----- Forwarded Message ---- From: junaidi anwar <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, December 26, 2006 5:34:43 PM Subject: [MB] Kisah dari Lereng Pegunungan Himalaya hingga Sankisa
Kisah dari Lereng Pegunungan Himalaya hingga Sankisa Sudah beberapa hari saya meninggalkan Himachal Pradesh, lereng pegunungan tempat pemerintahan sementara H.H. Dalai Lama ke-14, barangkali saat ini dharamsala sudah semakin dingin, dan salju sudah semakin banyak. Sekarang posisi saya di Uttar Pradesh, tiba di sebuah organisasi Buddhis di India, Youth Buddhis Society [YBS], sebuah organisasi sosial yang bergerak dengan semangat Socially Engaged Buddhism, Suresh Chandra Bauddha sebagai penggerak utama juga sekaligus sebagai presiden YBS, ia merupakan kakak tertua dari teman sekelasku belajar Bahasa Tibet di Dharamsala, Kailash Chandra Bauddha. Kailash 3 bulan lebih awal belajar Bahasa Tibet di Library of Tibetan Works & Archives (LTWA), awal september aku tiba di sana dan entah bagaimana, begitu saja kita jadi teman dekat, semakin lama kita semakin saling mengerti, tahun 2006, seharusnya Kailash mewakili YBS untuk ikut pelatihan INEB di Thailand (kalau tidak salah ingat di Thailand), tapi karena ada sedikit masalah, dan ia mengganti reancananya, yaitu belajar Bahasa Tibet di LTWA. Berkat bantuan Samdong Rinpoche (sekarang beliau adalah Perdana Menteri Tibet), Kailash mendapat tempat khusus di LTWA, semua fasilitas diberikan secara cuma-cuma, dan ia juga membantu menerjemahkan beberapa buku bahasa inggris ke Bahasa Hindi, dan membantu LTWA untuk menyunting beberapa buku dalam Bahasa Hindi. Aku banyak mendengar kisah Kailash, dia menceritakan organisasinya, apa yang mereka lakukan, aktifitas sosial, peach march, mengadakan perayaan hari suci buddhis, mengundang biksu dari berbagai aliran untuk memberikan ceramah dharma, memberi manfaat kepada sukunya, suku Shakya, kepada seluruh masyarakat India. Pemerintah India mengklaim bahwa suku Shakya telah punah dan tidak ada lagi di muka bumi, dan telah hilang dari tanah India, tapi klaim ini sungguh naif, buktinya saya bertemu dengan seorang teman yang didalamnya mengalir darah dan mewarisi tulang dari “Dia” yang telah tercerahkan sempurna. Sungguh pertama-tama aku hanya ingin ketawa, apa manfaatnya mengaku suku shakya, aku menolak untuk mempercayainya, walau demikian, hatiku berkata, selidikilah, apakah benar dia adalah keturunan Shakya, cicit dan buyut dari keluarga agung jaman India purbakala. Semakin lama, semakin banyak aku mengetahui, keyakinan juga mulai muncul sedikit demi sedikit, Kailash sangat terpelajar, ia tahu semua kisah-kisah Buddha, semua detil-detil yang kadang saya juga tidak tahu, ia bahkan membaca paritta pali dengan sempurna dan lancar, sungguh luar biasa, kekaguman mulai muncul, Kailash pernah bercerita bahwa salah satu saudaranya telah ditahbiskan di Sri Lanka, namanya Yang Mulia Biku Upananda, aku lupa nama guru pentahbisnya, kali ini bertemu Bhante Upananda lagi, pertama kali bertemu di Dharamsala, karena beliau pernah berkunjung ke Dharamsala sekali. Menurut kisah Kailash, Bhante Upananda adalah biku pertama yang ditahbiskan menjadi biku dari suku Shakya sejak sekian lama runtuhnya buddhisme di tanah India, saya jadi teringat Yang Agung, Yang Sulit kusebutkan namanya, dia yang menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, pembawa ajaran Buddha kembali ke bumi pertiwi, Beliau adalah Sukong Ashin Jinarakhita. Berkat kebaikan hati Beliau, kita bisa melihat dan mengerti, betapa indahnya dharma, begitu luasnya ajaran Buddha. Setelah menyelidiki lebih dalam, ternyata istilah Bhante juga menjadi sapaan hormat bagi seorang anggota biksu di India, sesama buddhis mereka menyapa 'Namo Buddha' atau 'Namaste', Namo Buddha tentu saja pujian atau hormat kepada Buddha, dan Namaste berarti aku ingin sujud di kakimu memberi hormat, beginilah Suresh menjelaskan istilah itu kepadaku. Hari pertama tiba di Mainpuri, Distrik Etawa, Uttar Pradesh; kita langsung menuju basecamp YBS, ada sebuah altar sederhana, setumpuk buku buddhis, dan beberapa informasi tentang organisasi di berbagai negara, terutama informasi organisasi buddhis di Korea Selatan. Kailash pernah bilang bahwa kakaknya yang paling tuanya, Suresh bisa berbahasa korea lancar, aneh bagiku, karena bagaimana bisa berbahasa korea lancar sedangkan ia bukan dari sekolah bahasa, dan sama sekali tidak pernah kerja di perusahaan korea. Usut sana-sini, akhirnya ketahuan, bahwa ada seorang biksu dari korea, Yang Mulia Song Wol Joo, yang menjadi sponsor Suresh untuk belajar Bahasa Korea selama 3 tahun, dan semua itu diberikan secara gratis, lantas bagaimana bisa terjadi begini? Dengan bekal dharma yang sangat sedikit, dan sebuah semangat yang besar menebar buddhadharma kembali di tanah India, ia memberi pelajaran gratis kepada anak-anak miskin, ia bahkan mengorban banyak uang, energi, uang, demi memberikan edukasi kepada kaum miskin, ia bilang, dr Ambedkar adalah contoh paling baik, ia yang dari kaum paling