Pak Reza, Pak Rusmanto dan Kawan2 Yth, Terimakasih atas kesediaannya untuk menyediakan Perangkat Lunaknya untu e-Learning/e-Education.
Saya akan menyediakan Server dan Bandwithnya.
Saat ini sedang saya ujicoba, bisa lihat di: http://www.masif.com/ Bisa kontak via HP?
Wassalam,
Sumitro Roestam
08159126320
0811839142
===================== Resza Ciptadi writes:
2008/2/23 Sumitro <[EMAIL PROTECTED]>:
Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Kawan2 Yth,
 Komersialisasi pendidikan sebagaimana diuraikan oleh Pak Widodo Dwi Putro,
 Peneliti LP3ES di harian Kompas, akan menimbulkan makin besarnya kesenjangan
 sosial Kelompok orang-orang Kaya dan Kelompok Rakyat Miskin, serta
 pelestarian Kelompok orang-orang kaya, serta mengubur kemungkinan proses
 migrasi vertikal kelas bawah ke kelas diatasnya. Ini menentang Cita-cita
 Nasional Pendirian Republik Indonesia yang ingin membuat negeri ini menjadi
 negeri yang aman, makmur, adil, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, bagi
 seluruh rakyatnya, dan upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan
sosial diantara masyarakatnya.
 Pendidikan yang baik memang memerlukan dana yang besar, dan kami pribadi
 tidak menentang kenyataan ini. Tetapi komersialisasi Pendidikan tanpa adanya
 alternatif lain untuk mengimbanginya akan menyebabkan orang berlomba2 untuk
 memperoleh pendidikan di Universitas atau Sekolah yang terkenal, baik di DN
 maupun di LN. Ujung-ujungnya bagi kelompok kaya, ada yang mencari jalan
 pintas agar dapat gelar S2 dan S3 dari Universitas/Sekolah begengsi dengan
mengucurkan dana yang besar agar mendapatkan kemudahan-kemudahan.
 Oleh karena itu, kita semua sebagai warga Negara Republik Indonesia yang
 mencintai negeri ini agar bisa mencapai cita-cita yang kita inginkan sesuai
 piagam pendirian Republik ini perlu mencari jalan alternatif pendidikan lain
yang terjangkau masyarakat Indonesia yang kurang mampu.
 Mengingat saat ini Indonesia telah berhasil mengembangkan jaringan Akses
 Internet Berpita Lebar (Broadband Internet Network) yang cukup luas
 jangkauannya, maka kami ingin mengusulkan agar Pemerintah/Masyarakat/Swasta
 untuk mengembangkan suatu alternatif pendidikan melalui jaringan ini, yang
biasa disebut sebagai e-Learning/e-Education, Pendidikan secara Online.
 Materi untuk pendidiak atau Kontent untuk pendidikan ini sudah banyak
 tersedia dari berbagai sumber Universitas-universitas besar di LN, seperti
 dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Open Course Ware yang sudah
 tersedia secara gratis sebanyak 1800 subyek pendidikan, dan dari yang
 lainnya. Dari Indonesia juga sudah ada tersedia antara lain di Web
 http://ilmukomputer.com, dan lainnya lagi, seperti dari Perpustakaan Online
Dr. Onno W. Purbo.
 Agar hal ini dapat terjadi, maka perlu ada kesepakatan bersama diantara
 kita, dan yang lebih penting adanya Akreditasi dari DEPDIKNAS, bahwa
 pendidikan online ini, asalkan diselenggarakan secara baik dan teratur
 sesuai persyaratan yang ditentukan DEPDIKNAS, maka para lulusannya berhak
 menyandang gelar pendidikan yang setara dengan Pendidikan yang Komersiil
 tersebut diatas. Bila perlu, ujian kenaikan kelas atau tingkat dan ujian
 akhir dilakukan bersamaan dengan ujian di berbagai Sekolah2 atau
 Universitas2 yang begengsi, untuk menghindari tuduhan bahwa produk
 Sekolah/Universitas Online ini tidak bermutu.Para siswa/mahasiswa
 sekolah/Universitas Online ini dipersaingkan dengan para Siswa/Mahasiswa
sekolah/univesitas komersiil bergengsi tersebut.
