Catatan Laluta:
 
...."mengutip pendapat Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty (NGO) dalam laporan studi buku mereka mengenai "Perempuan dan Pembangunan", tahun 1989 halaman 54 sebagai berikut: Tanggal pembukaan Kongres ini, 22 Desember 1928, pada kongres ke tiga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan dan pada tahun 1959 oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Namun, dalam perkembangannya tanggal ini akhirnya lebih lazim dikenal sebagai Hari Ibu yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara- negara Barat yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut, yang memang merupakan pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib kaum dan bangsanya"....Selanjutnya silahkan baca naskah karya tulisan Rusiyati berjudul "SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah", yang di presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1990 di Amsterdam.
 
La Luta Continua!
 
***
SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (2)
 
Oleh Rusiyati
 
2.  Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 – 1928)
 
Masa kebangkitan dan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggauta, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut megalami kemajuan pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai 40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggauta.
 
Kemudian berdiri partai-partai politik yang tidak terbatas pada daerah berkebudayaan Jawa saja seperti Budi Utomo, akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme. Pada pokoknya keinginan rakyat untuk berjuang melawan penghisapan ketika itu tersedia wadahnya melalui organisasi. Dan meskipun untuk mendirikan suatu organisasi harus minta izin dahulu kepada pemerintah, toh organisasi-organisasi yang tumbuh semakin radikal saja.
 
Adalah pada tempatnya, kalau disini kita sedikit menyinggung adanya perlawanan atau oleh pemerintah kekuasaan Kolonial “NederlandsIndië” dinamakan sebagai “pemberontakan PKl pada tahun 1926”, karena yang dituduhkan sebagai pemberontakan adalah melawan penjajahan kekuasaan kolonial Belanda. Pada waktu itu perlawanan terhadap rejim Kolonialisme merupakan pemberontakan besar terakhir sebelum Nederlands lndie bertekuk lutut kepada Balatentara Jepang.
 
Perlawanan PKl terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 1926, dua tahun sebelum para pemuda menggalang persatuan nasional dengan pernyataan sumpahnya berjuang untuk perjuangan Satu bahasa, satu bangsa dan satu tanahair: lndonesia. Pada sekitar tahun 1926 itu baru muncul fase pemikiran awal untuk menghimpun kaum nasionalis, Islamis dan marxis supaya menjadi satu kekuatan dahsyat untuk menundukkan penjajah, seperti ditulis oleh Sukarno di "Suluh lndonesia Muda" pada tahun 1926. Adapun bentuk persatuan kekuatan-kekuatan nasional baru dapat diusahakan dua tahun kemudian. Karenanya hanyalah PKl yang pada tahun 1926 memulai melakukan perlawanan fisik pada 12-14 November di Jakarta, Jatinegara dan Tangerang, 12 November - 5 Desember di karesidenan Banten,  12-18 November di daerah Kediri. Dibeberapa tempat rencana itu sudah diketahui lebih dahulu oleh P.l.D. (Politiek Inlichtingen Dienst) dinas rahasia pemerintah kolonial.
 
Pada zaman kolonial Belanda penyebutan “pemberontakan” selalu diartikan sebagai ancaman oleh pemerintah Nederlandsindië karena bertujuan untuk kemerdekaan dari kekuasaan penjajah. Dengan begitu perlawanan kaum Nasionalis ketika itu yang dianggap radikal ditindas dengan kejam oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang ikut serta maupun yang tidak ikut serta dikalangan kaum merah semuanya di hukum penjara/ pengasingan. sebab menurut anggapan kolonial Belanda: usaha merebut kembali hak rakyat atas tanah airnya sendiri, merupakan kejahatan.
 
