Penggerak Kepada Pemilikan    

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Surat al-Baqarah / 2:212, dan Ali iImran / 3:14, mengisyaratkan bahwa manusia 
memiliki dorongan psikologis untuk memiliki sesuatu untuk kesenangan dirinya. 
Kehidupan dunia itu dijadikan indah dalam pandangan orang-orang ingkar, dan 
mereka memandang hina orang-orang yang beriman, padahal orang yang bertakwa itu 
lebih mulia dibanding mereka di hari Kiamat, dan Allah memberi rizki kepada 
orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas (Q., s. al-Baqarah / 2:212).

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, cinta syahwati, yakni menginginkan 
kepada wanita-wanita, anak-anak, benda-benda berharga dari emas, perak kuda 
pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, 
dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (Q., s. Ali Imran / 3:14).

Menurut Isfahani mengandung arti keindahan hakiki, yakni sesuatu yang tidak 
memiliki cela pada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara global 
pengertian keindahan itu menurut Isfihani dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu 
keindahan psikologis, keindahan fisik dan keindahan faktor luar. 
    
Dalam al-Qur'an seringkali dinisbahkan dengan Allah seperti ayat dan adakalanya 
dinisbahkan dengan setan seperti terdapat dalam ayat dan juga seringkali tidak 
dinisbahkan dengan fa'il tertentu karena dalam bentuk mabni majhul seperti 
dalam surat al-Baqarah / 2:212 dan surat Ali Imran / 3:14 di atas.

Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa di mata manusia, dunia dengan 
simbo-simbol benda berharga adalah sesuatu yang indah secara hakiki, yang 
kemudian mereka menginginkannya dan memandang perlu untuk memilikinya. Dorongan 
untuk memiliki itulah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dalam 
upaya memiliki apa yang diinginkannya.

Dorongan psikologis atau motif memiliki diperlukan oleh manusia untuk 
mendorongnya melakukan sesuatu yang diperlukan. Motif kepada kepemilikan itulah 
yang menyebabkan manusia memenuhi kebutuhan hidup sementaranya, dan motif itu 
pula yang menyebabkan manusia berebut benda-benda yang bersifat kesenangan 
duniawi yang tidak abadi. Dalam batas-batas tertentu, apa yang dilakukan 
manusia tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan, yakni mencukupi 
kebutuhan hidupnya sebagai makhluk hidup di muka bumi. 

Karena manusia bukan sekedar hewan tatapi hewan yang  berpikir, maka manusia 
dalam merespons dorongan untuk memiliki dapat menetapkan tujuan yang lebih 
tinggi dan lebih mulia, yakni untuk mencapai kebahagiaan dan kenikmatan abadi 
di akhirat, karena tujuan dapat mengendalikan tuntutan dari dorongan itu. 
Manusia memang bebas memilih, dan keputusan pilihannya itu akan berpengaruh 
pada arah hidupnya, dan akibat dari keputusan yang tidak tepat harus ditanggung 
oleh manusia itu sendiri. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan 
untuk menentukan keinginannya tetapi dengan mengingatkan resikonya:
    
Barang siapa menghendaki, kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, niscaya 
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, 
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak 
memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang 
mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Q., s. 
Hud / 11:15-16).

Ayat di atas menyodorkan kepada manusia pilihan yang harus diambil, apakah 
kesenangan hidup duniawi seperti yang diinginkan oleh dorongan psikologisnya 
tetapi dengan risiko tidak memperoleh sesuatu di akhirat, atau menekan 
keinginan yang bersifat duniawinya dengan harapan memperoleh kebahagiaan di 
akhirat sesuai dengan kemuliaan martabatnya sebagai manusia. Allah SWT telah 
menciptakan manusia dan melengkapinya dengan perangkat yang memungkinkannya 
memperoleh kemudahan dan kenyamanan dalam hidupnya.

Orang bijak akan memilih menekan dan mengendalikan dorongan-dorongan kepada hal 
yang bersifat rendah, untuk kemudian melakukan perbuatan yang dapat merangsang 
dorongan kepada kebaikan. Sedangkan orang yang tercela, ia bahkan bertekuk 
lutut kepada dorongan kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan melayani 
seluruh keinginannya.