 Lalu bagaimanakah para siswa/mahasiswa sekolah/universtas Online itu? Ada
berbagai cara:
 1. Di tempat-tempat umum yang dibangun khusus untuk Akses Gratis Internet
 untuk siswa/mahasiswa oleh Pemerinah (Depdiknas), Swasta, atau Lembaga
 Non-Profit, seperti di Perpustakaan Umum, Hot Spots WiFi di Mall, Cafe,
 Warnet, Taman, dsb. Untuk yang akses gratisan, maka di layar PC atau Laptop
diperbolehkan dipasan iklan produk atau jasa sebagai imbalannya.
 2. Bila siswa/mahasiswa sudah memiliki PC atau Laptop, baik milik sendiri
 atau fasilitas perusahaan tempatnya bekerja, maka mereka dapat melakukan
 akses ke materi-materi atau kuliah pendidikan yang dipilihnya, gratis atau
berbayar murah.
 3. Untuk materi pendidikan atau kuliah, dibuat di DN atau dari terjemahan
 dari Open Course Ware (OCW) produk berbagai Univesitas atau sekolah di LN,
dan agar didapat secara gratis.
 4. Pemerintah melaui DEPDIKNAS agar memberikan subsidi kepada Penyelenggara
 Pendidikan Online ini dari sebagian dana APBN untuk pendidikan yang Rp 49
 Trilyun tersebut. Subsidi atau Kontribusi dana ini dapat pula diberikan oleh
 perusahaan-perusahaan Swasta, Operator-operator Telekomunikasi, dll, sebagai
kewajiban Community Social Responsibility (CSR).
 5. Untuk menghemat biaya Akses Internet, di lokasi-lokasi Pendidikan
 tersebut diatas juga disediakan Akses Offline, dengan menyimpan data-data
 Course Ware tertentu yang sangat populer, di Harddisk PC/Laptop, atau Pusat
Server Jaringan LAN.
 6. Diadakan kerjasama khusu antara Organisasi Warnet dengan Organisasi
Penyelenggara Online Education/Learning ini.
 e-Education/e-Learning vs Pendidikan Komersiil ini analogi-nya adalah Open
 Source Software/Free OSS vs Software Proprietary, dimana keduanya tetap
exist untuk menjadi pilihan masyarakat.
 Mohon kiranya dapat diberikan tanggapan, saran atau kritik, sehingga dapat
 dibuat sebuah kesimpulan untuk dilaksanakan bersama.
Semoga bemanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.
 Wassalam,
 S Roestam

Idenya bagus banget pa. Bagaimana kalau mulai di jalankan sehingga
bisa di perbaiki secara pelan-pelan. Karena analoginya FOSS di jalanin
ajah model bazaar, ntar dikit2 di benerin, gausah tunggu besar. Apa
yang bisa saya bantu, paling saya bisa ikut bantuin nyetting moodle
atau openussnya, kalo urunan server, bandwith angkat tangan.
IMHO masalah yang mungkin mengganggu bukan urusan infrastruktur teknis
gitu saja menurut saya yang lebih sulit membuat image/brand sehingga
menarik dan dapat dipakai, ini kerja yang lebih berat lagi, terutama
dari pengalaman FOSS sendiri. Ini sebisa mungkin bisa memakai
infrastruktur komunitas FOSS yang sudah ada baik web, maupun
pertemuan2 mereka. Mudah2an bisa terwujud. Amin.

Komersialisasi Pendidikan: Widodo Dwi Putro
 [kompas] SEJUMLAH perguruan tinggi negeri (PTN) besar berlomba membuka
 "jalur khusus" penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp 15
 juta sampai Rp 150 juta. Berbagai langkah PTN itu ditempuh menyusul
 kebijakan dijadikannya kampus sebagai Badan Hukum Milik Negara, yang
 tidak lagi mendapat subsidi melainkan diharuskan mencari dana sendiri
(Kompas, 16 Juni 2003).
