Ini bukan hanya sekedar artikel, cerita, tetapi perumpamaan yang sangat tepat 
menusuk hati seorang anak agar disadarkan.
Buddha pernah mengatakan demikian:
Bagaimanakah seseorang menghormati Buddha dengan penghormatan tertinggi?
Hormatilah orang tuamu berarti menghormatiKU, rawatlah orang tuamu berarti 
merawat diriKU, berikanlah kebahagiaan kepada orang tuamu berarti menjalankan 
ajaranKu.

Ada suatu cerita dari Negara tiongkok sana (maaf dipercepat dan dipersingkat):
Disuatu desa yang terpencil, hiduplah seorang anak lelaki bersama Ibunya, dari 
kecil dirawatnya dengan penuh kasih sayang, setelah beranjak dewasa, anak 
tersebut berkeinginan untuk bertemu Buddha, ibunya menasehatinya agar tidak 
meninggalkannya karena dirinya telah tua, dan sebatang kara, tetapi sang anak 
tetap bersikeras untuk menemui Buddha, Ibunya sangat sedih, tetapi dengan kasih 
sayang yang besar seorang Ibu rela berkorban demi anaknya sehingga anaknya 
diberikan kebebasan untuk menemui Buddha walaupun sang ibu sangat berat 
melepaskan anaknya, akhirnya sang anak meninggalkan tempat tinggal dan ibunya 
untuk bertualang menemui Buddha.  Dalam perjalanan yang berliku dan jauh 
tersebut dan sudah berhari-hari lamanya sang anak bertualang sedangkan ibunya 
seorang diri, yang sudah tua renta mengurusi dirinya sendiri dan mulai 
sakit-sakitan.  Sang ibu tiap harinya sangat khawatir akan anaknya, tetapi sang 
anak hanya memikirkan untuk menemui Buddha tanpa memikirkan sang Ibu.
Suatu hari diperjalanan Sang Anak bertemu seorang Bhikkhu, kemudian sang anak 
bertanya kepada bhikkhu tersebut, " oh yang mulia Bhikkhu, saya mendengar dari 
kabar didesa bahwa ada seorang Buddha yang tidak jauh lagi dari tempat ini, 
dimanakah letak keberadaan Buddha tersebut?"  kemudian Bhikkhu tersebut 
tersenyum dan berkata " hai pemuda yang mempunyai tekad yang besar untuk 
bertemu Buddha, saya akan menunjukan jalan yang cepat dan singkat agar kamu 
bisa bertemu dengan Buddha"
Sang pemuda tersebut dengan senang hati kembali menjawab: "terima kasih, 
bertemu Buddha adalah tekad dan cita-cita ku dari dahulu".  Kemudian sang 
Bhikkhu mulai menjelaskannya suatu jalan pintas dan cepat, selayak berkata" 
ikutilah jalan Utama, dan ambillah selalu jalan tengah, nanti disana akan 
bertemu banyak rintangan dijalan, kamu yang mempunyai tekad teguh harus tidak 
boleh goyah atau bimbang untuk menempuh jalan tersebut, dan setelah diujung 
jalan mulailah timbul persimpangan disini kamu dituntut untuk menilai dan 
melihat dengan hatimu jalan mana yang kamu harus ambil, bila hatimu menyatakan 
inilah jalan yang terbaik, ikutilah terus tanpa ragu, nanti kamu akan bertemu 
suatu rumah yang tentunya tidak asing bagimu yang mempunyai keinginan bertemu 
Buddha, anda coba ketuk pintu itu, lihatlah yang membuka pintu tersebut, yang 
memakai sandal terbalik, itulah Buddha".
Sang pemuda tersebut sangat berterima kasih kepada bhikkhu tersebut dan 
diikutinya jalan yang diperintahkannya, jalan dan terus berjalan sang pemuda 
mulai merasa aneh dan berpikir bukankah ini jalan balik dan bukan ke suatu 
tempat yang banyak orang sebutkan ("inilah rintangan yang dimaksud"), dan hati 
kecilnya selalu bertanya apakah mungkin seorang bhikkhu berbohong dan rasanya 
tidak mungkin seorang bhikkhu berbohong, pemuda tersebut tetap teguh tak 
tergoyahkan, dia terus mengikuti jalan yang diperintahkannya, pada diujung 
jalan Utama terdapat pilahan jalan, pemuda tersebut harus memilih jalan yang 
diambilnya, dia teringat kata Bhikkhu tersebut bahwa dipersimpangan jalan harus 
memilih jalan melalui hati nuraninya, dengan hati bersihnya untuk memilih jalan 
yang benar, kemudian sang pemuda berpikir kalau dia belok ke yang satu maka 
tidak jauh dari sini dia malah balik kerumahnya sedangkan kalau ke yang satunya 
lagi dia belum tahu tentang jalan tersebut, kalau demikian lebih baik memilih 
jalan yang menuju ke rumahnya dulu karena tidak jauh dari pesimpangan dan siapa 
tahu Buddha tersebut malah mendatangi rumahnya ("rumah yang tidak asing") 
sekaligus kangen dengan Ibunda, dan bukankah seorang Bhikkhu tidak 
diperbolehkan untuk berbohong, karena hatinya memilih untuk jalan balik kerumah.
Kemudian sang pemuda ambil jalan yang menuju kerumahnya dengan berharap Buddha 
telah datang kerumahnya, begitu melihat rumahnya ("rumah yang tidak asing") 
langsung berlari dan mengetuk pintu secara tergesa-gesa, dan yang diperhatikan 
adalah kaki yang membuka pintu, mata tersorot tajam kebawah sambil mengetuk 
pintu dengan tergesa-gesa.
Didalam rumah tersebut ibunya sedang tiduran karena badannya lemas, begitu 
mendengar ketukan pintu dan tergesa-gesa pula langsung bangun dengan memakai 
sandal terbalik dan langsung membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, sang pemuda langsung berlutut di kaki yang bersandal 
terbalik dan kaget ternyata memang benar seorang Buddha telah hadir dirumahnya 
dengan tanpa memikir lagi diciumnya kaki yang dengan sandal terbalik dan 
berkata: "Oh Buddha terima hormatku".  Ibunya kaget melihatnya, kemudian sang 
ibu menjawab "silakan bangun, kaki saya kotor", mendengar suara ini sang anak 
kaget dan menengok keatas ternyata yang dicium kakinya adalah ibunya. Langsung 
sang Anak sadar bahwa Buddha itu adalah ibunya, menghormat ibunda tercinta 
berarti menghormat Buddha.

Demikianlah cerita yang mungkin mirip dengan cerita dibawah walaupun tidak sama 
yang disampaikan oleh saudara Harli.
Salam Metta selalu, Namo Buddhaya, Amitofo.


-----Original Message-----
From: MABINDO@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Harli
Sent: 27 September 2008 8:06
To: ALUMNI SMK PATRIA DHARMA; EX MEMBER OF KAPTS; [EMAIL PROTECTED]; Members 
Johan, Malonda & Co; KOMUNITAS GURU PPD; MABINDO@yahoogroups.com
Subject: [MABINDO] GOOD ARTIKEL : RENUNGAN : "KISAH POHON APEL"


"KISAH POHON APEL"

Reply via email to