Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun  kehidupan kolektif dengan substansi yang  
bervariasi seperti  keimanan,  ibadah ritual (spiritualisme),  karakter  
perorangan,  akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum  serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. 

Semua substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal 
- Iman dan Ilmu.  Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu.

one liner  Seri 346
insya-Allah akan diposting hingga no.800
no.terakhir 901
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM  
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
346. Bhinneka Tunggal Ika

Setelah 70 tahun Sumpah Pemuda, maka: Berbangsa satu, bangsa Indonesia, 
mendapat terpaan hebat, yang menyebabkan sikap anak-anak bangsa ini terkelompok 
menjadi tiga: negara kesatuan, negara federasi dan separatis. Kelompok pertama 
dan kedua masih dalam kerangka Sumpah Pemuda, sehingga tidak begitu 
mengkhawatirkan. Namun kelompok ketiga sudah keluar dari kerangka Sumpah 
Pemuda. Kelompok ketiga pernah besuara nyaring dari Irian Jaya dan Timtim, yang 
mengatakan, jika Megawati tidak terpilih jadi presiden akan memisahkan diri. 
Tentu tidaklah semua rakyat dalam kedua daerah itu yang separatis, tetapi 
karena bersuara nyaring gaungnya terdengar jauh. Daerah ketiga yang ingin 
memisahkan diri ialah Bali, karena mereka menganggap agamanya dihina, yaitu 
agama Hindu Bali. Tentu saja seperti rakyat di kedua daerah yang tersebut 
pertama itu tidaklah semuanya ingin memisahkan diri, yang berunjuk rasa belum 
tentu mewakili seluruh rakyat di daerah Bali.

Penguasa Orde Baru disamping mensakralkan UUD-1945 juga membuat sebuah monster 
yang disebut Sara. UUD-1945 tidak boleh disakralkan, boleh diubah, diamandemen 
sesuai kebutuhan zaman. Yang tidak boleh diubah ialah pembukaannya, bukan 
karena disakralkan melainkan karena pembukaan itu pada alinea ketiga terkait 
dengan proklamasi kemerdekaan. Artinya mengubah pembukaan berarti membubarkan 
Negara Republik Indonesia yang diprokalamsikan pada 17 Agustus 1945. Adalah hal 
yang sangat mubadzdzir jika negara ini, yang dipertahankan dengan berkuah darah 
dan berlinang air mata akan dibubarkan begitu saja. Demikian pula mengenai 
Sara. Rakyat Indonesia oleh Orde Baru dijadikan ibarat anak kecil 
dipertakut-takuti dengan hantu. Sara tidak boleh sekali-kali disentuh harena 
sensitif. Padahal justru sebaliknya, Sara menjadi sensitif karena tidak boleh 
disentuh.

Adat kebiasaan suku-suku perlu sekali dimasyarakatkan dalam hal menyangkut 
pergaulan sehari-sehari. Semisal perbedaan dalam tatakrama bertamu. Ada adat 
kebiasaan yang berorientasi kualitas. Tamu yang disuguhi minuman harus 
meminumnya sampai habis. Ini mengandung nilai bahwa demikian enaknya 
(berkualitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu meminum suguhan itu 
sampai habis. Akan tetapi ada pula yang berorientasi pada kuantitas, maka tamu 
harus menyisakan minumannya. Ini mengandung nilai, demikian banyaknya 
(kuantitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu tidak sanggup meminumnya 
sampai habis.

Demikian pula dengan agama. Perbandingan agama jangan hanya dalam ruang lingkup 
akademis, melainkan dimasyarakatkan, sehingga penganut agama yang satu 
mengetahui hal-hal yang pokok mengenai agama lain dari saudara-saudaranya 
sebangsa. Dengan demikian timbullah saling pengertian bahwa memang ada 
perbedaan pokok di antara agama-agama yang dianut oleh para penganut 
masing-masing agama di antara saudara-saudara sebangsa yang berlainan agama, 
sehingga tidak mudah tersinggung. Inilah yang disebut dengan sepakat untuk 
tidak sama, di antara saudara sebangsa setanah air. Itulah hakekat Bhinneka 
Tunggal Ika.

