Indonesia adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa jadi negeri pemilik masjid (mushalla) dan pendidikan Islam terbanyak di duniamulai dari pendidikan anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun, Indonesia adalah penyumbang jama'ah haji dan umrah terbanyak di negeri kelahiran Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri negara Islam, tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia, suara Indonesia selalu diperhitungkan.
Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pengusiran, pembakaran, dan teror atas Jemaat Islam Ahmadiyyah dan gereja-gereja di berbagai daerah, Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu menerapkan toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Nusantara. Meski Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh kembang dan bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme. Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya. Meskipun Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di Jakarta terdapat Masjid Baiturrahim, di sampingnya ada Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah. Begitu juga di hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan atau di sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah. Itulah "Islam Indonesia", "Islam ala Indonesia". Saya memilah term "Islam Indonesia" dan "Islam di Indonesia." Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah "Islam Indonesia", Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. "Islam Indonesia" adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. "Islam Indonesia" bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. "Islam Indonesia" adalah semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan. Berbeda dengan itu, "Islam di Indonesia" memberikan pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma "Islam di Indonesia" adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia, Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi "orang lain" yang--apabila bisa akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut Syari'at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya. Di balik "Islam Indonesia" atau "Islam di Indonesia" terdapat pilar keislaman yang sangat kuat di Indonesia. Tanpa pilar ini, Islam tidak akan berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara. Organisasi-organisasi ini memiliki akar jama'ah yang sangat kuat di bawah, yang secara sosiologis berbeda satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d'etre sendiri atas kehadirannya di Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur sampai ke desa, dan yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadis. Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat banyak. Di antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da'wah wal Irsyad, Nahdlatul Wathan, Mathla'ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual "Islam Indonesia." Inilah Islam Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang secara umum sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima dasar negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal, dan memiliki ikatan sosial yang sangat kuat. Munculnya isu terorisme, "Islam garis keras", "Islam ekstrim", dan "Islam fundamentalis", yang merongrong dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan dalam menegakkan Syari'at Islam, menyuarakan negara Islam dan khilafah Islamiyyah, sesungguhnya bukan produksi asli Islam-Indonesia. Itu adalah gerakan Islam transnasional yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah. Gejala ini muncul sepuluh tahun terakhir saja, setelah rezim Orde Baru tumbang. Gerakan Islam transnasional ini juga tidak memperoleh dukungan kuat dari mayoritas Muslim Indonesia. Demikian. Author: Marzuki Wahid Penuisan adalah dosen Fak. Syari'ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ISIF Cirebon, dan Dewan Kebijakan Fahmina-instutute. Kini sedang riset untuk disertasinya selama 1 tahun di The Department of Political & Social Change, Research School of Pacific & Asian Studies, ANU College of Asia and the Pacific, Canberra Australia. Email address : marzukiwa...@yahoo.com <mailto:marzukiwa...@yahoo.com> Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya