JUAL BELI GHARAR

Oleh: Ustadz Khalid Syamhudi
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2076&bagian=0

DEFENISI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) [1].

Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang
tidak jelas hasilnya (majhul al-'aqibah) [2]. Sedangkan menurut Syaikh
As-Sa'di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah
(ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian [3].

Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud
jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan
; pertaruhan, atau perjudian. [4]

HUKUM GHARAR
Dalam syari'at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang
berbunyi.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli
al-hashah dan jual beli gharar" [5]

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang
lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain
dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui" 
[Al-Baqarah : 188]

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu"
[An-Nisaa : 29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli
gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur'an, yaitu (larangan)
memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini. [6]. Pelarangan
ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman
Allah.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" [Al-Maidah :
90]

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa'di, termasuk
dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri
menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara,
onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual
beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di
dalam Al-Qur'an. [7]

HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR
Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya
pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan.
Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. [8].
Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak
hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat
jenis jual beli ini.

PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting,
karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan
dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : "Larangan
jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh
karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk
dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung" [9]

JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga
sisi.

Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma'dum), seperti jual beli
habal al habalah (janin dari hewan ternak).

Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak,
seperti pernyataan seseorang : "Saya menjual barang dengan harga seribu
rupiah", tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti
ucapan seseorang : "Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh
juta", namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : "Aku jual tanah
kepadamu seharga lima puluh juta", namun ukuran tanahnya tidak
diketahui.

Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti
jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.[10].
Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual
belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti
segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu
sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad,
seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila
diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai
pembayarannya.[11]

Syaikh As-Sa'di menyatakan : "Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada
jual-beli ma'dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan
as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan,
seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan,
baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya" [12]

GHARAR YANG DIPERBOLEHKAN
Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.

[1]. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang
belum ada wujudnya (ma'dum).
[2]. Desepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya,
padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal
ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan,
tidak mungkin lepas darinya.

Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan
dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur
gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan
tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan
yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor
atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat.
Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya.
Menurut ijma', semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama
menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar
yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju
jubah mahsyuwah" [13]

Ibnul Qayyim juga mengatakan : "Tidak semua gharar menjadi sebab
pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah
darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena,
gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan
yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus
sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang
ada dalam hammam
(pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang
ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya
tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas
darinya". [14]

Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar
dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti
ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang
masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut
dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin
melihatnya. [15]

Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar
yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya
kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan
bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar
gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau
ghararnya ringan. [16]

[3]. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian
yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang
terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan
lain-lainnya.

Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut,
namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini,
disebabkan sebagian mereka -diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya
ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan
menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya
Imam Syafi'i dan Abu
Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas
darinya, shingga mengharamkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang
membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : "Dalam
permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu
diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan,
atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak
tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya" [17]

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di
permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya
ringan, dan tidak mungkin di lepas. [18]

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua
jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini,
sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang
menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak. Dengan mengetahui
pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah membimbing kita dalam tafquh
fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan haram. Wabillahit
Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
Foote Note
[1]. Lihat Al-Mu'jam Al-Wasith, hal. 648
[2]. Majmu Fatawa, 29/22
[3]. Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi
Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Tahqiq Asyraf
Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164
[4]. Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet.
I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
[5]. HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai
Alladzi Fihi Gharar, 1513
[6]. Majmu Fatawa, 29/22
[7]. Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq
Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342
[8]. Bahjah, Op.Cit, 165
[9]. Syarah Shahih Muslim, 10/156
[10]. Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang dismpaikan
Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits
Universitas Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih
Mu'amalah, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr
Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa,
Cet. I, Th. 1425H, hal. 34
[11]. Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh
Hamd Al-Hamaad, di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA.
[12]. Bahjah, Op.Cit,. 166
[13]. Majmu Syarhu Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi, 9/311
[14]. Zaadul Ma'ad, 5/727
[15] Syarh Syahih Muslim, 10/144
[16]. Majmu Syarhu Al-Muhadzab, 9/311
[17]. Majmu Fatawa, 29/33
[18]. Zaadul Ma'ad, 5/728

Kirim email ke