BAGAI `ULAR'  MELOMPAT dari JIDAT

U Thamana Kyaw, guruku yang terkasih kaget saat saya melapor kemajuan
meditasi secara rutin 2 hari sekali , memang saya tak melihat langsung
perubahan wajahnya(kami tak diijinkan menatap langsung guru meditasi),
tapi saya merasakan posisi duduknya yang tiba-tiba diubah.

Pagi itu saya melaporkan pusaran kecil bergerak dari alis kiri ke alis
kanan mondar-mandir.

"Mungkin itu angin?" katanya diterjemahkan seorang ibu penerjemah,"
kapan kamu merasakannya?"

"Saat saya mau tidur," kataku tetap beranjali dan menunduk.

Mendengar itu, tiba-tiba  beliau merubah posisi duduk, seperti orang
terkejut, "sebelumnya kamu belajar ilmu apa?"

"Tidak belajar apa-apa" kataku reflek tanpa pikir panjang, karena takut.

"Dulu sehabis dari sini kamu ke India, di India belajar apa?" tanyanya
mengulang  yang diterjemahkan penerjemahnya. Beliau sendiri bisa
bahasa Inggris, namun lebih nyaman menggunakan penerjemah. 

Dulu, sebulan setelah ditabis beliau aku pamit ke India dan diijinkan.
Kini, setelah mengikuti Word Buddhist Sangha Council di Myanmar, aku
tak menyiakan kesempatan masuk center lagi.

Dalam kondisi center meditasi yang ketat, melakukan sesuatu yang salah
adalah menakutkan, belum divonis kita down dulu. Untuk memprotek diri
saya langsung menjawab, "tidak belajar apa-apa, di India aku melakukan
ziarah ke tempat suci Buddhis," jawaban paling aman menurutku.

Susah bagiku yang biku Theravada, ditabis di center ini oleh beliau,
menjelaskan di India saya juga mengikuti Nyung Nay retreat, mengambil
Bhodisattva Sila dan 1000 armed Chenrezig inisiasi oleh Jhado Rinpoche
di Tushita Meditation Center beraliran Tantra. Apakah guruku akan
mengerti? Pikirku naïf, oleh simple mind berpikir itu upacara biasa.
Jadi memang saya tak belajar apa-apa.

Guruku yang tekasih itu agaknya mengerti. Ia tak mengejar lagi,
sebelumnya saya belajar ilmu apa? Ia kemudian menuntun mengamati objek
yang dominan. Apa yang dominan yang aku rasakan, itu yang diamati.
Dalam hal ini sesuatu yang bergerak di dahi saya.

Dalam tahap ini, saya menjalani pengamatan menyakitkan dan melelahkan.
Pusaran itu setelah diawasi dengan ketat berhenti di titik tengah
antara kedua alis. Karena titik itu terus berputar, saya mengamati
titik itu. Makin diamati, titik itu berputar makin kuat dan tajam,
bagaikan sebuah bor terus berputar mengebor jidat saya. Sakit... dan
lelah.. sampai kapan?

Selama proses menyakitkan itu, berulang kali aku meminta waktu bertemu
guruku yang juga merupakan abbot, kepala vihara. Sebuah permintaan
yang amat mahal dan tak pernah dikabulkan oleh biku-biku pengawas di
hall. Mereka hanya mengatakan, akan disampaikan, akan di sampaikan, titik.

Sampai akhirnya, setelah melewati rangkain sakit yang amat sangat,
suatu siang aku merasakan titik di jidatku jebol. Sebuah aliran
meluncur, bagaikan seekor ular menerjang, mendobrak keluar dari titik
diantara kedua jidat saya. 

Ah, melegakan, proses itu akhirnya selesai juga.

Keesokan harinya, seperti terjadwal dua hari sekali aku mendapat
kesempatan melapor hasil meditasi ke guruku yang terkasih. Aku
menceritakan proses menyakitkan itu, sampai akhirnya merasakan sesuatu
menjebol, bagaikan ular melompat dari titik di kedua alis di jidat saya.