rendah saja bisa mencapai sukses, mengapa kita tidak menjadikan ia sebagai teladan? Suresh melihat anak-anak kucel, kotor, kulit keriput, hitam itu mengemis, Suresh sungguh tidak tega melihat kaumnya sendiri mengemis, dengan sedikit tenaga yang ia punya, ia memberi pelajaran kepada mereka, memberikan bekal-bekal sederhana, mengajar mereka membaca, menulis, dan sebagainya; memberikan anak-anak permen supaya semakin banyak anak-anak yang datang, Suresh berpesan, anda boleh datang, saya akan memberi kamu pelajaran, keterampilan sederhana, permen, dan uang, mulai sekarang kalian tidak boleh mengemis! Tindakan spontan itu ternyata mendapat sambutan sangat hangat dari masyarakat, bahkan pemerintah setempat juga sangat simpatik, bantuan pun datang dari beberapa institusi pemerintah maupun masyarakat setempat, mereka bahkan merelakan tanah mereka, uang, makanan untuk aktifitas sosial demikian. Yang Mulia Song Wol Joo adalah presiden dari Good Hand for Global Gumsansa Youngwhasa Temple dari Chogye Order, dan merupakan silsilah dari Jogye Order Buddhisme di Korea, suatu kebetulan ia berkunjung ke India tahun 1980an, dengan tidak sengaja beliau melihat Suresh dan melihat semua aktifitasnya, oleh karena itu Suresh diberi sponsor untuk belajar Bahasa Korea dan mengecap pendidikan di Korea selama kurang lebih 3 tahun. Terciptakah koneksi India dan Korea, hubungan yang dipertemukan oleh dharma, semangat memberi pelayanan dan membantu sesamanya. YBS semakin membesar, hingga saat ini sudah ada 56 lokasi, pelan tapi pasti, berjuang dengan semangat dharma, semangat seorang bodhisatwa tanpa lelah. Suresh dengan cepat menguasai bahasa korea, 3 tahun telah berlalu, ia kembali ke tanah airnya, kembali membangun, menebar dharma dengan berbagai upaya yang ia punya, mendirikan sekolah, mendirikan tempat kursus komputer murah, mengorganisir kursus-kursus keterampilan untuk masyarakat desa dengan harga murah sekali, demi memberi mereka edukasi, demi memberi bekal hidup berupa keterampilan kepada rakyat miskin, kemudian baru memberi pelajaran-pelajaran dharma sederhana kepada mereka. Aku, Kailash, dan seorang biksu dari Korea Selatan, Yang Mulia Hong In adalah teman sekelas belajar Bahasa Tibet di Dharamsala, seorang pemuda Indonesia berumur 27 tahun, seorang India yang mengaku dari keturunan Shakya berumur 21 tahun, dan seorang biksu dari Naong Society Korea Selatan yang sekarang ini telah berumur 65 tahun, beliau sangat-sangat tua tapi tampak sehat segar-bugar, kita bertiga berkunjung ke Mainpur, Distrik Etawa, Uttar Pradesh, daerah kampung halaman Kailash, daerah yang bermukim sisa suku Shakya, daerah yang banyak dikunjungi oleh Buddha Shakyamuni pada jaman dahulu. Tiket kereta dari Phatankot menuju Etawa hanya ada 2, karena tiket Y.M Hong In (bahasa korea mereka menggil biksu dengan sebutan Sunim) dibeli belakangan, tapi ketika di Stasiun kereta, kita tidak sengaja bertemu dengan seorang anggota militer, bersama istri dan seorang anak perempuaanya ingin pulang ke Etawa juga, anggota militer mendapat fasilitas tiket gratis kereta, setelah bercerita panjang, kita bilang bahwa tiket kita cuman ada 2, dan satu lagi waiting list, jadi Kailash atau saya bergantian tidur, atau bahkan tidur berimpit-impitan, dan satu lagi tempat buat Sunim, anggota militer itu adalah buddhis, dan juga dari keturunan suku Shakya, sungguh suatu kebetulan, ia memiliki tiket lebih, jadi ia mempersembahkan kepada Sunim, entahlah, ini berkah yang sangat mulia, mungkin karena kita membawa seorang anggota sangha, jadi berkah alami dan kebajikan itu. Perjalanan dari Phatankot ke Etawa sekitar 18 jam, sepanjang perjalanan kita banyak ngobrol dengan anggota militer itu, ia mengundang kita bertiga untuk mampir ke daerah Sidpur (Youl Militer Basecamp), daerah Himachal Pradesh juga, daerah Sidpur juga terletak Summer Palace HH Dalai Lama, dan Gyuto Tantic Monastery tempat HH Karmapa ke-17 berdiam. Ia bercerita bahwa sebagai anggota militer sangat melelahkan, ia sudah mengabdi selama 18 tahun, 3 tahun lagi ia bisa pensiun, ia ingin belajar dharma tapi tidak ada waktu, sekelilingnya semua beragama hindu, dia tidak minder walaupun sendirian, bahkan teman-temanya menganggap ia beragama hindu, bagi dia tidak ada masalah sama sekali. Sebelum bertugas di Youl Camp, dia bertugas di New Delhi, di situ ada beberapa teman buddhis juga, tetapi semenjak pindah ke Youl Camp, ia tidak punya teman berdiskusi dharma lagi, dia bahkan sering mampir ke Gyuto Tantric Monastery, ia bilang sungguh bahagia HH Dalai Lama dan HH Karmapa membawa berkah dharma kembali ke tanah India, walau ia tidak mengerti Bahasa Tibet, walau ia tidak mengerti dharma seperti apa yang diajarkan disitu, walaupun jubah merah menyala tampak aneh bagi dia, tetapi dalam hati ia sangat-sangat bermudita atas aktifitas bajik itu, melihat banyak biksu yang belajar dan mempraktikkan dharma. Malam itu kita berdiksusi banyak, Kailash, aku, anggota militer itu bercerita tentang masing-masing, tujuan kita belajar Bahasa Tibet, dan