Sumber: http://www.pacific.net.id/pakar/sj/korupsi_masalah_pokok_kkn.html


             KORUPSI MASALAH POKOK KKN: SUATU CATATAN

By : J. Soedradjad Djiwandono

Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Dalam tulisan sebelumnya saya melihat masalah KKN sebagai suatu implikasi dari 
sikap hidup lebih besar pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi 
masyarakat 
Indonesia baik secara nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih 
mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat 
Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam 
membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih 
demokratis, dan lebih mandiri.

Dalam tulisan ini saya ingin memusatkan perhatian pada penaggulangan masalah 
KKN 
dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing 
tindakan dalam KKN dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas, 
dan lebih pokok, yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan 
masalah KKN akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap 
dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penaganan seterusnya sampai 
tuntas.

MEMBUAT BATASAN ARTI KKN.

Saya mengamati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme 
atau 
KKN itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu 
pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal 
ini sering menjadi simpang siur. Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; 
korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak sama bagi orang yang berbeda, 
apalagi 
kalau sudah digabungkan menjadi satu.

Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering 
digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas 
sedikit lebih mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang 
bisa besar antara satu dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan 
dimana 
masalah yang dibahas menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.

Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian 
yang akurat suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula 
masalah 
yang berkaitan dengan istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas 
atau tidak akurat bagaimana dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah 
yang berkitan dengan istilah tersebut ?

Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu, 
ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah 
penyelesaian dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu 
realistis? 
Saya takut bahwa menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih 
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan 
mungkin malahan menghambat.

Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini 
menjadi satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu 
pernyataan politis memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. 
Semua setuju, semua mendukung. Akan tetapi kalau ingin disusun suatu strategi 
penanganan masalah ini, langsung ditemukan halangan untuk dapat ditemukan jalan 
keluarnya secara tuntas. Untuk membuat suatu program yang bisa dilaksanakan 
perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar masalah, mana yang menjadi 
akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana ukuran besar kecilnya 
masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.

Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus 
jelas; 
apa yang dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang 
akhirmya merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. 
Ingat skandal Gedung Putih bagaimana mendefinisikan hubungan sex menurut 
ketentuan hukum yang memang menuntut definisi yang jelas mengenai apa yang 
dimaksud dengan suatu istilah. Akan tetapi saya yakin bahwa untuk masalah KKN 
definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya menjadi rancu dan 
jalan keluarnya tidak kunjung nampak.

Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing 
unsur dari ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, 
semua setuju, semua mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan 
masalah 
KKN sampai sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa 
Pemerintah menangani masalahnya secara sungguh-sungguh. Itupun tidak selalu 
meyakinkan, seperti mengirim dua pejabat tinggi negara untuk mengusut 
sinyalemen 
majalah Time guna memperoleh jawaban dari pemerintah Austria yang sebenarnya 
telah diketahui tanpa mengirimkan misi tersebut. Dilain pihak penanganan juga 
nampak terlalu yuridis menghadapi masalah yang bernuansa politis.

Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka 
mengenai 
kasus mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana 
yang dikemudiankan, dan mengapa demikian.


@ Visiting Scholar, Harvard Institute for International Development (HIID), 
Cambridge, MA and former Governor of Bank Indonesia. (sdjiw...@hiid.harvard.edu 
or djiwand...@aol.com).



ARTI KKN

Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga 
tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam 
penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut 
malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan 
mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan 
secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, 
mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau 
ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau 
sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela 
yang ingin kita berantas.

Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih 
mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu 
dengan 
yang lain. Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, 
padahal tidak, ini dapat menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan 
tidak adanya program atau tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.

Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah 
korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta 
kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya 
jawaban terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga 
mungkin jelas, tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. 
Akan tetapi bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang 
termasuk kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham 
perusahaan, 
kalau kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini 
tidak gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan 
keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang 
sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap 
bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena 
tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.

Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya 
sehingga 
masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas. 
Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang 
terkesan demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, 
bagaimana program penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan 
yang akan diikuti dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua 
perlu kejelasan, sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. 
Saya 
yakin masyarakat menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan 
adil. Karena masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan 
strategi penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat 
mengetahui dan dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian. 
Keterbukaan ini juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas 
tuntuan keadilan ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.

Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto 
dengan keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme 
oleh 
siapapun harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan 
mengenai apa yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan 
perincian kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.

Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan 
langkah yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa 
kejelasan ini gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang 
menuntut dan politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai 
sekarang nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang 
dengan 
penguasa. Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan 
untuk meminta pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan 
menyeret seseorang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang 
tidak jelas dan menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi 
tuntutan masyarakat saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu 
tindakan 
ini dapat menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya 
bersalah atau menindak yang sebenarnya tidak bersalah.

Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN 
adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam 
keadaan normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - 
kejaksaan, kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga 
yang bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan 
tetapi 
dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata 
masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN 
serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi 
upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji 
Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.

Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa 
adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya 
menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam 
keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan 
KKN 
harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau 
batasan-batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan 
pentahapannya, Semua menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, 
karena itu tidak akan selesai secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka 
kejelasan semua ini dengan pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal 
tadi harus dilakukan.


8 Seperti diketahui, yang sering dilakukan pengusaha di Indonesia hanya menjual 
barang atau jasa yang dihasilkannya dengan harga yang dikaitkan dengan dollar, 
meskipun mereka mengetahui bahwa pembelinya adalah pembeli domestik dengan 
pendapatan yang berbasis rupiah. Di Jakarta dan kota besar lainbanyak transaksi 
yang menggunakan basis dollar; tidak hanya tarip hotel, tetapi sewa bangunana 
atau apartement atau berbagai jasa lain. Argumentasinya, kan sistim devisa 
Indonesia bebas, jadi sama saja apakah transaksi itu dalam mata uang asing atau 
rupiah. Sebenarnya ini selain menyalahi ketentuan penggunaan rupiah sebagai 
mata 
uang pembayaran nasiaoanl, juga menunjukkan 'moral hazard' dari pihak yang 
bertransaksi bahwa sistim nilai tukar kita itu, menurut persepsi mereka ini, 
pada dasarnya tetap. Sinisme kita akan mengatakan bahwa ini lindung nilai 
(hedging) a la pengusaha kita.


MEMUSATKAN PENANGANAN MASALAH KKN PADA KORUPSI

Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau 
masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang 
paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi. Ketiganya 
memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau 
memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah 
terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau 
perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang malakukannya dan apa 
sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut.

Kalau masalah korupsi ini dipisahkan dulu dari yang lain, maka kita mungkin 
terhindar dari sloganisasi. Tuntutan akan lebih jelas dan penyidikan masalahnya 
akan lebih fokus, karena itu Pemerintah lebih sukar untuk mengobral janji saja. 
Dalam Undang-undang tentang tindak pidana ekonomi, tindakan korupsi telah 
didefinisikan secara cukup eksplisit. Pada dasarnya unsur-unsurnya adalah 
adanya 
perbuatan yang melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, yang 
merugikan negara. Ini mungkin bisa dibuat lebih eksplisit, tetapi minimal telah 
ada basisnya.

Saya kira kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka 
masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata. 
Apakah hal ini bergandengan dengan kolusi dan nepotisme, bisa diteliti lebih 
lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu kolusi dan 
nepotisme, maka pembuktiaan siapa yang teribat dalam korupsi akan menyangkut 
jaringan kolusi dan nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring 
mereka ini semua. Tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan 
melanggar hukum yang merugikan negara menurut suatu definisi yang pasti.

Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain 
atau 
antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya kolusi 
atau nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. Nepotisme dan kolusi ini tidak 
hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan yang 
tidak dikehendaki hal tersebut harus juga diukur dengan kriteria adanya 
pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan negara 
atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi.

Dalam kebanyakan masyarakat pemberian suatu surat referensi sebagai suatu 
'jaminan' mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah 
diterima secara umum. Yang diharapkan tidak terjadi adalah penyalah gunaan 
surat 
referensi tersebut. Jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini 
tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini yang tidak boleh disalah gunakan. Istilah 
'katabelece' adalah untuk penyalah gunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang 
jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas, mana yang boleh mana yang 
tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan 
oleh 
seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Dalam hal adanya 
tidakan korupsi ketentuannya telah jelas. Bagaimana dengan kolusi dan nepotisme?

