Assalaamu'alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh

Berikut saya copy-kan sebuah artikel menarik.
Semoga bermanfaat & menambah ilmu bagi kita semua.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh
Haryo Prabowo
-- 
visit my page(s) ::
http://anNajiyah.notLong.com <http://annajiyah.notlong.com/> (Islamic
download, up to 150 KB/s)
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
If this email marked as spam / bulk / junk / mass, please re-mark it as NOT.
Avoid wrong detection by adding sender's email address into your address
book.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~

*Membagi Kerugian Dalam Mudharabah*
Kamis, 15 Maret 2007 13:55:05 WIB
Kategori : Mu'amalat Dan Riba
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2075

MEMBAGI KERUGIAN DALAM MUDHARABAH


Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari



Mudharabah adalah salah satu bentuk syarikah dalam jual beli. Islam telah
menghalalkan sistem muamalah ini. Dan Islam telah melegalkan seluruh bentuk
syarikah

SYARIKAH ADA DUA JENIS
Pertama : Syarikah Amlaak
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak
atau barang berharga. Yaitu pensyarikahan dua orang atau lebih yang dimiliki
melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk
syarikah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan
kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.

Kedua : Syarikah Uquud
Yaitu perkongsian dalam transaksi, misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syarikah seperti inilah yang hendak kami ulas dalam tulisan
kali ini. Dalam syarikah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak
menggunakan barang syarikah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini,
seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah
miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik
rekannya.

Syarikah Uquud ini, oleh para ahli fiqih dibagi menjadi lima bagian
[1]. Syariqah Inaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah dengan harta masing-masing untuk
dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau
salah seorang sebagai pengelola dan mendapat bagian lebih banyak dari
keuntungan, daripada rekannya.

[2]. Syarikah Mudharabah
Yaitu, seseorang sebagai pemodal menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat bagian tertentu dari
keuntungan.

[3]. Sayrikah Wujuuh
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah terhadap keuntungan dari barang
dagangan yang mereka beli bersama tanpa modal. Pendapatan keuntungan dibagi
atas dasar kesepakatan di antara mereka.

[4]. Syarikah Abdaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah pada harta halal hasil usaha
mereka masing-masing. Atau bersyarikah pada harta yang mereka terima dari
jasa tenaga atau keahlian mereka.

[5]. Syarikah Mufaawadhah
Yaitu masing-masing pihak menyerahakn kuasa penuh atas setiap transaksi
materi maupun fisik, dalam bentuk jual beli dan dalam seluruh urusan mereka
tanpa menggabungkan ke dalamnya keuntungan atau hutang-piutang yang bersifat
pribadi. [1]

Dalam melakukan bentuk kerjasama ini, masing-masing harus menjaga sifat
amanah. Apalagi terjadi kecurangan dan penipuan dari salah satu pihak, maka
bentuk kerja sama ini batal dengan sendirinya. [2]

Pembahasan masalah syarikah ini sangat panjang. Namun dalam kesempatan kali
ini, kita memfokuskan pembicaraan pada salah satu bentuk syarikah, yaitu
syarikah mudharabah. Lebih khusus lagi, yakni berkaitan dengan masalah
kerugian yang terjadi dalam syarikah mudharabah ini.

Masalah : Pihak pemodal menyerahkan uangnya kepada pihak pengelola, lalu
terjadi kerugian dalam usaha tersebut sehingga menghabiskan uang milik
pemodal. Maka siapakah yang menanggung kerugian tersebut? Apakah pihak
pemodal atau pengelola atau keduanya?

Jawab : Ini adalah bentuk syarikah yang disebut mudharabah. Sebagian orang,
yakni penduduk Hijaz menyebutnya qiraadh. Orang-orang umum menyebutnya
dhimaar. Yaitu seseorang menyerahkan hartanya untuk dikelola oleh orang
lain. Satu pihak disebut pemodal, dan pihak lain disebut pengelola

Kerugian dalam syarikah seperti ini disebut wadhii'ah. Kerugian ini mutlak
menjadi tanggung jawab pemodal (pemilik harta), sama sekali bukan menjadi
tanggungan pihak pengelola. Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan
kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah
disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi
tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.

Pihak pemodal berhak mendapat keuntungan dari harta atau modal yang
dikeluarkannya, dan pihak pengelola mendapat keuntungan dari tenaga dan
waktu yang dikeluarkannya. Maka kerugian ditanggung pihak pemodal atau
pemilik harta. Adapun pihak pengelola, ia mendapat kerugian dari jasa dan
tenaga yang telah dikeluarkannya.

Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah
ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni (V/183) mengatakan, "Kami
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini".

Pada bagian lain (V/148), al-Maqdisi mengatakan, kerugian dalam syarikah
mudharabah ditanggung secara khusus oleh pihak pemodal, bukan tanggungan
pihak pengelola. Karena wadii'ah, hakikatnya adalah kekurangan pada modal.
Dan ini, secara khusus menjadi urusan pemilik modal, bukan tanggungan pihak
pengelola. Kekurangan tersebut adalah kekurangan pada hartanya, bukan harta
orang lain. Kedua belah pihak bersyarikah dalam keuntungan yang diperoleh.