sebagainya, ia sungguh senang, dan ia berkali-kali bilang, kalian harus datang ke rumah saya di Youl Camp, harus datang, kami akan menunggu kedatangan kalian, undangan yang sangat tulus dan murni, ini membuat kita berdua semakin semangat lagi berjuang, belajar, dan melayani semua orang semampu-mampunya kita. Pagipun telah datang, tibanya saat kita berpisah, ia bersama istri dan anak perempuannya cilik yang lucu melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat jalan dan terus berjuang kepada kita, mereka menunggu kedatangan kita di Youl Camp tahun depan. Setiba di YBS, kita istirahat dan bertemu dengan keluarga Kailash, keluarga miskin yang tidak memiliki apapun, yang ada hanya semangat seorang bodhisatwa yang aku lihat di semua keluarganya, dari sekian generasi, mereka hanya mendapatkan cerita tentang nenek moyangnya, nenek moyang mereka yang satu persatu di telusuri hingga bertemu dengan suku Shakya, inilah yang aku dapatkan dari mereka. Mereka tidak mengerti dharma, tapi banyak dari mereka tahu bahwa salah satu nenek mereka adalah orang suci yang pernah hidup di jaman India kuno, ia bernama Siddharta Gautama, hanya itu yang mereka tahu, mereka tidak seperti kita, Indonesia sangat beruntung karena Alm. Maha Biksu Ashin telah membawa ajaran Buddha kembali ke bumi Indonesia, kita bisa belajar banyak, berlatih, dan berbuat kebajikan, semua ini karena inspirasi dan kebaikan hati seorang Guru Agung, seorang biksu sederhana yang berlatih sangat-sangat gigih demi banyak orang pada khususnya untuk masayarakat Indonesia. Pada hari kedua, masyarakat sudah tahu kedatangan seorang biksu dari Korea di desa mereka, semua ingin mengundang makan, mereka ingin memberikan suguhan paling baik kepada praktisi dharma, kepada anggota sangha, keadaan ini sungguh membawaku ke kisah-kisah jaman dahulu, ketika Buddha dan para muridnya di undang oleh masyarakat kerumahnya, memberikan berkah dan nasihat-nasihat untuk menjalankan kehidupan suci. Sarapan pagi di sebuah rumah sederhana, seluruh keluarga ceria, menyiapkan semuanya dengan penuh suka cita, kedatangan seorang biksu sangat mereka nanti-nantikan, walaupun sarapan pagi sesuatu yang aneh, Sunim tetap bisa menikmatinya, seorang biksu tua dari Korea yang sangat-sangat sederhana dan berpengetahuan luas, ia tidak tampak lelah walaupun kita baru tiba kemarin, ia tidak mengeluh apapun tentang makanan, walaupun aku tahu persis bahwa orang korea sangat memilih-milih dalam hal makanan, tapi beliau sungguh menjadi teladan yang sangat baik, kita mencicipi semua makanan yang disiapkan oleh pengundang, makanan-makanan khas India, kita ditemani Suresh sebagai penerjemah bahasa Korea ke bahasa Hindi, Bhante Upananda, Kailash dan beberapa anggota dari YBS. Sang pengundang sarapan pagi juga mengundang seorang tetangganya, ia beragama Hindu dan adalah pejabat cukup tinggi di bagian kontraktor pemerintahan di Distrik Etawa, sempat ada dialog antara Sunim dan pejabat itu, ternyata ia sangat tertarik pada Buddisme, dan ada seorang wartawan juga datang untuk meliput berita ini, dan terbit di koran lokal. Entah kebetulan atau apa, berita utama koran lokal itu adalah tentang pergantian Sekjen PBB Kofi Anan, Ban Ki Moon menteri luar negeri Korea Selatan akan bertugas mulai Januari tahun depan, dan halaman berikutnya adalah berita tentang kunjungan kita ke distrik itu beserta fotonya. Setelah selesai sarapan pagi, kita diskusi panjang, dan ada seorang wartawan yang meliput berita dan bertanya tentang histori masuknya buddhisme ke Korea, bangsa Ayurvidya dari India yang membawa buddhisme ke Korea, dan terjadi perkawinan silang antara masyarakat korea dan India, banyak biksu dari India yang dikirim ke Korea pada jaman itu, ada sebuah Stupa dari India yang hingga saat ini disimpan dengan baik di salah satu Biara di Korea, Sunim bilang bahwa lihatlah ada sebagian orang korea yang mirip dengan India walaupun kulit mereka putih, tapi banyak yang memiliki karakteristik mirip dengan India, walaupun berbeda tapi antara Korea dan India memiliki kaitan yang sangat erat. Kunjungan selanjutnya adalah tempat kursus menjahit, ketika kita tiba, mereka menyambut kita dengan memberikan bunga segar, dan kita duduk, Sunim memberikan nasihat-nasihat yang sangat-sangat segar dan membangun kemudian Suresh menerjemahkannya ke Bahasa Hindi, apapun yang kita pelajari, lakukanlah dengan baik, keterampilan yang dipelajari dengan baik bisa digunakan untuk masa depan, pendidikan India dan Korea sangat berbeda, pemerintah bahwa memberikan pendidikan gratis di Korea, tapi di India tidak demikian, YBS memberikan dukungan dan sekaligus membantu pendanaan kursus menjahit. Dalam 4 bulan, kursus ini sudah ada sekitar 65 orang murid di setiap center, dan sekarang sudah 3 center yang berdiri, kadang masyarakat setempat sangat bermurah hati, mereka memberikan tempat, bahkan tanah mereka dengan suka rela, karena kursus seperti ini betul-betul demi kemajuan dan memberikan bekal kepada anak-anak perempuan dalam menjahit, tersentuh oleh niat tulus dan semangat para pemuda-pemudi itu, masyarakat setempat juga ikut mendukung, beginilah hidup mereka di desa. Kehidupan yang penuh dengan berbagai kesulitan. Instruktur hanya satu, dan setiap hari ada beberapa shif kelas, dan dia harus mondar-mandir di tiga center kursus jahit itu, sungguh luar biasa, ketika di wawancara, instruktur itu hanya senyum dan mata berkaca-kaca, dia bilang awalnya sungguh tidak yakin, apakah akan memberi manfaat, dia adalah anggota YBS yang sangat semangat, siswa hanya membayar 600 rupee (sekitar 120ribu rupiah) untuk belajar menjahit selama 6 bulan, ternyata dalam 4 bulan siswa sudah meledak, banyak yang ingin belajar, kita semua tahu bahwa penduduk India menduduki populasi terpadat pada urutan ke-2 (kalau tidak salah ingat), pendidikan sangat-sangat tidak memadai. Dengan asumsi ini, Suresh dan kawan-kawan mendirikan kursus demikian, setiap center hanya dibekali dengan satu mesin jahit, satu shif kelas ada sekitar 20 sampai 30 siswa, terpikir bagaimana berebutan mesin yang satu-satunya itu. Menurut instruktur yang merupakan gadis kurus tinggi itu, dengan pakaian khas India, ia bilang kalau mengajarkan tentang mengunting dan mengukur tidak banyak masalah, mereka juga sangat cermat dan rajin, tapi ketika pelajaran praktik menjahit, sedikit kesulitan, instruktur harus menjahit pelan-pelan memberi contoh, dan mereka ingat baik-baik dan mempraktikkan sendiri di rumah masing-masing bagi mereka yang memiliki mesin jahit, karena sebagian mereka ada mesin jahit di rumah. Sungguh susah mereka belajar, saya iseng tanya Kailash, berapakah harga mesin jahit? Kailash bilang sekitar 2000 rupee (400ribu rupiah), aku langsung tersentak dan bilang, oke aku mau sumbang satu mesin jahit buat mereka, dan mereka langsung tepuk tangan bersorak-sorak, dan sangat senang, dan kemudian Sunim juga mau ikutan, dan ada satu cewe korea yang kebetulan bersama kita, ia meliput berita-berita kegiatan, juga ingin menyumbang. Jadi minimal mereka sudah ada 3 mesin jahit baru, semoga bisa bergantian memakainya, dana pembelian mesin jahit sudah kuserahkan kepada Bhante Upananda. Terus terang, menyumbang 400 ribu rupiah bagiku cukup berat juga, karena mengingat aku sekarang adalah orang tak berpenghasilan, murni hanya menghabiskan tabungan, tapi dalam hati hanya berpikir, duit akan datang ketika kita melepas dan memberi dengan tulus, tidak perlu kuatir, aku punya otak, punya daya pikir, bisa berbisnis sederhana untuk memperoleh uang, jadi uang segitu tidak bermasalah, sebetulnya Suresh pada saat itu juga sudah mengumumkan ingin menyumbang 1 lagi mesin jahit, makanya aku spontan tanya Kailash, jika hanya 2000 rupee, biarlah demi mendukung kemajuan studi mereka, aku berkorban sedikit, uang habis bisa cari lagi, dengan demikian berharap mereka bisa belajar lebih giat, memotivasi mereka, sekaligus menunjang kemajuan mereka. Aku tertarik berdana dan bahkan itu spontan karena YBS betul-betul bekerja demi mendidik dan memberi bekal kepada masyarakat miskin, bahkan ada siswa yang tak mampu membayar uang kursus, atau hanya membayar sebagian saja, mereka tetap diperlakukan sama, tidak ada yang iri hati, tidak ada yang saling menunjuk, semua datang hanya dengan tujuan mendapatkan ilmu, mendapatkan keterampilan yang nanti bisa digunakan untuk menghidupi diri sendiri. Siang itu kita menuju rumah berikutnya, seorang umat buddhis yang juga merupakan keturuan suku Shayka, rumah mereka sederhana, hidup dengan bertani, tapi dibandingkan dengan masyarakat di dusun itu, keluarga pengundang ini termasuk cukup sukses karena kegigihannya, selain itu satu keluarga mereka juga sangat peduli dengan perkembangan ajaran Buddha. Tiba di rumah mereka, kita duduk di lantai, lalat bertaburan, terkesan jorok, tapi dalam hati sangat senang, tidak memikirkan jorok atau bau kotoran sapi, dan bau selokan yang tidak enak, mereka menyediakan makanan-makanan khas India, makanan paling enak untuk tamu khusus, kita santap siang dan setelah itu seperti biasa ada pembabaran dharma singkat oleh Sunim, sungguh ingin meneteskan air mata, suasana cerita buddhis terbayang dalam pikiran, sebagaimana Buddha diundang makan, setelah itu pembabaran dharma dan nasihat-nasihat untuk keluarga, dan pelimpahan jasa oleh Bhante Upandanda, ternyata Bhante Upananda membaca paritta pali dengan sempurna, ia adalah lulusan sarjana sejarah, dan doktor di bidang Bahasa Pali. Desa itu banyak anak-anak kecil yang kucel, tak berpendidikan, pakaian seadanya, buang air besar juga sembarangan, kotoran sapi bertebaran di mana-mana, tapi mereka hidup seperti biasa, pemandangan seperti itu bagi kita mungkin sedikit aneh dan geli, tapi inilah hidup mereka, air bersih sulit, makanan sulit, bekerja siang dan malam banting tulang, kulit mereka keriput, wajah tidak terawat, rambut berjumbai berantakan, tidak bersandal, badan juga entah berapa lama tidak dibersihkan, beginilah hidupnya suku Shakya, sisa-sisa cucu dan buyut dari keluarga agung jaman dahulu, mereka terdesak karena sistem