 KETIKA komersialisasi pendidikan itu mendapat kritik, Mendiknas Abdul
 Malik Fadjar menanggapi sebagai berikut, "Yang penting itu terbuka,
 transparan, dan akuntabilitasnya terjamin. Itu saja" (Kompas, 17
 Juni2003). Hanya atas alasan demikiankah lalu bisnis pendidikan
 seolah-olah menjadi suatu yang rasional, produktif, efisien, wajar,
 dan manusiawi. Apa benar boleh dijalankan, asal dilakukan secara
transparan?
 Dalam ideologi mana pun, liberal atau sosialis, negara diharuskan
 menyediakan pendidikan untuk rakyatnya. Dalam sistem sosialis, rakyat
 memperoleh pendidikan tanpa biaya. Kendati demikian, dalam sistem
 sosialis (terutama yang totaliter) negara sering mendapat kritik
 karena ia (negara) selalu campur tangan dalam banyak hal, yakni mulai
dari kurikulum hingga buku yang boleh dibaca atau tidak.
 Sedangkan dalam sistem liberal, peran pemerintah sangat kecil dan
 pendidikan dikelola secara profesional oleh swasta. Implikasinya,
 pendidikan menjadi komoditas bisnis sehingga hanya anak orang kaya
 saja yang dapat mereguk pendidikan yang berkualitas. Lalu pendidikan
Indonesia berada dalam sistem yang mana?
 Orangtua siswa yang hidup pada zaman Orde Lama akan teringat bagaimana
 ketika bersekolah dulu tanpa biaya. Bahkan mereka diberi alat tulis
 menulis gratis. Pada masa Orde Baru keadaan mulai berubah. Negara
 memang tetap menyubsidi pendidikan, tetapi biaya untuk sekolah mulai
mahal terutama sekolah-sekolah swasta.
 Meskipun demikian, sulit untuk mengatakan bahwa pada masa Orde Baru
 sistem pendidikan telah bergeser ke liberal. Walaupun pendidikan sudah
 menjadi komoditas, tetapi negara kerap kali turut campur mulai dari
 indoktrinasi (misalnya, penataran P4), kurikulum hingga pelarangan
mempelajari ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan stabilitas.
 Pada masa sekarang, negara meningkatkan subsidi pendidikan hingga 20
 persen dari APBN. Namun setelah Indonesia memasuki pusaran neoliberal,
 subsidi sebesar itu tidak signifikan, apalagi diperparah oleh korupsi
 yang terbendung. Pada fase neoliberal, peran negara mulai dilucuti dan
digantikan dengan kedaulatan pasar.
 Termasuk dalam sektor pendidikan, negara melakukan deregulasi atau
 lebih dikenal dengan nama otonomi pendidikan. Kebijakan otonomi
 pendidikan ini menyebabkan sejumlah perguruan tinggi harus mencari
 dana sendiri, terutama dengan jalan bisnis atau istilahnya World Trade
Organization (WTO) sebagai commercial service.
 KONSEKUENSI memilih sistem neoliberal adalah pendidikan menjadi ajang
 bisnis. Dapat kita saksikan bagaimana belalai komersialisasi
 pendidikan tidak hanya meluas pada perguruan tinggi, tetapi sudah
 membelit hingga sekolah dasar dan menengah. Ada sekolah, mulai SD
 hingga SMU di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta, yang uang sekolahnya
mencapai Rp 3 juta per bulan.
 Sekolah-sekolah super elite itu ber-AC dan menawarkan berbagai program
 memikat di antaranya pelajaran ekstra kurikuler out born, belajar
 berkuda, dan belajar tata pergaulan internasional. Banyak orangtua
 kaya yang memasukkan anak mereka ke sekolah mewah ini karena berharap
masa depan anaknya gemilang.
 Barangkali kita bisa menyimak pendapat seorang pengusaha yang
 menjadikan Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, Eropa, dan AS sebagai
 lahan bisnisnya ketika berbicara tentang pendidikan anaknya sebagai
 berikut, "Cuma anak tertua, perempuan, yang saya sekolahkan sampai
universitas terkenal di Indonesia.
 Sesudah itu saya sekolahkan MBA ke Amerika. Dua adiknya, begitu tamat
 SD langsung saya kirim ke Selandia Baru dan Australia untuk SMP dan
 SMA-nya. Kini keduanya juga di Amerika. Mengapa begitu? Mereka akan
 mewarisi bisnis saya. Memang basis bisnis mereka adalah Indonesia.