Yang tidak ikut melakukan perlawanan, sekitar 4.500 orang diasingkan ke Boven Digul. Mereka dihukum penjara, sebagian lagi juga diasingkan ke Boven Digul, tetapi di tempat yang sangat tidak sehat, di tengah hutan dan rawa, di pinggir sungai Digul di lrian Selatan. Diantara para interniran di Boven Digul itu terdapat 15 orang wanita, diantaranya Sukeisih. Kemudian organisasi-organisasi PKl, Serikat Rakyat (S.R.) dan semua golongan bawahannya dilarang oleh pemerintah kolonial. Hubungan diantara mereka dilakukan oleh propagandis-propagandis yang berjalan keliling.
 
A. Gerakan Wanita dan Kebangkitan Nasionalisme:
Dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia pada periode Budi Utomo, gerakan wanita baru berjuang untuk kedudukan sosial saja. Soal-soal politik belum dalam jangkauannya. Mengenai kemerdekaan tanah-air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada Periode Perintis dibidang pendidikan, pengajaran, kerumahtanggaan masih berlanjut.
 
Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang pertama di Jakarta "Putri Mardika" atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan "Kartini Fonds" yang bertujuan mendirikan sekolah-sikolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, “Keutamaan Istri” didirikan dibanyak tempat di Jawa Barat, bahkan di kota Padang Panjang, "Kerajinan Amai Setia" di kota Gedang, "PIKAT" (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya, baik organisasi-organisasi bagian Wanita dari organisasi partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Sebab-sebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga tiadanya izin dari Orang tuanya (dikalangan atas) atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang-tua (dikalangan bawah). Disamping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.
 
Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak. Kesediaan wanita untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas lagipula berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu beraksi juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja.
Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 kita dapat melihat jumlah perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, sedang P.K.I., S.I., Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian wanita. Bagian Wanita tadi dalam penyebaran cita-cita tentu saja mempertinggi hal- hal yang khusus mengenai kewanitaan.
Kongres P.K.I. di Jakarta tanggal 7-10 Juni 1924 menyediakan satu hari penuh untuk merundingkan masalah gerakan wanita komunis. Pada hari itu para wanita membicarakan kewajiban kaum wanita dalam perjuangan menentang penjajah dan kaum pemodal.
Bagian Wanita S.I. adalah Wanudiyo utomo, kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia(S.P.I.I.). Dalam Kongres Sarekat Islam (S.I.) pada bulan April 1929 di Surabaya, S.P.I.I. bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami. Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah, yang juga tidak mencampuri persoalan politik seperti ibu perkumpulannya Muhammadiyah. Mengenai masalah poligami, Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita S.I. Mereka juga menentang keras adat Barat (pakaian, tata rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya) karena dianggapnya bertentangan dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) didirikan pada tahun 1928.
Bagian Wanita Sarekat Ambon, Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga.
Jenis perhimpunan Wanita lainnya ialah organisasi-organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia (disamping Pemuda Indonesia) , Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (J.I.B.D.A.) disamping J.I.B.D.A., Jong Java Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa.
 
Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita kecil-kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus.
 
Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari S.I.(Sarekat- Islam), P.K.I.(Partai Komunis Indonesia), P.N.I.(partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).
 
Gerakan Wanita Indonesia fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham “Indonesia bersatu” yang dihidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan P.N.I. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928, puncak kegiatan yang terjadi pada periode ini, dua bulan setelah Kongres Pemuda yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, dimana organisasi wanita menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia pada masa ini ialah berazazkan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan diantara nya ialah kedudukan wanita dalam perkawinan, poligami dan ko-edukasi. Masalah politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres berpendirian berhaluan koöperasi terhadap pemerintah NederlandsIndië.
 
Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (P.P.P.I.) dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum komunikasi antar organisasi wanita.
Kongres menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Nederlands Indie, yaitu:
1. Menambah sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan
2. Pada waktu nikah supaya pemberian keterangan mengenai taklik (janji dan syarat-syarat perceraian)
3. Supaya diadakan peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.
 
