Konser Musik Piano Anak Kontemporer - Konservatorium Musik Jakarta.silah 
kunjung http://tv.kompas.com/content/view/12284/109/
untuk melihat dan mendengarkan cuplikan konser musik ini

Konser
di Teater Salihara ini menampilkan karya-karya
musik piano untuk anak yang ditulis oleh sejumlah komponis kontemporer
terkemuka dunia seperti Sofia Gubaidulina, Gyorgy Kurtag, Helmut
Lachenmann, Witold Lutoslawski, Toru Takemitsu, dan Anton von Webern. 
 


keragaman bunyi,
nada-nada minor, perbenturan nada-nada, eksplorasi bunyi, harmoni dalam
‘ketidakharmonian’, artinya keluar dari sekat-sekat, pakem-pakem. 

 menyentil-nyentil petikan pidato Gunawan
Muhamad pada saat pembukaan komunitas salihara, yang kubaca saat
menunggu acara dimulai. ‘tiap kali ada yang berbeda’ ‘seni bukan
sekedar berindah-indah, nonsens’ ‘seni adalah kebebasan’.


Aku dan Sandra (istriku) tak bisa menjawab dengan gamblang dan yakin pertanyaan 
Sonia (putriku), apa arti musik piano kontemporer. 
 
Lalu
ketika aku tanyakan Dito kakaknya kesannya setelah acara usai, jawabnya
pendek saja ‘pusing’. Aku tidak puas mendengar jawabnya dan kemudian
jadi tendensius. “Tapi suka atau ndak?”, Suka sih katanya, sementara
Sonia mulai malas mendiskusikannya. Dia sudah ngantuk.
 
Dalam
pencarianku, untuk sementara waktu salah satu penanda kontemporer
adalah bikin pusing. Barangkali Dito yang dididik piano klasik pusing
dibenturkan dengan ketidaklaziman dan ketidakharmonian, dugaku. 
 
Karena
sonia mengusik dengan pertanyaan arti kontemporer sebelum acara dimulai
maka sepanjang pagelaran, pertanyaan itu mencoba mencari jawabnya di
kepalaku. Memang tak ada jawaban final, yang kutemukan hanya sejumlah
penanda.
 
Salah satu penampilan yang paling mengesankan adalah
penampil yang kulihat sungguh-sungguh menari saat memainkan musiknya.
Seorang perempuan cilik, manis, lugu yang memainkan musiknya dengan
partitur. Dari 31 penampil antara usia 8 hingga 18 tahun hanya 4 yang
menggunakan partitur.
 
Pada penampil lainnya aku mendapat kesan
tarian, gerak kepala, tubuh, hanyalah sekunder, instrumental. Tetapi
untuk penampil berbaju merah ini aku menilai bermusiknya dan menarinya
saling memiliki otonomi. Ini adalah penampilan musik dan tari sekaligus.
 
Seusai
acara Sandra bilang bahwa acara ini diakhiri dengan anti klimaks,
sambil mengusik kenapa pula untuk lagu semacam itu penampil perlu
menggunakan partitur. Lagu yang terakhir memang sangat tidak lazim,
hanya 3-4 tuts saja yang dimainkan, dan pada akhirnya terkonsentrasi
pada satu tuts saja. Sekilas pandang, wajar pertanyaan apa perlunya
menggunakan partitur. Aku bilang, walau nampaknya sederhana tapi aku
pikir karena bertumpu pada satu nada (tuts) inilah, kekuatannya
kemudian ada pada permainan tempo, dan alun keras-lembut. Karena itulah
barangkali partitur digunakan untuk menjaga presisi tempo dan tekanan.
 
Bagiku ini bukan anti klimaks walau juga bukan klimaksnya. 
 
…………….
 
Ada
kebiasaanku untuk mencari yang tidak biasa atau tidak lazim, sesuatu
yang berbeda dari keumuman. Ini yang pertama kali menjadi salah satu
alasan kenapa aku sangat menikmati acara ini.
 
Tetapi bukan
sekedar mencari yang berbeda dan tidak umum (terutama dalam konteks
pengalamanku sendiri), aku suka juga suka dengan keragaman bunyi,
nada-nada minor, perbenturan nada-nada, eksplorasi bunyi, harmoni dalam
‘ketidakharmonian’, artinya keluar dari sekat-sekat, pakem-pakem. 
 
Aku
sempat tertegun dengan satu penampil yang mengeksplorasi (atau
eksploitasi) pedal dengan luar biasa. Aku menangkap kekuatan utama
tampilan ini ada pada gaung dari tekanan tuts tuts nada yang dimainkan.
Pada efek pedalnya, hasilkan efek bunyi seperti orgen listrik.
 
Saat
kemarin itu aku sempat merenung-renung, tersadarkan dan timbul hormat
yang dalam pada alat musik yang bernama piano ini. Kenapa piano terdiri
dari 52 tuts putih dan 36 tut hitam (jumlah baru kemudian kuhitung
dirumah). Ternyata dimulai dari nada la dan diakhiri dengan do. Kenapa
dimulai dari la ya?. Kemudian kenapa ada lengkungan yang khas di grand
piano. Lebih jauh lagi siapa pula yang menemukan nada atau notasi
doremi iwak kebo, mifasol iwak tongkol……
 
Aku dengan bercanda sempat bisik-bisik ke Sandra, walau pun menurutku
ada benarnya juga untuk beberapa lagu. Kalo mereka salah-salah pencet
tuts (main), kita juga kagak tahu. 

Demikian pula aku
berpandangan tidak bisa menilai mana yang paling bagus diantara semua
itu, menurutku semua sama bagusnya. Kemampuan ber pianonya prima, semua
lagu relative. Mungkin yang bisa adalah soal mana yang paling disukai.
Ini kusampaikan saat Sandra dan anak-anak mendiskusikan mana penampil
yang paling bagus.
 
………………………
 
Pada satu momen dalam
pagelaran, menyentil-nyentil petikan pidato Gunawan Muhamad pada saat
pembukaan komunitas salihara, yang kubaca saat menunggu acara dimulai.
‘tiap kali ada yang berbeda’ ‘seni bukan sekedar berindah-indah,
nonsens’ ‘seni adalah kebebasan’.
 
Aku menikmati, sebagai
eksplorasi yang hebat terhadap nada dan instrument yang bernama piano,
penjelajahan, petualangan, kebebasan imajinasi dan kreatifitas,
keindahan. Tapi anehnya sama sekali tidak menghadirkan asosiasi dengan
apapun. Alam, manusia, interaksi dan relasi-relasi, perasaan-perasaan….
Kecuali satu saja aku mengasosiasikan bunyi yang muncul dengan derap
kereta api. Ini soal keindahan dan permainan bunyi, dan kebebasan
ekspresi tanpa batas. 
 
Mungkin harus dikatakan ini soal melangit bukan membumi. 
 
Eksplorasi, penjelajahan, petualangan, kebebasan imajinasi dan kreatifitas, 
keindahan.
 
Segera
pula aku terhubung dengan buku kota-kota imajiner (Italo Calvino),
mimpi-mimpi Einstein (Alan Lightman) dan the last window giraffz (Peter
Zilahy).
 
Yang pertama tentang keajiban 55 kota-kota imajiner,
yang kedua tentang keajaiban mimpi-mimpi, dan waktu-waktu imajiner dan
terakhir novel-kamus, novel yang diceritakan secara alpabetis. Diawali
dengan Ablak (jendela) dan diakhiri dengan Zsiraf (jerapah).

salam hangat
andreas iswinarto
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com



      

Reply via email to