Oleh : Emha Ainun Nadjib, BUDAYAWAN
Koran tempo, edisi 31 Januari 2009

Sungguh gembira hati ini menyaksikan semakin bermunculan para calon
pemimpin bangsa. Panggung demi panggung terbangun. Terkadang mereka
tampak bersaing ketat, tetapi kemudian nyata sekali bahwa mereka
sesungguhnya bukan memikirkan eksistensi, kepentingan, atau ambisinya
masing-masing, melainkan bersama-sama mengkonsentrasikan diri pada
kepentingan bangsa.

Lihatlah itu Dewan Integritas Bangsa: Salahuddin Wahid, Bambang
Sulistomo, Marwah Daud Ibrahim, Rizal Ramli, dan masih banyak lagi.
Kompetisi di antara mereka bukanlah yang terpenting, melainkan
kebersamaannya untuk siap memimpin bangsa. Begitu tampak wajah Gus
Sholah, muncul kalimat di hati: "Gus Dur sudah uzur? Masih ada Gus
Sholah." Sekilas wajah Rizal Ramli membuat decak kagum: "Gila, ini orang
berani menantang debat Presiden SBY." Marwah Daud? "Kartini abad ke-21,
intelektual, lihat ketangkasan geraknya di panggung nasional." Dan
Bambang Sulistomo: "Bung Tomo saja sudah bikin geger dunia. Apalagi
putra beliau!"

Megawati gegap-gempita lagi: lantang vokalnya, brilian pemikirannya,
keluasan perspektif gagasan-gagasannya, dari gerakan mega mendung hingga
naik turunnya yoyo. Sri Sultan X membuat dada mongkog dan wajah banyak
orang berbunga-bunga. Prabowo yang mantap, Sutiyoso yang rawe-rawe
rantas, malang-malang tuntas, Wiranto kesatria yang kalem. Hidayat
Nurwahid sang ustad ahli ushulul-fiqh sehingga mendahului Majelis Ulama
berpikir tentang halal-haramnya golput. Dan Pak SBY sendiri, jangan
tanya: beliau semakin piawai bagaimana melangkahkan kaki dan melambaikan
tangan.

Sebagian mereka datang ke Mega bukan untuk audisi semacam Pildacil agar
dipilih jadi calon wakil presiden. Kehadiran beliau-beliau mencerminkan
kerendahan hati dan kebesaran jiwa, bahwa yang utama bukanlah
self-dignity, melainkan pengabdian terhadap segala kemungkinan yang
terbaik bagi bangsa.

Memang ada sebagian rakyat kita merasa pesimistis, atau apatis, terhadap
Pemilu 2009. Itu normal, bisa dimafhumi: hak-hak dasar untuk sejahtera
sebagai warga negara memang belum cukup terpenuhi selama ada negara
Indonesia dengan berkali-kali ganti pemerintahan dan kepemimpinan. Tapi
Indonesia akan bangun. Salah satu tanda-tandanya, sejak tahun lalu sudah
bergulir suatu "historical refreshment", gagasan pencerahan
zaman yang mendambakan kaum muda segera tampil memimpin bangsa. Itu
bagai tembang "Bang-bang Wetan": matahari baru semburat di
timur.

Memang kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan
usia. Kalau memang bangsa ini menjumpai ada pemimpin sudah 70 tahun tapi
ia paling capable, apa salahnya. Tapi kan sangat banyak orang usia tua
tapi tak dewasa, atau awet remaja bahkan tetap kekanak-kanakan. Dan
bukankah justru banyak anak muda yang secara mental dan ilmu bergerak
cepat melampaui usianya?

Jadi, ayolah: "bang-bang wetan!" A new "install". Buka
pintu anak-anak muda untuk bikin set-up baru sejarah dan peradaban.
Rizal "Chelly" Mallarangeng, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet,
Marwah Daud Ibrahim, siapa pun kaum muda yang akan naik panggung? Chelly
punya seabrek pengalaman aktivisme dari Yogya hingga negeri Obama, ia
sanggup menarik garis dari penjual wedang, satpam Akademi AU, hingga
istana neoliberalisme. Fajrul penuh nyali dan ilmu yang memadai.
Sarumpaet sangat menguasai "teater global" dan "drama
kehidupan". Marwah malang-melintang dari high-tech hingga santri
Tebuireng.

Mereka bukan hanya layak tanding, tapi pasti unggul secara fenomenologis
dan futurologis. Anak-anak muda ditakdirkan oleh "kebiasaan"
Tuhan untuk pada zaman apa pun membawa paradigma baru. Mereka pelopor
dan perintis. Mujtahid, aktivis ijtihad, kata Islam. Mereka adalah
Obama-Obama Indonesia. Andaikan saja ada persediaan ilmu dan metodologi
untuk mengerti apa hubungan kepresidenan Obama dengan tiga tahun ia di
Jakarta. Tetapi jelas anak-anak muda Indonesia, untuk mencapai puncak
kepemimpinan Negara, tidak harus menempuh 12 tahun persiapan sebagaimana
Obama penggemar teks Pancasila membutuhkannya sebelum menjadi presiden
kulit hitam "not too black" pertama di negeri adikuasa elang macannya
jagat raya.