Mengenai Hari Kebangkitan Perempuan pada 22 Desember ini, ingin saya mengutip pendapat Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty (NGO) dalam laporan studi buku mereka mengenai "Perempuan dan Pembangunan", tahun 1989 halaman 54 sebagai berikut: 
"Tanggal pembukaan Kongres ini, 22 Desember 1928, pada kongres ke tiga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan dan pada tahun 1959 oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Namun, dalam perkembangannya tanggal ini akhirnya lebih lazim dikenal sebagai Hari Ibu yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara- negara Barat yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut, yang memang merupakan pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib kaum dan bangsanya. Disini yang terjadi adalah distorsi sejarah yang kemungkinan besar mencerminkan berubahnya pandangan dan aspirasi tentang gerakan perempuan, tapi sangat bisa jadi juga karena dengan sengaja dilakukan untuk kepentingan-kepentingan, yang sifatnya politis terutama setelah peristiwa 30 September 1965 yang selain membabat pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) juga Gerwani (Gerakan Wanita In- donesia), gerakan perempuan yang merakyat dan banyak menyuarakan serta berorientasi kepada kepentingan perempuan kelas bawah pada masa itu. Selain itu, berkaitan dengan usaha penjinakan kaum perempuan, besar kemungkinan nama hari ini dengan sengaja diganti dan dikacaukan pengertiannya menjadi hari untuk pengabdian ibu. Dengan demikian nilai-nilai mengabdi dan berkorban bagi ibu akan lebih mudah di tanamkan.”
Demikianlah pendapat Wardah Hafidz dan Tati Krisnawaty mengenai Hari Kebangkitan Perempuan tanggal 22 Desember dalàm hubungannya dengan memperingatinya sekarang ini di tanahair kita, untuk mengakhiri uraian mengenai
Periode Kebangkitan dan Kesadaran Nasional.
 
B. Gerakan Wanita dan Media massa:
Gerakan Wanita Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media-massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat khabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Sunda atau bahasa Jawa.
 
Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan.
Majalah pertama "Putri Hindia" terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun 1925 sudah di terbitkan sebelas macam media-massa (koran,majalah) yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Misalnya  “Sunting Melayu” diterbitkan di Padang pada 10 Juli 1912. Surat kabar yang terbit tiga kali seminggu itu merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami, berisi masalah-masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan fikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya yalah Hohana Kudus.
Di pacitan, kota  kecil di pantai Samudera Indonesia di daerah Madiun, terbit pada tahun 1913  surat kabar bernama “Wanito Sworo”  dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu.
Pada tahun 1914 di Jakarta terbit “Putri Mardika” sebagai majalah bulanan. Artikel-artikel ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa. "Putri Mardika" berhaluan maju. Masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran dan lain-lain merupakan bahan perdebatan. Pada tahun 1918 di Bandung diterbitkan edisi Sunda dengan nama “Penuntun Istri”.
Di Semarang terbit "Istri Utomo”. Dan di Padang "Suara Perempuan” dengan    redaksi seorang guru wanita bernama Saáda. “Perempuan Bergerak”diterbitkan di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap yang pada tahun 1920 diperkuat oleh Rahana.
 
Di Menado terbit majalah bulanan "Pikat”.  Sementara itu  Aisyiah mengeluarkan "Suara Aisyiah " pada tahun 1925. Di Bandung "Istri Mardika"diterbitkan dalam bahasa Sunda. Demikian perintis pers wanita kita.
 
Bersambung....


Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/


Want to be your own boss? Learn how on Yahoo! Small Business. __._,_.___

Quotes :
" Spirituality is essentially a journey within. You need no preparations, no luggage to carry - nothing absolutely. What you need is just : LOVE ! And this Love, can only come as an after effect of self-actualization, achieved through the practice of meditative way of life."
- Anand Krishna -

Mayapada Prana Links:

<*> The Internet Sacred Texts Archive
http://www.sacred-texts.com/index.htm

<*> The Theosophical Society
http://www.theosociety.org/

<*> Yoga Leaf
http://www.yogaleaf.com/






Yahoo! Groups Links

__,_._,___

Kirim email ke