MASIH RELEVANKAH AJARAN
SYEKH SITI JENAR DEWASA INI?
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM*
Note :
* Ir. Achmad Chodjim adalah penulis buku Syekh Siti jenar: Makna Kematian
(jilid 1), Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan (jilid 2) dan
Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
isampaikan pada seminar budaya "culture and Indonesianess" dengan tema
"Agama Ageming Aji". Di Hotel Indonesia Kempinski - Grand Indonesia, 19 Mei
2009.
Seri 4/4 - Terakhir
Tentang Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar
Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus
tahun yang lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang
memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam
sesuai dengan bahasa dan bangsa yang menamai-Nya. Dan, perlu diketahui
bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu nama, karena Dia hanya satu
adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan dengan sesuatu lainnya.
Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah
sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran
dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk
memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan,
pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar
Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama
Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu
Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam seperti
yang terjadi di Malaysia malah meminta orang yang beragama lain untuk
tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut.
Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita yang Muslim menolak pemeluk agama
lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui
bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak
berebut tulang tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan
nilai-nilai ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup
ini. Bagi orang Indonesia, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan
dengan benar merupakan penegakan Sila yang pertama.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya raja penipu.
Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah jalan hidup. Oleh karena
itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup, sehingga pemeluk
agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam menjalani hidup.
Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan perilaku, sehingga
agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam
diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu
diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya.
Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang
memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi
kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang
seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu
rakyat yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan
agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai candu bagi
masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan bernegara, maka
empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin menerapkan agama
sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena itu, agama
diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh bertabrakan
dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua
negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan
para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan.
Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan tokoh agama
adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh karena
itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat, dan
negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya
hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama dan
kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah
Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah
manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas.
Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita
senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya. Sekarang
marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.
Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian
eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah
lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di alam semesta
ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang menyebabkan
orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual diketahui bahwa
Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi, selama
keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh daripada
urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar dirinya.
Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang
inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior
(keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika demikian, kedua jenis
keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh melaui suatu
proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada keberadaan yang
kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam semesta.
Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang
diberikan oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang
terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini
tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang menumpang di layar
perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah
fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia ini panggung sandiwara,
dan kita adalah pemain-pemain sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat
memainkan peran kita masing dengan baik.
Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah
menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik
kehidupan kita sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya
perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara kawula dan Gusti akan
hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan
dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar warganya secara tim,
sehingga semua akan memenuhi fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat
antara pemimpin dan yang dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja
dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi
eksploitasi terhadap sesama manusia.
Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti
(raja, pemimpin, atau atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut
Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan MKG ini akan menggugurkan kehidupan
yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi sesama manusia berupa
simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan. Sesama
manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan fraternite, yaitu hidup
dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara sesama manusia di
dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga dengan wadah yang
disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata
Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah
kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu
seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai
dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat
mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang
sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep
MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!
SELESAI...
Artikel lengkapnya bisa diunduh, pls klick :
http://ferrydjajaprana.multiply.com/reviews/item/53
Salam,
Ferry Djajaprana