tidak hanya menginvestasikan uangnya dalam bentuk saham,
tetapi juga dalam bentuk symbolic capital (kapital yang bersifat
simbolik). Penelitian Bourdieu pada suku barbar di Aljazair dan
masyarakat modern Perancis dapat menjelaskan tentang symbolic capital.
Di Aljazair, masyarakat barbar tidak mempunyai modal produksi, maka
jumlah ternak menjadi ukuran status dalam hubungan-hubungan sosial.
Namun sebaliknya di Perancis, symbolic capital lebih penting, sehingga
kenapa para aristokrat di sana mengarahkan secara ketat anaknya harus
sekolah di tempat yang bermutu dan ternama, serta mendapat gelar dari
sekolah tersebut. Tentu, investasi berupa symbolic capital itu untuk
melanggengkan aristokrasi yang sangat penting dalam relasi sosial.
Dari hasil temuan filsuf Perancis ini kita dapat memahami mengapa ada
orang harus menginvestasikan uangnya dalam jumlah begitu besar hanya
sekadar mendapat gelar akademis. Mereka sadar akan pentingnya gelar S2
atau doktor, apalagi dari universitas terkenal. Selain gelar
pendidikan itu mendudukkan orang-orang pada posisi terhormat, juga
mempermudah laju masa depannya.
Komersialisasi pendidikan memang bermata ganda, di samping
mereproduksi pelestarian kelas dominan, juga mencampakkan ilmu
pengetahuan sebagai alat memanusiakan manusia ke lembah "pelacuran
intelektual" (istilahnya, J Benda). Bukankah pendidikan yang lebih
terkonsentrasi pada laba adalah getting things done daripada mengatasi
penderitaan manusia dan menolong sesama?
KENDATI komersialisasi pendidikan mempunyai basis pendukung yang luas,
bukan berarti ia hadir tanpa perlawanan. Ivan Illich, misalnya,
menyerukan kepada masyarakat dunia untuk melakukan deschooling
society. Demikian pula, Romo Mangunwijaya semasa hidupnya pernah
membuat pendidikan alternatif.
Dan hingga sekarang, di kota kecil Pekalongan pun tumbuh pendidikan
alternatif dengan nama "Sekolah Sadar Sosial". Walau pada akhirnya,
suara alternatif itu tenggelam ditelan oleh hingar-bingarnya
komersialisasi pendidikan yang menjanjikan masa depan. "Kunang- kunang
tetap berkedip walau malam semakin larut," hibur seorang ideolog muda
dari Yogyakarta.
Widodo Dwi PutroPeneliti LP3ES Jakarta
--
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis