The GRAZY MIND (2)

Pernolakan terhadap makhluk mengaku Avalokitesvara berlanjut di kuti.
Aku seperti bertempur dengan sesuatu dalam diri, seperti tubuh ini
punya dua sopir. Aku, sopir resmi, dan makhluk mengaku Avalokitesvara
sebagai sopir ‘tembak’ hehe. 

Aku merasakan proses tumbuh sel- sel kontrol baru di luar ragaku.
Seperti susunan saraf abstrak terbentuk perlahan menempel dari bahu
sampai jemari, berfungsi mengontrol tangan diluar kehendakku.

Makhluk itu mengajarkan tak usah makan nasi. Aku sudah hebat. Cukup
konsentrasi membentuk bulatan di udara lalu menelannya. Makhluk itu
juga suka main mudra di titik di tengah alis kedua mata, seperti
tengah menunggu sesuatu. 

Terus terang, ini membuat aku khawatir, apa yang ia tunggu? Whats next?

Dalam kondisi ini, pilihan kooperatif atau tidak jadi pertimbangan. 

Beruntunglah, Buddha Dharma yang menjadi pegangan hidupku mengajarkan
menjadi tuan atas tubuh sendiri. Dengan pertimbangan itu, aku
memutuskan tak mau dijadikan alat. 

Tentu pembrontakan ini tak mudah, terlebih makluk itu melakukan
perlawanan agar dibiarkan memakai tubuhku. 

Dalam kuti saat jam istirahat, aku berusaha ambil kontrol habis atas
tubuhku. Berusaha semindful mungkin, bergerak sangat lambat
berpegangaan pada lemari dan sebagainya, kesadaran penuh pada semua
pori-pori tubuhku, terbongkok-bongkok melakukan kayanupasana, mindful
atas tubuh ini.

Seorang diri dalam kuti aku benar-benar seperti sakit jiwa. Entah
benar atau tidak, merasakan ada yang terus mengawasi aku, kalau-kalau
aku lengah dan berusaha mengendarai lagi.


Meditasi Malam
Ketika meditasi malam berlangsung, tiba-tiba aku merasakan makhluk
sekecil debu yang terus menerus keluar dari tulang sayap bahu sebelah
kiri. Merasakan hal ini aku ketakutan, lalu melakukan meditasi jalan.

Saat meditasi jalan pun, aku tetap merasakan gerakan-gerakan small
things itu Ketakutanku pada si Penempel belum usai, sekarang apalagi?

Dengan ketakutan amat sangat, aku mendekati kursi tempat Sayadaw U
Panditarama biasa duduk saat berceramah, berharap some miracle terjadi
untuk melindungi diriku.

Dan, aku benar-benar mendapatkan miracle itu. Saat berdiri di samping
kursi itu, small thing itu lenyap. Ketika menjauh dari kursi Sayadaw
aku merasakan gerakan di bahuku lagi. Saat aku mendekati kursi sayadaw
lagi, small thing itu lenyap lagi. Aneh? 

Menyadari ini, aku bersujud ketakutan di samping kursi sayadaw. Aku
merasakan gerakan-gerakan small thing itu hilang lagi, sepertinya
kesedot. Yah, kesedot ke atas?

Aku melihat ke atas, ternyata di atas kursi Sayadaw biasa duduk
berceramah terdapat eksos, kipas angin menyedot udara dari dalam dan
membuangnya keluar. 

Jadi small thing hilang kesedot eksos! Nice. Aku keasyikan meditasi
duduk di dekat kursi Sayadaw. Merasa terlindungi.


Pertempuran dalam Gelap Malam
Saat meditasi malam berakhir aku kembali ke kuti. Tapi berakhirnya
meditasi malam bukan berarti berakhirnya ketakutanku. 

Bahkan ketakutan lebih besar telah menunggu. Karena menjelang tidur,
aku merasakan bulatan yang terbentuk dari titik di tengah dua alis
melompat bagai kelereng, mengenai jubah yang aku jadikan selimut. 

Tapi saat itu aku belum tahu sumber bulatan itu darititik diantara dua
alis mata. Aku berpikir bulatan yang melompat itu bersumber dari
sesuatu di luar aku. Alien, hantu dan sebagainya.

Di tengah hutan, di tengah malam gelap dan sunyi, setelah pengalaman
makluk kecil yang berlarian keluar dari tulang sayap bahu, kini
mendapati ada yang melompat mengenai jubah menjelang tidur, ketakutan
ini makin jadi. 

Celakanya, semakin takut aku, semakin liar imajinasi yang berkembang. 

Saat itu, aku tak menyadari ini. Tiap imajinasi kegelapan datang, yang
lahir dari ketakutanku, aku melawannya dengan menciptakan imajinasi
suci sebagai perisai.

Celakanya kalau bermain dengan imajinasi, kita seperti bermain dengan
air dari samudra yang tak pernah kering. Selalu ada next dan next,
sampai kita benar-benar kelelahan menghadapinya.

Oleh pikiran naib bahwa yang aku alami sama seperti malam pencerahan
Sidharta Gautama menghadapi Mara, pikiran liar makin jadi, bahwa aku
harus menaklukan Mara… agar jadi Buddha in this very moment. 

Maka kian serulah pertempuran-pertempuran itu.

Oleh batin bening selama meditasi, tak sulit bagi kita melihat jelas
melalui mata batin apa yang melintas di pikiran, layaknya melihat
dengan mata biasa. 

Tak aku sadari, penglihatan-penglihatan ini semua bersumber  dari
pikiranku sendiri. Selama aku bertindak dan bertempur dengan dan
berdasarkan pikiran itu, maka aku selalu dalam kekuasaan pikiran itu.
Gak bakalan menang!

Setelah sekian lama, oleh ketakutan yang makin jadi, aku mengetuk kuti
sebelah, yang baru dihuni pemeditasi baru tiba dari Jepang. Aku
mengatakan ada hantu yang coba ganggu aku, aku minta ijin nebeng di
kutinya.

Selesai menggelar matras dan tidur di lantai kuti sebelah, saat
berbaring bulatan dan gerakan itu muncul, tapi kini aku lebih tenang,
karena tak sendirian. 

Satu hal yang membuat aku heran, ketika aku tertidur kecapean,
bulatan-bulatan itu tak mengangguku. Aku baru merasaakannya lagi saat
aku terjaga…. 

Semua itu eksis hanya kala aku terjaga dan disappear, hilang saat aku
tertidur… so  semua bersumber dari diriku, kataku dalam hati. That’s
only my mind?

Persis kisah Pangeran Sidharta mencapai Kebuddhaan menjelang fajar,
kesadaran ini bagai setetes embun dini hari, luar biasa indahnya.
Dengan kelegaan yang ada, selanjutnya aku tertidur. 

Di sisi lain, merunut kisah Buddha Gotama yang sukses menaklukan Mara,
aku berpikir telah mencapai Kebuddhaan, Arahanta… seperti pertapa
Gotama. Pikiran yang tanpa aku sadari, merupakan jebakan baru dalam
latihanku.

Tobe continue, hehe….

Batavia, 28 Februari 2009 (4:22am)

Harpin

Sumber:http://harpin.wordpress.com


Kirim email ke