Karakter dari motif memiliki ini adalah mendorong manusia untuk berusaha 
memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi dan dalam tingkatan tertentu untuk 
serakah terhadap harta benda. Jika tujuan yang ditetapkan oleh manusia sekadar 
untuk memenuhi tuntutan hidup atau memfasilitasi kehidupan yang mulia, maka 
motif memiliki ini mendorongnya melakukan hal-hal yang baik dan pantas. Akan 
tetapi jika motif ini dimiliki oleh orang serakah yang bertujuan menumpuk harta 
dan menduduki kekuasaan didepan manusia, maka motif ini mendorongnya melakukan 
perbuatan yang merugikan orang lain, mendorongnya untuk kikir dan bermusuhan 
dengan rivalnya, sementara hal-hal yang bermakna ridla Allah SWT tidak menarik 
perhatiannya.
    
Karakter motif memiliki itu temperamental dan sungguh-sungguh, hingga ia ingin 
segera memperoleh pemuasan dan tidak mau menunda. Motif memiliki yang sedang 
bekerja kuat senantiasa mendorong pemiliknya untuk berbuat maksimal bahkan 
melebihi kapasitas, dengan segala cara hanya demi memuaskan kebutuhan 
duniawiahnya. Ia memilih yang dekat dari pada yang jauh, memilih yang fana dari 
pada yang kekal. Sedangkan orang yang mampu menggunakan akalnya secara optimal, 
memilih yang kekal dibanding yang fana, menyibukkan diri dengan hal-hal yang 
penting dari pada mengejar 'buih'. Orang yang tunduk kepada motif memiliki 
hal-hal yang bersifat duniawi, ia seperti yang diisyaratkan surat al-A'la / 
87:16-17, selalu mengutamakan kehidupan duniawi, meskipun sebenarnya kehidupan 
akhirat itu lebih baik dan lebih abadi.
    
Dalam kondisi yang menyimpang atau dalam kualitasnya yang rendah, motif 
memiliki dapat mendorng pemiliknya untuk bertindak serakah, melakukan 
kecurangan, menggunakan cara-cara yang kotor, atau bahkan merampas hak-hak 
orang lain dalam praktik-praktik usahanya. Kecenderungan bertindak menyimpang 
dan zalim dalam memenuhi keinginan memiliki harta dengan segala cara itu dapat 
dipahami dari bimbingan al-Qur'an agar manusia tidak diperbudak oleh hawa 
nafsunya, seperti:

1) Larangan usaha menguasai harta yang bukan haknya melalui pengadilan yang 
direkayasa seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2:188,

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu 
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada 
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu 
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Q., s. al-Baqarah / 
2:188).

2) Bahwa mengambil keuntungan melalui jual beli yang tanpa paksaan itu 
dibolehkan, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’ / 4:29,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu 
dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan 
suka sama suka di antara kamu …(Q., s. al-Nisa / 4:29).

3) Bahwa harta anak yatim yang berada dalam pengawasan seseorang harus dijaga 
sebaik-baiknya sebelum diserahkan kepada pemiliknya setelah ia bahwa seperti 
yang ada dalam surat al-Nisa / 4:6.


sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU) Minggu, 
tanggal 17 Mei 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek 
Peruri, RT 001 RW 09, Sudimara Timur, Ciledug. TNG. Program 'Amalia Cinta Bumi 
(ACIBU)' mengajak. 'Mari, hindari penggunaan kantong plastik berlebihan, 
bawalah kantong belanja sendiri. Sebab Kantong plastik jenis polimer sintetik 
sulit terurai- Bila dibakar, menimbulkan senyawa dioksin yang membahayakan- 
Proses produksinya menimbulkan efek berbahaya bagi lingkungan.' Mari kirimkan 
dukungan anda pada program 'Amalia Cinta Bumi' (ACIBU) melalui 
http://agussyafii.blogspot.com atau sms 087 8777 12431





      

Kirim email ke