kasta dan desakan kaum Brahma, bahkan kaum Brahma mengancam dengan ganas. Setelah dari desa kecil yang banyak bermukim suku Shakya itu, kita berkunjung ke sebuah tempat yang bernama Sankisa, perhatikan kembali judul di atas, inilah Sankisa yang akan saya beberkan ceritanya. Menuju jalan panjang, hampir 2 jam, melewati sawah-sawah luas, melihat berbagai binatang langka bertebaran, ada merak, monyet, bangau, sapi, mereka semua hidup bebas, tanpa ada yang mengusik. Terbayang di benakku, tanah airku, tanah Indonesia, mungkin sudah di tangkap dan dijual demi keuntungan pribadi, tapi lihat dan contohlah saudara-saudari kita di India, mereka sangat-sangat menghargai kehidupan para binatang langka maupun binarang biasa, pemerintah memang menetapkan aturan, barang siapa yang ketahuan menangkap atau memperjual belikan binatang langka atau binatang yang dilindungi, maka akan dihukum berat, tapi masyarakat tampak tak mengerti adanya aturan ini, mereka hidup berdampingan dengan berbagai binatang itu, membiarkan mereka hidup bebas, aturan ada atau tidak, kelihatannya tidak memberi dampak kepada mereka, karena sebagian besar mereka tampak menikmati hidup dan senang melihat burung, bangau, merak, burung-burung indah berterbangan, dan memang banyak orang India yang vegetarian, itulah perbedaan yang aku lihat. Plastik sangat dilarang di Dharamsala, begitu juga di beberapa tempat lain, karena plastik sangat berbahaya, hal seperti ini bisa sukses di India, memang sedikit aneh, kok belanja dibungkus dengan koran, karena kebiasaan di indonesia menggunakan plastik, plastik menjadi sampah yang sangat merusak lingkungan, bahkan tak bisa terurai oleh bakteri dalam tanah, lama-lama semakin sadar bahwa plastik memang sangat berbahaya, oleh karena itu banyak toko-toko yang tidak menggunakan kantong plastik, hampir setiap orang memiliki kantong khusus terbuat dari kain yang bisa dipakai berulang-ulang, kantong ini sebagai kantong belanja, inilah sedikit usaha yang sangat berarti dalam menjaga lingkungan India. Sampailah kita di Sankisa, pertama lihat, hanya sebuah gundukan tanah tinggi, ada semen-semen khusus ceper dan tipis, dan itu adalah stupa yang sudah runtuh, dan reruntuhan itu sudah tak berbentuk lagi, tapi dari kisah yang diturunkan secara turun-temurun, gundukan itu adalah stupa yang pernah dibangun oleh Raja Ashoka, Sankisa adalah nama daerah itu, ada sebuah sungai hitam, Buddha melewati sungai itu, dan turun dari Surga Tavatimsa, dan turun tepat di Sankisa di pinggiran sungai itu, oleh karena itulah Raja Ashoka membuatkan sebuah stupa peringantannya. Mengapa Buddha ke Tavatimsa? Karena beliau pergi memberikan pelajaran dharma kepada Ibundanya, sebagai tanda terima kasih seorang anak kepada Ibundanya, menurut kisah, bahwa dalam perjalanan pulang ke dunia, Buddha ditemani oleh Brahma yang membawa payung untuk memayungi Buddha di sebelah kiri, dan disebelah kanan adalah Dewa Indra membawa Patta (mangkuk menerima dana) di sebelah kanan, banyak orang yang menyambut kedatangan Buddha, dan masyarakat Sankisa-lah yang melihat langsung kejadian ini, cerita ini-pun diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya, kisah ini tetap hidup hingga jaman modern sekarang, dan dikisahkan kembali oleh saya sendiri kepada teman-teman. Mengapa stupa ini rusak? Karena pemerintah tidak melakukan upaya pemeliharaan, karena pemerintah jaman dahulu tidak peduli dengan hal-hal demikian, lihatlah tempat-tempat bersejaran yang dibuat oleh Ashoka, hampir tidak ada yang utuh karena tangan manusia dan lapuk oleh waktu. Satu hal yang betul-betul membuat saya sedih adalah, di atas reruntuhan stupa itu, para umat mayoritas di India, membuat kuil mereka, sungguh sedih. Setiap tahun ada perayaan di reruntuhan stupa itu, mereka yang dari daerah sekitar dan beberapa dusun sisa suku Shakya ber-ramai-ramai datang untuk melakukan puja dan pradaksina, mereka hanya tahu bahwa ini adalah tempat bersejarah yang berkaitan dengan nenek moyang mereka, saat ini juga menjadi sangat tegang dan berbahaya, karena beresiko terjadi bentrokan antara umat Buddha dengan umat mayoritas di India yaitu Hindu, oleh karena itulah, satu tahun sekali, banyak petugas polisi yang berjaga-jaga di daerah ini untuk mencegah terjadinya bentrokan. Sisa suku Shakya dan umat buddha yang berkumpul di situ sangatlah banyak, aku melihat ada jalan setapak lingkaran melingkari stupa itu, buktinya sering ada yang datang untuk melakukan pradaksina. Di sekitar itu ada sebuah pilar gajah yang dibangun oleh Raja Ashoka, tapi wajah gajah itu sudah tidak ada lagi, karena di rusak oleh masyarakat, yang tersisa adalah ornamen pilar, bunga teratai yang sangat besar, dan diatasnya ada seekor gajah yang bagian kepalanya sudah hancur. Hal ini kembali membuatku ingat Indonesia, mengingat Borobudur, mereka yang tak bertanggung jawab telah merusak rupang-rupang di Borobudur, banyak rupang yang tak berkepala, hancur bagian sisi, bagian tangan, dan sebagainya, beginilah monumen bersejarah, tempat-tempat suci buddhis yang sengaja didirkan demi kebaikan cucu dan buyut di jaman akan datang, tempat-tempat suci ini dihancurkan oleh kebodohan dan kedengkian manusia di muka bumi ini. Setelah itu kita mampir di sebuah vihara Birma, ada 2 orang biksu di sana, tapi entah kenapa vihara ditutup, dan seolah-olah tidak ada orang, karena Bhante Upananda kenal dengan mereka, maka ada 2 orang biksu keluar menyapa dan kita bisa masuk ke ruang bhaktisala untuk sujud di altar, menurut kenyataanya, mereka tidak mau pergi ke desa-desa terpecil di sekitar situ untuk memberi pelajaran dharma, mereka enggan turun ke daerah-daerah kumuh, mereka tidak tahan dengan bau tidak sedap kotoran sapi, dan sebagainya, pelajaran dharma di vihara tersebut juga sangat kurang, dan keberadaan vihara tidak memberi manfaat kepada masayarakat sekitarnya, aku sungguh tak percaya, aku bahkan membela, mungkin mereka ada tugas lain, dan harus ada yang vihara, dan sebagainya, namun kenyataannya memang sedikit berlainan, yang membuat aneh adalah mereka tidak memberikan pelajaran dharma dalam bahasa Hindi, atau bahasa lokal setempat, mereka tidak berkunjung ke rumah-rumah buddhis, mereka tidak memberikan pelayanan, dan Vihara juga sering tutup, tidak ada kebaktian maupun aktifitas spiritual lainnya Aku hanya terhenyak saja mendengar situasi begini dari cerita Kailash, vihara terlihat megah, besar, dalam pembangunan, dan ada satu blok tempat mewah, itu adalah tempat penginapan, harganya juga cukup mahal, menurut kisah mereka, vihara megah dan hanya menerima tamu khusus dan tamu berduit saja, untuk apa vihara didirikan megah? Ada atau tidak ada vihara sama saja, tidak memberi manfaat kepada masyarakat lokal setempat, sekali lagi, aku tetap membela, mungkin ada keadaan yang kita tidak mengerti, jadi tampak luar memang begini yang terjadi, namun kita tetap berharap vihara ini bisa memberikan kontribusi di masa akan datang, dan memberi manfaat besar kepada masyarakat lokal dan masyarakat miskin sekitarnya. Setelah itu kita kembali berkunjung ke desa kumuh, desa ini sangat-sangat kumuh dan kotor, kalau ada makanan enak, dan kita ditempatkan disitu, mungkin selera makan kita akan hilang total, tapi satu desa itu adalah desa buddhis, tapi mereka tak banyak tahu tentang dharma, hidup sebagai petani, pekerja kasar, dan mereka adalah desa yang sedikit tertutup, mereka adalah sisa keturunan shakya, jadi kita mengunjungi kelompok sisa-sisa suku Shakya, mereka ini juga yang berbondong-bondong menuju Sankisa setiap tahun untuk memperingati hari bersejarah kepulangan Buddha dari Tavatimsa, minimal ada 2 desa yang akan datang ramai-ramai ke Sankisa, jumlahnya bisa sampai 400 ribu orang yang berkumpul di reruntuhan stupa itu, mereka begitu yakin walaupun itu hanya kisah yang diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Mengetik sampai disini, pingangku sungguh pegal, karena mengetik di lantai, tangan juga pegal, kepala juga sedikit panas, kaki juga sedikit pegal, tapi aku sungguh takut aku tak sempat mengetikkan semua kisah ini, aku takut aku lupa dan malas mengetiknya, aku takut kisah ini hilang dari ingatanku ketika aku membiarkan kemalasan menjalar dikepalaku, oleh karena itu, pinggang sakit, tangan pegal, kaki pegal, aku tetap meneruskan mengetik, aku tidak mau melewatkan kisah-kisah sangat inspirastif ini hilang dari ingatanku, ketika aku mengetiknya, aku sudah memperkuat memoriku, aku membelajarkan diriku sendiri, juga sekaligus memberikan sharing kepada teman-teman. Kita kembali lagi... Barusan Suresh masuk kamar, ia bertanya apa yang sedang kulakukan, saya bilang lagi bikin cerita-cerita singkat, kisah-kisah perjalanan. Ia berdiskusi dengan Sunim, perlu anda ketahui bahwa Sunim sedang berada di sebelahku sedang baca, umur sudah 65 tahun, tapi masih sangat enerjetik belajar dharma, malukah kita generasi muda yang suka bermalas-malasan? Bhante barusan juga masuk kamar, kita berbincang-bincang singkat, saya bilang ke Bhante bahwa saya lagi ngetik kisah perjalanan, merekam semua kejadian kemarin, sungguh kisah luar biasa, bhante sangat senang, dan sekaligus aku tanya tentang Upajaya dan Acharya Bhante Upananda, beliau bilang Acharya beliau adalah Y.M Prajnananda dari Lucknow, dan Upajjaya beliau adalah Y.M Chanderbodhi, beliau ditahbiskan Sramanera pada tahun 1992 dan pentahbisan penuh menjadi biksu pada bulan juni 2003. Setelah berbincang-bincang, bhante keluar dan aku kembali konsentrasi mengetik kisah realitas ini, kita sudah sampai pada kisah Sankisa, dan perayaan tahunan masyarakat buddhis di sekitar situ dan sisa suku Shakya. Kita mampir ke sebuah sekolah, tampak sebuah baktisala kecil, ada altar, rupang buddha, dan di samping sebelah kiri ada sebuah kuil, di dalam kuil itu ada rupang Ibunda Buddha, yakni Dewi Mahamaya. Sekolah ini berdiri atas prakarsa YBS, tanah disumbangkan oleh masyarakat setempat, tanahnya sangat luas, sebelumnya, tanah itu adalah bekas tanah pertanian. Sungguh sedih melihat keadaan awal, ketika belum ada bangunan, siswa dan guru mengajar di