Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan 
akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik 
kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun  kehidupan kolektif dengan substansi 
yang  bervariasi seperti  keimanan,  ibadah ritual (spiritualisme),  karakter  
perorangan,  akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum  serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. 

Semua substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal 
- Iman dan Ilmu.  Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu.

one liner  Seri 211
insya-Allah akan diposting hingga no.800
no.terakhir 857

********************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
211. Kriteria Sebuah Tolok Ukur

    Dalam Perang Dunia kedua kapal-kapal dagang dipakai pula untuk keperluan 
logistik. Kapal-kapal itu mengangkut perbekalan dalam konvoi. Pada kapal-kapal 
itu dipasang perlengkapan sistem pertahanan udara. Selang beberapa waktu 
formasi konvoi dengan senjata pada masing-masing kapal-kapal dagang itu 
dievaluasi, apakah efektif atau tidak. Untuk evaluasi perlu tolok ukur. 
Kriteria yang dipakai untuk tolok ukur itu ialah persentase yang mampu 
dirontokkan di antara kapal terbang musuh yang berani mendekati konvoi. Hasil 
observasi menunjukkan bahwa ternyata sangat sedikit pesawat musuh yang dapat 
dirontokkan. Alhasil formasi konvoi dengan sistem pertahanan udaranya dinilai 
tidak efektif.

    Akan tetapi kemudian penilaian berubah. Setelah diteliti dengan jeli, 
ternyata kriteria yang dipakai untuk tolok ukur itu tidak benar. Dalam 
menentukan kriteria terlebih dahulu perlu dirumuskan tujuan sistem itu dengan 
cermat. Apakah benar bahwa tujuan konvoi pengangkut keperluan logistik itu 
adalah untuk merontokkan pesawat? Sama sekali tidak! Tujuan konvoi itu ialah 
untuk mengangkut logistik dengan selamat. Kriteria untuk tolok ukur itupun 
berubahlah menjadi persentase kapal-kapal pengangkut yang rusak atau tenggelam 
oleh pesawat terbang musuh. Dari data yang diperoleh tak sebuah juapun dari 
kapal-kapal pengangkut itu yang rusak apatah pula tenggelam oleh pesawat 
terbang musuh. Dengan kriteria yang telah diubah tersebut, maka sistem 
pengangkut itu dinilai efektif.

    Dalam contoh di atas itu ternyata sangat perlu merumuskan dengan baik 
terlebih dahulu tujuan sesuatu barulah menentukan kriteria. Instalasi senjata 
dalam sistem pertahanan udara kapal-kapal dagang itu bukan untuk merontokkan 
pesawat musuh, melainkan untuk mengusirnya supaya tidak mendekat. Yang penting 
konvoi selamat tidak perduli apakah ada pesawat musuh yang dirontokkan atau 
tidak. Kurangnya persentase yang dirontokkan di antara pesawat musuh yang 
berani mendekati konvoi adalah akibat efektifnya sistem pertahanan udara konvoi 
itu dalam menghalau pergi pesawat terbang musuh. Merontokkan pesawat musuh 
bukanlah pekerjaan konvoi kapal-kapal logistik, melainkan tugas satuan tempur.

    Betapa sulit untuk membuat kriteria tolok ukur, sedang itu baru mengenai 
hal-hal lahiriyah (tangible). Maka betapa pula sulitnya dalam membuat kriteria 
tolok ukur untuk hal-hal yang tersembunyi di dalam batin manusia. Dalam laut 
dapat diduga dalam hati siapa tahu, hanya Allah yang tahu. Akan tetapi itu 
tidaklah berarti bahwa kita tidak dapat sama sekali menemukan kriteria tolok 
ukur untuk menilai yang ada di dalam batin manusia. Yaitu di dalam batin yang 
terdalam di dalam diri kita yang disebut iman.