 Tetapi di abad ke-21 ini bergerak begitu cepat, banyak hal yang harus
dipelajari" (Kompas, 24 Juni 2002).
 Argumentasi dalam kliping itu memang tidak dapat mewakili responden
 atau informan yang lain. Tetapi paling tidak, kita dapat mengetahui
 secuil motif mengapa para orangtua rela mengeluarkan uangnya untuk
 biaya pendidikan yang begitu mahal? Melalui pendidikan yang mahal dan
 berkualitas, mereka ingin melestarikan posisi kelasnya hingga pada
keturunan berikutnya.
 Dengan kata lain, bisnis pendidikan semacam ini adalah sarana
 pelestarian kelas, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas
 bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Analisis ini kedengarannya
 radikal, tetapi kita tidak bisa menghindari karena pembacaan
 realitasnya memang demikian. Bahwa dapat dipastikan hanya strata
 sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang
 bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi
 tertinggal dan masuk dalam lingkaran calon pengangguran, atau kalaupun
 bekerja melanjutkan profesi orangtuanya sebagai penjual bakso, tukang
becak, buruh, petani gurem, dan sebagainya.
 Pierre Bourdieu dalam The State Nobility dan Homo Academicus
 mempersoalkan hal yang kurang lebih sama. Menurut Bourdieu,
 orang-orang tidak hanya menginvestasikan uangnya dalam bentuk saham,
 tetapi juga dalam bentuk symbolic capital (kapital yang bersifat
 simbolik). Penelitian Bourdieu pada suku barbar di Aljazair dan
masyarakat modern Perancis dapat menjelaskan tentang symbolic capital.
 Di Aljazair, masyarakat barbar tidak mempunyai modal produksi, maka
 jumlah ternak menjadi ukuran status dalam hubungan-hubungan sosial.
 Namun sebaliknya di Perancis, symbolic capital lebih penting, sehingga
 kenapa para aristokrat di sana mengarahkan secara ketat anaknya harus
 sekolah di tempat yang bermutu dan ternama, serta mendapat gelar dari
 sekolah tersebut. Tentu, investasi berupa symbolic capital itu untuk
melanggengkan aristokrasi yang sangat penting dalam relasi sosial.
 Dari hasil temuan filsuf Perancis ini kita dapat memahami mengapa ada
 orang harus menginvestasikan uangnya dalam jumlah begitu besar hanya
 sekadar mendapat gelar akademis. Mereka sadar akan pentingnya gelar S2
 atau doktor, apalagi dari universitas terkenal. Selain gelar
 pendidikan itu mendudukkan orang-orang pada posisi terhormat, juga
mempermudah laju masa depannya.
 Komersialisasi pendidikan memang bermata ganda, di samping
 mereproduksi pelestarian kelas dominan, juga mencampakkan ilmu
 pengetahuan sebagai alat memanusiakan manusia ke lembah "pelacuran
 intelektual" (istilahnya, J Benda). Bukankah pendidikan yang lebih
 terkonsentrasi pada laba adalah getting things done daripada mengatasi
penderitaan manusia dan menolong sesama?
 KENDATI komersialisasi pendidikan mempunyai basis pendukung yang luas,
 bukan berarti ia hadir tanpa perlawanan. Ivan Illich, misalnya,
 menyerukan kepada masyarakat dunia untuk melakukan deschooling
 society. Demikian pula, Romo Mangunwijaya semasa hidupnya pernah
membuat pendidikan alternatif.
 Dan hingga sekarang, di kota kecil Pekalongan pun tumbuh pendidikan
 alternatif dengan nama "Sekolah Sadar Sosial". Walau pada akhirnya,
 suara alternatif itu tenggelam ditelan oleh hingar-bingarnya
 komersialisasi pendidikan yang menjanjikan masa depan. "Kunang- kunang
 tetap berkedip walau malam semakin larut," hibur seorang ideolog muda
dari Yogyakarta. Widodo Dwi PutroPeneliti LP3ES Jakarta

 --
 Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis


--
Resza
http://jakarta.linux.or.id
http://www.bonekatux.com
--
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis



--
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis

Kirim email ke