halaman tanah itu, kemudian ada yang menyumpang terpal, jadi siswa bisa berteduh dan melakukan proses belajar mengajar di bawah terpal itu, setelah sekian lama, ada yang menyumbang kayu, atap, dan papan sejeninsya, mereka bangun gubuk sederhana, dan akhirnya terkumpul dana untuk membangun gedung, para pekerja dari masyarakat setempat, mereka bekerja sukarela membangun gedung dengan semen, batu bata, besi yang dibeli oleh teman-teman YBS, mulailah mereka membangun fondasi, tembok, hingga jadinya atap, membangun toilet sederhana, pompa air dengan tangan. Walau sudah ada gedung bertembok, papan hitam, kapur putih, namun siswa tetap belum memiliki kursi, diantara 6 ruang kelas, hanya satu kelas yang memiliki kursi, sisanya ruangan kelas yang hanya dilengkapi dengan papan hitam, aku tanya Kailash, jadi bagaimana anak-anak belajar? Mereka bawa tikar, kain duduk masing-masing, duduk di lantai, menulis sambil membungkuk, coba kita bandingkan dengan pendidikan di jakarta, tempat duduk empuk, ruang ber AC, ruang nyaman dan enak, sungguh bagai bumi dan langit. Ketika kami mampir ke sekolah itu, murid sudah mencapai 300 orang lebih, dan ini akan terus bertambah, semangat belajar anak-anak desa sekitar situ sangat tinggi, oleh karena itu masyarakat saling bahu-membahu, yang bisa menyumbang duit, mereka menyumbang duit, mereka yang tidak punya duit, mereka menyumpang tenaga dan pikiran, bahkan hanya menyumbangkan air minum dan kue-kue kecil untuk pekerja yang sedang bekerja suka rela, itu sudah sangat-sangat baik. Satu sisi sangat-sangat sedih, dan satu sisi lagi merasa sangat bangga, aku bisa berkenalan dengan sahabat-sahabat buddhis yang begitu enerjetik, mencurahkan perhatian penuh terdahap pendidikan di desa-desa terpencil di India. Akhirnya kunjungan sehari kita sudah selesai, dan kita pulang, sepanjang jalan kembali aku melihat burung-burung indah berterbangan, warna-warni, melihat banyak sekali bangau mengais-ngais mencari makanan, melihat burung cenderawasih yang berkeliaran di ladang, melihat monyet yang berhamburan di sana-sini, melihat sapi yang hidup damai, melihat tupai berkeliaran dan berkejar-kejaran di atas pohon, sungguh pemandangan yang indah sekali. Aku sedang membayangkan, apakah di Indonesia ada pemangandan seperti ini? Entahlah, mungkin di hutan daerah kalimantan atau sebagian sumatera ada pemandangan seperti ini. Selain memberi kursus murah dan bahkan bisa dibilang kursus keterampilan gratis, YBS juga membuka banyak tempat-tempat kursus komputer, bahkan berkembang sangat pesat, karena mereka bukan untuk mencari keuntungan, banyak orang yang mendedikasikan diri untuk kerjaan seperti ini dan di gaji sangat-sangat minim, hanya untuk memberi sedikit ilmu kepada warga yang tidak mampu namun ingin maju, jaman modern ini semua serba komputerisasi, oleh karena itu mereka memberikan kursus murah, esensi, dan bahkan banyak yang digratiskan. Terpikir berulang kali, bagaimana mereka bisa hidup dengan cara demikian? Darimanakah dana-dana mereka? Ternyata banyak bantuan dari Korea dan hasil dari kursus itu, jadi mereka betul-betul menginvestasikan uangnya, demi bisa memberi manfaat besar lagi, ternyata Bhante Upananda sendiri turun tangan bekerja sama dengan adik dan kakak ke-3 Kailash (Uttam Chandra Bauddha). Akhirnya aku mengerti mengapa Kailash bilang perjalanan kali ini tidak boleh batal, karena Kailash sudah memberi tahu ke kakanya, bahwa ada seorang ahli komputer dari Indonesia akan datang ke desa mereka dan akan memberikan kursus singkat beserta problem solving untuk masalah-masalah mereka, akhirnya aku menjadi semakin mengerti setelah melihat kondisi demikian. Mereka begitu mengharapkan ada ahli komputer yang datang, walau yang mereka pelajari adalah hal yang sangat sederhana, tapi itu sudah sangat-sangat cukup menjadi bekal awal, aku juga sudah melihat beberapa komputer center mereka, namanya juga bagus, Tathagata Institute of Information Technology disingkat jadi TIIT, sekarang aku lagi memikir bagaiman betul-betul memberi manfaat dan sesuai dengan kebutuhan jaman. Bhante Upananda memohon untuk memberi inspirasi, memotivasi mereka, aku juga sudah terpikir demikian, kunjungan singkat tidak akan bisa memberi manfaatnya terlalu banyak, tapi kita akan tour ke setiap computer center untuk memberi seminar singkat dan motivasi, relevansi komputer di jaman sekarang, dan banyak porsi untuk sesi tanya jawab tentang kesulitas tentang komputer. Kemudian kita juga akan buat kursus singkat untuk para trainer, mungkin sejenis TOT (Training of the Trainer), jadi nanti Trainer atau instruktur mereka-lah yang akan menyampaikan kepada siswa setelah dibekali lebih banyak lagi tips dan trik penguasaan komputer. Sungguh, aku tidak pernah terpikir ilmu komputer yang telah kutinggalkan 3 bulan yang lalu sejak berhenti dari posisi Manager IT sebuah perusahaan kecil di Bandung, akhirnya harus aku ramu kembali lagi ilmu-ilmu itu, harus kembali ku-ramu untuk keperluan anak-anak di sini, bersyukur juga aku banyak tahu tentang