                              ***

    Kita sekarang sementara berada dalam bulan Sya'ban, bulan yang dapit oleh 
Rajab (sebelumnya) dengan Ramadhan (sesudahnya). Kedua bulan pengapit bulan 
Sya'ban itu masing-masing mengandung peristiwa penting. Dalam bulan Rajab 
terjadi peristiwa Isra-Mi'raj RasuluLlah SAW. Dalam bulan Ramadhan kita 
melaksanakan puasa wajib sebulan penuh. Adakah kaitan di antara kedua bulan 
pengapit Sya'ban itu?

    Biasa kita dengar ucapan-ucapan, utamanya sambutan-sambutan dalam upacara 
peringatan Isra-Mi'raj, bahwa peristiwa Isra-Mi'raj itu sangat penting untuk 
lebih memantapkan iman kita. Apakah betul tujuannya demikian itu? Allah 
berfirman:

    Subhana Lladziy Asray bi'Abdihi Laylan mina lMasjidi lHara-mi ilay lMasjidi 
lAqshha- Alladziy Barakna- Hawlahu liNuriyahu min Ayatina- Innahu Huwa sSamiy'u 
lBashiyru (S. Bany Isra-iyl, 1) 
Mahasuci Yang mengisra'kan hamabaNya suatu malam dari Al Masjid Al Haram ke Al 
Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekelilingnya untuk memperlihatkan sebagian 
dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat (17:1).

    Jelas sekali dalam ayat itu bahwa tujuan Allah mengisra'kan RasuluLlah SAW 
adalah untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Allah, yang bukan hanya 
sekadar tanda-tanda akan tetapi lebih dari itu. Yakni ayat Kawniyah yang nyata 
dan yang ghaib. Diperlihatkan Allah kepada siapa? Yaitu kepada RasuluLlah SAW, 
bukan kepada kita. RasuluLlah yang menyaksikannya dengan mata kepala dan mata 
batin. Tujuan Isra-Mi'raj adalah untuk memantapkan batin RasuluLlah, bukan 
untuk memantapkan iman kita. Kita tidak melihat apa yang telah disaksikan oleh 
RasuluLlah SAW. 

    Ayat Qawliyah di atas itu dimulai dengan Subhana. Itu menunjukkan bahwa 
dalam hal ini kita berurusan dengan sesuatu di luar batas kemampuan akal. Untuk 
dapat mengetahui sesuatu kita harus mempergunakan akal. Akan tetapi akal itu 
berakar pada indera. Dengan demikian kerja akal itu tidak lain merupakan 
perpanjangan (extension) indera. Indera dan akal sifatnya biologis dan nisbi. 
Maka indera dan akal hanya mampu menggarap alam syahadah (physical world) 
secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil garapan akalpun bersifat nisbi. Maka 
kebenaran Isra-Mi'raj bukanlah urusan akal, melainkan urusan yang lebih tinggi 
dari akal yaitu iman. Itulah makna kalimah Subhana pada permulaan ayat Qawliyah 
(17:1) yang dituliskan di atas itu.

    Alhasil peristiwa Isra-Mi'raj bukanlah untuk memantapkan iman, melainkan 
sebaliknya untuk menguji keimanan kita.  Menerima kebenaran Isra-Mi'raj 
sepenuhnya dengan iman, itulah kriteria tolok ukur untuk menilai iman di dalam 
lubuk hati nurani kita. Yang menilainya adalah diri kita sendiri.

    Menilai keimanan diri sendiri itu sangat perlu dalam menghadapi bulan 
Ramadhan yang akan kita hadapi bulan depan. 

    Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu (S. Al Baqarah, 
183). Hai orang-orang beriman telah ditetapkan atasmu berpuasa (2:183).

    Perintah Allah SWT kepada hambaNya untuk berpuasa hanya ditujukan kepada 
orang-orang beriman, maka di sinilah letak kaitannya antara kedua bulan 
pengapit Sya'ban. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 14 Januari 1996
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1996/01/211-kriteria-sebuah-tolok-ukur.html

Reply via email to