Sekuat keinginan kita menghilangkan kolusi dan nepotisme, kita perlu secara 
realistis melihat, apakah ketentuan-ketentuan mengenai hal ini telah jelas? 
Saya 
takut belum. Dan ini salah satu sebab mengapa penghapusan masalah ini nampak 
begitu susahnya di masyarakat kita.

Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan 
untuk melarang adanya kolusi dan nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut 
ketentuan untuk masa depan yang harus diperhatikan. Sedangkan kita juga melihat 
bahwa praktek kolusi dan nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat 
mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk menghabiskan praktek-praktek 
ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang, kecuali 
mereka 
yang mempraktekkan.

Untuk masa depan nampaknya tidak sulit memikirkan, ketentuan-ketentuan 
kepegawaian yang masih dirasa ganjil harus benar-benar ditelusuri, demikian 
pula 
mengenai tender,kontrak, dsb. Untuk menghindarkan diri dari meluasnya nepotisme 
dan kolusi ini. Dulu pernah ada ketentuan tentang larangan berusaha bagi 
pejabat 
atau isteri pejabat. Tapi pelaksanaannya tidak pernah dicek. Ketentuannya hanya 
bersifat politis, untuk sekedar menunjukkan bahwa ada kepedulian tentang 
masalah 
ini dan enforcementnya tidak ada. Sama dengan gerakan hidup sederhana, membuat 
ketentuan yang membatasi jumlah tamu pesta pejabat, dst. Semuanya hanya dalam 
slogan tetapi tidak ada enforcement. Kerapkalai peraturan ini hanya 
diperuntukkan bagi orang lain diluar pembuat ketentuan dan kelompoknya, karena 
itu menimbulkan ketidak adilan dan semakin banyak terjadi pelanggaran tanpa ada 
sanksinya. Karena itu berbagai ketentuan kepegawaian harus ditinjau kembali 
untuk mengatasi masalah nepotisme dan kolusi ini. Misalnya dalam perbankan ada 
ketentuan bahwa suami isteri tidak boleh bekerja dalam instansi yang sama. Akan 
tetapi bagimana dengan bapak dan anak, bagaimana dengan ibu dan anak dan 
keluarga lain. Ini juga harus jelas. Kalau antara suami dan isteri tidak boleh 
bekerja dalam satu instansi karena hubungan keluarga ( ada nepotisme), 
sebenarnya tidak masuk akal bahwa antara bapak dan anak tidak ada larangannya. 
Ini harus ditentukan definisinya secara rinci, apa yang dimaksud dengan kolusi, 
apa yang dimaksud dengan nepotisme, dan mana yang dianggap melanggar ketentukan 
dan apa sanksi terhadap pelanggarannya. Yang ingin dihindarkan adalah 
kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan. Ini yang harus menjadi pegangan.

Coba kita amati betapa banyaknya praktek ini di masyarakat kita, hubungan 
keluarga atau kroni yang bekerja dalam satu instansi. Bagaimana masalah 
hubungan 
pejabat dari suatu instansi dengan swasta? Coba kita lihat begaimana praktek 
pejabat tinggi di Indonesia; hubungan suami (pejabat) dan isteri (pengusaha 
rekanan) dan bapak (pejabat) dengan anak (pengusaha dan rekanan). Mungkin perlu 
terlebih dahulu disusun daftar kekayaan dan hubungan kekeluargaan atau kroni 
dari pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi, seperti 'self assessment' dalam 
perpajakan. Sebenarnya dari dulu ada laporan daftar kekayaan pejabat tinggi, 
ini 
tentunya dapat digunakan sebagai permulaan. Daftar ini nantinya harus dicocokan 
dengan daftar yang disusun oleh instansi atau suatu komisi yang independent. 
Kalau hal ini dilakukan kita akan mempunyai daftar yang menarik. Siapa pejabat 
yang isteri, anak dan keluarga dekatnya bekerja dalam instansi yang sama, siapa 
keluarga dekat yang menjadi pengusaha rekanan dari instansi yang bersangkutan, 
dst. Daftar ini akan mempermudah bagaimana menelusuri masalah kolusi dan 
nepotisme. Instansi yang menangani penyidikan harus menggunakan daftar ini 
secara profesional, untuk maksud penyidikan, bukan untuk maksud lain yang juga 
merupakan tindakan pelanggaran hukum. Azas praduga tidak bersalah harus 
dihormati, bukan asal main tuduh kemudian dilakukan ancaman pembekuan rekening 
bank atau penyitaan aset tanpa diketahui ujung pangkalnya, selain akhirnya 
hilang.