komputer, sehingga bisa sedikit membawa angin segar buat siswa-siswi mereka. Beberapa bulan lalu, Kailash mengungkapkan rencana ini, aku kurang yakin, karena dalam hati aku berpikir, jangan-jangan trainer sana lebih jago dari saya yang lulusan Computer Science dan Teknik Informatika, karena bisa saja mereka lebih pintar karena sudah berpengalaman dalam mengajar dan menjadi instruktur, tapi Kailash berkali-kali menyakinkan, aku sangat-sangat pantas memberi seminar di sana dan memberi berbagai masukan untuk kemajuan mereka, jangan kuatir, ini yang akhirnya membuatku sedikit yakin, dan memberanikan diri, toh kalau mereka lebih pintar dari aku yah sudah, anggap saja jalan-jalan dan melihat-lihat. Tapi setelah melihat keadaan sesungguhnya, mereka memang meraba sana-sini, dan membuat banyak kesalahan, ini juga pengakuan dari instrukturnya, tapi dari meraba-raba ini mereka juga menjadi semakin mahir, yang menjadi kendala adalah bahasa inggris mereka kurang bagus, dan semua ini hasil dari trial and error, banyak hal yang mereka tidak tahu, barangkali ilmu-ilmu sederhana yang applicable bisa kuberikan untuk para instruktur. Satu hal juga sangat menyenangkan, berhubungan dulu pernah kuliah hingga 9 semester di Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung), metode-metode mengajar juga banyak kuketahui, dan aspek-aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pendidikan akan aku share ke mereka. Barusan aku selesai membereskan komputer di kantor pusat YBS, Uttam Chandra Bauddha yang biasa disapa Uttam, ia sangat stress karena awalnya komputer dia berjalan mulus dan sangat cepat, sekarang sudah berjalan seperti kura-kura, akhirnya saya bereskan semua virus, hapus program-program yang tidak berguna, bersih-bersih register yang tidak terpakai, efisiensi loading program dan start up, akhirnya komputer berjalan normal kembali, komputer itu seperti saya sulap jadi cepat, senyum mulai tampak diwajahnya, dia bilang komputer ini banyak data-data organisasi, dokumentasi kegiatan sosial, dan masih banyak lagi, kadang sangat stress karena banyak yang pakai komputer, akhirnya ia password komputernya, tapi sudah terlambat, karena virus sudah menjalar di mana-mana, tapi setelah bersih, sekarang dia tenang, aku hanya bilang, sekarang kamu boleh tenang kerjain tugasmu, komputermu sudah kembali berfungsi normal. Aku kembali ke kamar untuk kembali mengetik beberapa paragraf untuk menutup kisah ini, sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan dan share kepada teman-teman, namun malam sudah larut, besok pagi-pagi harus mengunjungi computer center, siang berangkat ke Agra bersama Sunim untuk berkunjung ke Taj Mahal, naik taksi sekitar 2.5 jam dari Mainpuri, sore pulang lagi ke Mainpuri, dan malam jam 21.00 berangkat ke Varanasi, karena HH Dalai Lama akan memberikan pelajaran Dharma dari tanggal 19 Desember hingga 21 Desember, setelah itu berkunjung ke Bodhgaya, dan beberapa tempat. Tanggal 5 januari 2007, aku akan kembali lagi ke Mainpuri, selama 10 hari mengadakan tour ke setiap computer center, melihat apa yang bisa aku bantu, apa yang bisa kusumbangkan. Akhirnya kita menganti rencana, saya dan Kailash akan pulang lebih awal, jadi bisa tingal lebih lama di mainpuri untuk berkunjung dan mengajar segala sesuatu yang ku punya tentang komputer kepda mereka. Akhirnya, aku harus menutup kisah yang berjudul 'Kisah dari Lereng Pegunungan Himalaya hingga Sankisa', tidak bermaksud untuk membesar-besarkan, atau mendramatisir keadaan, apa yang kulihat, apa yang kurasakan, itulah yang kuceritakan dengan spontan, kuketik langsung di depan laptopku. Sampai jumpa pada kisah selanjutnya, selamat belajar, berlatih, dan berbagi kehidupan berkesadaran. Salam dariku, YBS Office, Mainpuri, Distrik Etawa, Uttar Pradesh, India Selesai Tanggal: 15 Desember 2006 Revisi: 26 Desember 2006 Salam dari Mainpuri, Distrik Etawa - Uttar Pradesh, India J u n a i d i Tibetan Language & Buddhist Philosophy Library of Tibetan Works & Archives Centre for Tibetan Studies & Researches Gangchen Kyishong Dharamsala - 176215 Himachal Pradesh - I n d i a "May I become at all times, both now and forever; a protector for those without protection; a guide for those who have lost their way; a ship for those with oceans to cross; a bridge for those with rivers to cross; a sanctuary for those in danger; a lamp for those without light; a place of refuge for those who lack of shelter; and a servant to all in need"-- H.H. The 14th Dalai Lama, Tenzin Gyatso -- Bodhicharyavatara [Tib. J'ang.chub.sem.pa'i.c'od.pa.nyid.jug.pa.zhug.so; Ing. Guide to the Bodhisattva's Way of Life, Chapter III, Verse 18-19]~ Shantideva __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ** MABINDO - Forum Diskusi Masyarakat Buddhis Indonesia ** ** Kunjungi juga website global Mabindo di http://www.mabindo.org ** Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/MABINDO/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/MABINDO/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/