***

Maka dalam kolom ini akan dikemukakan keyakinan ummat Islam dalam hal 
kepemimpinan, untuk diketahui oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air 
yang tidak beragama Islam dan juga untuk para remaja dan pemuda Islam yang 
kurang mengenal ajaran agamanya sendiri.

Firman Allah dalam Al Quran:
-- FLA TTKHDZWA MNHM AWLYAa HTY YHAJRWA FY SBYL ALLH (S. ALNSAa, 4:89), dibaca: 
fala- tattakhidzu- minhum awliya-a hatta- yuha-jiru- fi- sabi-li Lla-hi, 
artinya: Maka janganlah kamu angkat mereka menjadi wali (pemimpin), kecuali 
jika mereka telah berhijrah ke jalan Allah.
-- ALRJAL QWAMWN 'ALY ALNSAa (S. ALNSAa, 4:34), dibaca: arrija-lu kawwa-mu-na 
'alan nisa-i, artinya: Laki-laki itu tulang-punggung (pemimpin) atas perempuan.

Jadi menurut keyakinan ummat Islam berdasarkan agamanya, dilarang mengangkat 
kepala negara yang tidak beragama Islam (4:89) dan tidak boleh pula menjadikan 
perempuan sebagai pemimpin (4:34). Mengenai ayat (4:34) ini ada dua penafsiran, 
yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstual, perempuan tidak boleh 
diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara 
kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan 
berumah tangga.

Ahmad Muflih Saefuddin yang menyatakan siap mencalonkan diri menjadi presiden, 
ketika ditanya apakah ia siap bersaing dengan Megawati, ia mantap meyatakan 
kesiapannya. "Diakan agamanya Hindu. Saya Islam. Relakah rakyat Indonesia 
presidennya beragama Hindu." Ketika para wartawan menyebutkan Megawati seorang 
Muslim, Saefuddin menukas: "Di koran-koran masa anda tidak tahu, saya lihat 
(fotonya) sembahyang di pura." Ketika wartawan mendesak: "Tapi ia menikahkan 
anaknya secara Islam", dengan enteng Saefuddin menjawab: "Mungkin dia agamanya 
dua."

Pada waktu saya masih di SMA saya mempunyai adik kelas bernama Jalu, anak R. 
Marjatmo alias Jatmo yang direktur SMA tersebut. Jalu pernah berkata kepada 
saya: "Nur, saya itu sudah sembahyang di mesjid, juga di gereja, juga di pure." 
Saya menjadi heran waktu itu, lalu sepulangnya ke rumah saya bertanya kepada 
ayah saya, mengapa ada orang tiga agamanya. Ayah saya menjawab pendek: "Itu 
yang disebut sinkretisme."

Jawaban Saefuddin yang spontan secara singkat atas pertanyaan-pertanyaan 
wartawan, bagi saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang beragama 
Hindu, terkesan menghina agama Hindu dan diskriminatif: "Relakah rakyat 
Indonesia presidennya beragama Hindu." Semestinya ia menjawab: "Menurut ajaran 
agama saya, ummat Islam dilarang memilih presiden yang bukan Islam, dan 
perempuan tidak boleh jadi presiden. Sehingga saya yakin dapat menyaingi 
Megawati, karena Megawati saya lihat gambarnya sembahyang di pura, jadi ia 
beragama Hindu, lagi pula ia perempuan sehingga rakyat Indonesia yang beragama 
Islam yang jumlahnya jauh lebih banyak tentu tidak akan memilihnya menjadi 
presiden."

Secara substansial kalimat pendek Saefuddin dengan uraian panjang itu adalah 
sama. Memang orang biasa menjawab pendek-pendek dalam menjawab wawancara. 
Saefuddin telah menyadari terkesan menghina agama Hindu dengan kalimat 
pendeknya itu, makanya itu ia telah minta maaf. Andaikan tidak diperpolitiser 
sesungguhnya hal itu telah selesai. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 1 November 1998
      [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1998/11/346-bhinneka-tunggal-ika.html

Reply via email to