Tambahan lagi orang kemudian tidak dapat seenaknya menuduh seorang pejabat atau 
mantan pejabat melakukan tindakan kolusi atau nepotisme. Sebanyak apapun hal 
ini 
telah terbukti, akan tetapi tidak boleh ada sikap apriori bahwa seseorang itu 
dianggap pelaku korupsi atau kolusi atau nepotisme hanya karena dia pejabat. 
Dalam ketidak jelasan sekarang, sering sebagai suatu sarana politik untuk 
mencemarkan nama seseorang dilontarkan saja tuduhan si A itu KKN. Permainanya 
hanya siapa yang lebih berani teriak dan dapat mempengaruhi media akan dianggap 
benar, sedangkan yang tidak cukup keras teriaknya atau bersikap diam langsung 
dianggap melakukan tindakan tidak terpuji ini. Jadi cara ini akan membantu 
penelusuran masalah KKN dan sekaligus melindungi orang yang memang tidak 
bersalah, dengan demikian membantu menegakkan keadilan yang sebenarnya..

Memang memprihatinkan bahwa kalau mereka ini diingatkan, apalagi kalau dituduh 
salah, maka jawabannya sudah tersedia, " kan bukan hanya saya yang melakukan" 
atau " ah, si A atau si B lebih dari saya (korupnya atau nepotismenya)" 
Padahal, 
bahkan seandainya orang lain melakukan, emangnya seseorang terus berhak untuk 
juga melakukannya? Orang yang percaya terhadap 'jangka Djajabaja' hanya jawab, 
' 
kan ini memang jaman edan, kalau enggak ikut kan berabe'. Jelas percayanya pada 
ramalan ini hanya untuk enaknya sendiri. Kenapa menginterpretasikan Jangka 
Djajabaja tidak secara utuh?. (hanya 'sing ora edan ora komanan' dan 'mboya 
keduman milik, kaliren wekasanipun' artinya yang tidak gila tidak memperoleh 
bagian dan kalau tidak ikut akan kelaparan) Harusnya ambil seluruh ajaran ini 
yang akhirnya mengatakan " bekja bejaning sing lali, isih beja kang eling lawan 
waspada" artinya, seberuntung orang yang lupa diri masih lebih beruntung orang 
yang ingat dan waspada. Tetapi kita memang biasa ambil yang enak saja dari 
suatu 
ajaran, apapun bentuknya. Juga dalam hal 'panutan'. Ditengah benarnya kritik 
terhadap pemimpin yang tidak bener, tidak bisa jadi panutan, saya melihat bahwa 
panutan itu lebih gampang untuk hal yang gampang dan enak, kalau untuk yang 
sukar dan tidak enak, susah terlaksana. Artinya kalau 'bossnya nggak bener' 
maka 
sangat gampang para anak buah mengatakan 'habis boss nggak bener masa saya 
harus 
bener' sebagai alasan untuk ikut nggak bener. Tetapi kalau boss bener, jujur, 
emangnya anak buah otomatis akan ikut? Nampaknya tidak otomatis. Saya akan 
kembali mengenai hal ini di lain kesempatan.

1 Hal-hal ini harus dirinci lebih lanjut. Di sini dikemukakan hanya sebagai 
suatu gambaran.


CATATAN SEMENTARA

Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus 
tetapi secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi 
dulu, maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai 
pidana 
ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk 
menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini 
sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa 
dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya. Akan tetapi berkaitan dengan 
masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan korupsi, yang 
dilanggar 
mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah untuk ke 
depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan 
nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender, 
kontrak, serta ketentuan mengenai 'governance' pada umumnya. Mengenai langkah 
ke 
depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi 
kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain.


Cambridge, MA June 1999.

2 Baca tulisan saya, Hidup Lebih Besar Pasak Dari Tiang Sebagai Penyebab KKN : 
Tantangan Bersama Masyarakat Indonesia. 


      

Kirim email ke