Guruku yang terkasih mendengarkan dengan seksama dan tertawa. Aku lega
mendengar tawanya. Itu berarti, proses yang aku alami bukan sesuatu
yang salah. Selanjutnya beliau membimbingku untuk mengamati objek yang
dominan saja. 

Beliau tak bertanya lagi selama di India aku belajar ilmu apa? Tinggal
aku  sendiri yang bertanya-tanya, maksud beliau bertanya seperti itu
apa? Pertanyaan yang mana aku tak pernah punya kekuatan menanyakannya. 

Dalam perjalanan belajar `ilmu', aku hanya pernah mendapat ilmu dari
seorang tua penjaga galangan kapal di Jambi. Itupun menurutku bukan
`belajar', tapi `hadiah'. Karena kondisi warung kakak saya suka
diganggu preman setempat, pas aku pulang ke Jambi orang tua itu
menawarkan ilmu `kuda lumping' pada aku. 

Dikatakan ilmu kuda lumping karena setelah menerima ilmu kita bisa
makan kaca dan beling seperti kuda lumping. Dikatakan `hadiah' karena
sifatnya pemberian. Dengan menggunakan sebatang (saya lupa namanya,
kemangi atau apa yang bisa didapat dari penjual bunga dan kemenyan di
Pasar Angso Duo Jambi) yang diposisikan seperti sedotan antara alat
kelamin orang tua itu dan saya (kita dalam posisi berdiri berhadapan
berpakaian lengkap), orang tua itu menuntun aku membaca kalimat
syahadat, ilmu tersebut langsung aku miliki. Dan ini bukan isapan
jempol, setelah itu aku mengetes di belakang rumah, ilmu itu bekerja.
Sampai aku kembali ke Jakarta pun ilmu itu tetap bekerja.

Orang tua itu cuma berpesan, tak boleh dipamerkan. Ia sempat
menawarkan ilmu kebal, dimana harus melalui ritual mandi di sungai
Batanghari, tapi tak sempat dilakukan karena keburu kembali ke
Jakarta. Untuk berjaga-jaga aku sempat bertanya, kalau tak mau lagi
melepasnya bagaimana?

"Cukup ke sungai dan ucapkan `kau yang ada di dalam diriku, pergilah,
aku tak membutuhkannya lagi,'" katanya lagi malam itu di gardu jaganya. 

Setelah mengenal Buddha Dharma dan belajar meditasi, mula-mula
dibimbing guru penabisku sebagai samanera yang sangat aku kasihi dan
hormati Bhante Dharmavimala Thera, selanjutnya aku belajar pada Bhante
Suryabhumi Mahathera. 

Aku sempat bertanya pada Bhante Suryabhumi Mahathera, kalau kita
pernah belajar ilmu terus belajar meditasi bagaimana? Yang dijawab
beliau, tak apa-apa, ilmu itu akan hilang sendiri. 

Jawaban beliau yang aku jadikan patokan. Sampai sekarang aku tak
pernah ke sungai melepaskannya, aku juga tak pernah mengetes ilmu itu
masih bekerja atau tidak.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, yang dimaksud guruku U Thamana Kyaw
yang mana? Beliau hanya tahu sebelumnya aku pernah pamit ke India,
tapi aku tak pernah cerita selain jiarah juga mengikuti Nyung Nay
retreat, mengambil Bhodisattva Sila dan 1000 armed Chenrezig inisiasi
oleh Jhado Rinpoche di center Tantra. Juga sebulan di Shwe Oe Min
center. Jadi yang dimaksud `belajar ilmu' dari orang tua itu, atau
dari Tantra? Sudah pasti bukan di Shwe Oe Min yang juga center vipassana.

Oleh kesempatan terbatas, center yang ketat, meskipun guruku baik, aku
tak punya kesempatan dan keberanian bercerita dan menanyakannya hingga
kini.


Ancol, 14 Januari 2009 (12.56 menjelang pagi)

Harpin R


Sumber:  www.harpin.wordpress.com


Kirim email ke