Indonesia adalah anak bungsu suatu bangsa besar yang pernah melahirkan
Bandung Bondowoso yang sanggup membikin seribu candi hanya dalam waktu
satu malam. Kaum muda cucu Bondowoso bisa menjadi presiden kapan saja,
bahkan secara instan, karena kita bukanlah bangsa dengan kemampuan
"konvensional" sebagaimana bangsa-bangsa lain. Penduduk NKRI
bukanlah bangsa burung "emprit", melainkan "garuda".

Bung Karno cukup lulusan Bandung, tidak perlu kuliah di Belanda dan
bergabung dalam kelompok aktivis "Perhimpunan Indonesia" untuk menjadi
pemimpin terbesar mengungguli Bung Hatta dan tokoh-tokoh siapa pun yang
lain. Soeharto cukup menyerap saripati tari Bedoyo Ketawang untuk
mempecundangi kita semua selama 32 tahun. Habibie bahkan naik takhta
"min haitsu la yahtasib" alias "blessing in disguise". Gus Dur "wong
agung" dengan kebesaran dan kaliber ekstra di mana Indonesia
bergulir-gulir seperti butiran kelereng di genggaman tangannya. Megawati
tidak perlu berkeringat dan mengerahkan ilmu, kekuatan atau aji-aji apa
pun saja untuk sanggup menjadi pemimpin puncak. Dan beliau pemimpin hari
ini, Susilo Bambang Yudhoyono, tangkai bandul, penjaga keseimbangan,
pembersih wajah zaman agar senantiasa resik dan berkilau.

Tentu saja bagi calon-calon pemimpin muda itu bukan ringan bersaing
melawan presiden yang sekarang, yang sangat peka momentum kapan kasih
BLT, kapan menaikkan dan menurunkan harga minyak, kapan tanam pohon,
kapan menggratiskan pendidikan. Ia jugalah konseptor reformasi TNI dan
prajurit bangsa yang paling awal merintis pemikiran dan aspirasi
reformasi.

Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza
Mahendra, karena mereka juga cucu bangsa besar sebagai adik-adiknya,
memiliki ajian pinunjul-nya sendiri-sendiri. Wiranto gagah perkasa
menentang perintah Presiden Soeharto untuk memberangus gerakan mahasiswa
dan makar jarah 1998. Prabowo tegak punggungnya, tajam pandangan
mripatnya, sunyi menanggung risiko terbanting dari tembok rumah
keluarganya, dan ia memiliki keanggunan serta kegagahannya sendiri jika
nanti sebagai presiden berdiri berjejer di hadapannya para pembalak
triliunan rupiah uang rakyatnya.

Sri Sultan jangan diragukan lagi, "keris" di tangan kirinya
sebagai "Khalifatullah ing Bhumi Ngayogyakartahadiningrat" dan
"pedang" di tangan kanannya sebagai Presiden Republik Indonesia:
jika kedua "kesaktian" sejarah itu bergerak, rakyat percaya
beliau akan membukakan pintu-pintu perubahan yang tak terduga.
"Keris" itu lambang kesadaran nenek moyang dan estafet
pencapaian-pencapaian peradaban, "pedang" adalah garda depan
ilmu dan kecakapan modern.

Sutiyoso dipandang oleh segala parameter rasional modern sangat tepat
dan cakap menjadi presiden, karena sukses besarnya menjaga keseimbangan
Ibu Kota selama dua periode, dengan terobosan-terobosan yang susah
dicari tandingannya. Yusril "Cheng Ho" ahli hukum tata negara adalah
"panglima" yang mengerti persis bagaimana membangunkan kembali
sejumlah kebesaran bangsa yang pernah muncul dalam demokrasi era
1950-an, dengan formula yang terukur dosisnya dan pada proporsi yang
relevan untuk kekinian.

Tua atau muda, bangsa kita bergelimang pemimpin. Si pemuda ganteng Yuddy
Chrisnandi dengan ragam pengalaman aktivismenya, Rizal Ramli dengan
keempuannya di bidang yang paling urgen dari permasalahan bangsa:
kebangkitan ekonomi. Dan Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo yang
menggegerkan dunia dari Surabaya dengan "ilmu sihir" yang
menggulingkan rumus ibu perang modern. Itu baru Bung Tomo, belum putra
beliau yang pasti jauh lebih berkaliber kependekarannya dibanding
bapaknya.

Alhasil, kita optimistis menjalani 2009 ke atas. Kalau Anda mengajak
bertanding untuk mengkritik dan menemukan kekurangan atau keburukan para
calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang, yang tepat
adalah membesarkan hati seorang dan setiap calon pemimpin.



Kirim email ke