Seperti dalam kerja sama musaaqat dan muzaara'ah, dalam kerja sama ini, tuan
tanah atau pemilik pohon bersyarikah dengan pihak pengelola atau pekerja
dalam keuntungan yang dihasilkan dari kebun dan buah. Namun, jika terjadi
kerusakan pada pohon atau jatuh musibah atas tanah tersebut, misalnya
tenggelam atau musibah lainnya, maka pihak pengelola atau pekerja tidak
menanggung kerugian sekalipun.

Masalah : Akan tetapi bagaimana hukumnya bila pihak pengelola dan pihak
pemodal telah membuat syarat dan kesepakatan, bahwa kerugian yang diderita
dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak pengelola, dan selebihnya pihak
pemodal?

Jawab : Syarat dan kesepakatan seperti ini bertentangan dengan Kitabullah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan.

"Artinya : Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah, maka tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus syarat". [3]

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa ada
perselisihan di kalangan ulama. [4] Ibnu Qudamah berkata, "Intinya, apabila
disyaratkan atas pihak pengelola tanggung jawab terhadap kerugian atau
mendapat bagian tanggungan dari wadhii'ah (kerugian), maka syarat itu
bathil. Kami mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.

Barangkali para pemodal akan mengatakan : "Kalian para ulama telah membuka
pintu seluas-luasnya bagi para pengelola untuk mempermainkan uang kami.
Apabila kami menuntutnya, mereka mengatakan, 'Kami mengalami kerugian".

Kalau pengelola tadi adalah orang yang lemah iman; lemah imannya kepada hari
akhirat dan berani menjual agamanya dengan materi dunia, maka orang seperti
inilah yang berani mempermainkan harta kaum muslimin, lalu mereka bersumpah
telah mengalami kerugian. Kelonggaran ini bukanlah disebabkan fatwa dan
pendapat ahli ilmu. Kewajiban atas pemilik harta adalah, mencari orang yang
amanah agamanya dan ahli dalam pekerjaannya. Jika tidak menemukan orang
seperti ini, maka hendaklah ia menahan hartanya. Adapun ia serahkan hartanya
kepada orang yang tidak amanah dan tidak bisa mengelola lalu berkata, Ahli
Ilmu telah membuka pintu bagi pengelola untuk mempermainkan harta kami, maka
alasan seperti ini, sama sekali tidak bisa diterima.

Masalah : bolehkah pihak pengelola menanggung kerugian atas kerelaan
darinya, tanpa paksaan?

Jawaban : Apabila pihak pengelola turut menanggung kerugan atas kerelaan
darinya dan tanpa tekanan dari pihak manapun, maka hal itu dibolehkan,
bahkan itu termasuk akhlak yang terpuji. Wallahu 'alam


Masalah : Bagaimana bila pada jual beli pertama mereka mendapat keuntungan,
lalu pada jual beli kedua mereka mendapat kerugian, apakah keuntungan pada
jual beli pertama dibagi dahulu, lalu kerugian pada jual beli kedua menjadi
tanggungan pihak pengelola? Ataukah keuntungan itu dipakai untuk menutupi
kerugian, lalu sisanya dibagi kemudian?

Jawab : Dalam kasus seperti ini, keuntungan harus digunakan lebih dulu untuk
menutupi kerugian. Jika keuntungan tersebut masih tersisa setelah modal
ditutupi, maka baru kemudian dibagi kepada pihak pengelola dan pihak pemodal
menurut kesepakatan mereka. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (V/169) mengatakan :"Masalah, pihak
pengelola tidak berhak mengambil keuntungan hingga ia menyerahkan modal
kepada pihak pemodal. Apabila dalam usaha terjadi kerugian dan keuntungan,
maka kerugian ditutupi dengan keuntungan. Baik kerugian dan keuntungan itu
diperoleh dalam satu transaksi, ataupun kerugian terjadi pada transaksi
pertama, lalu keuntungan dihasilkan pada transaksi berikutnya. Karena
keuntungan itu hakikatnya adalah, sesuatu yang lebih dari modal dasar. Dan
apabila tidak lebih, maka belum dihitung sebagai keuntungan. Kami tidak
mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan dalam masalah ini".

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma (halaman
112 nomor 534). Beliau rahimahullah berkata :"Para ulama sepakat, bahwa
pembagian keuntungn (itu) dibolehkan, apabila pihak pemodal telah mengambil
modalnya".

Hanya saja Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Maraatibul Ijma, halaman 93,
baha para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun kesimpulanya,
pendapat yang kuat adalah yang telah kita jelaskan diatas.

Apabila keuntungan telah dihitung dan dibagikan, dan masing-masing pihak
telah mengambil bagian dari keuntungan, lalau setelah itu terjadi kerugian,
maka dalam kasus ini, pihak pengelola tidak berhak memaksa pihak pemodal
untuk menutupi kerugian dan keuntungan yang telah dibagikan, sudah menjadi,
hak masing-masing. Wallahu 'alam

Masalah : Bagaimana bila pihak pengelola melanggar syarat atau melakukan
kesalahan prosedur dalam usaha sehingga menyebabkan kerugian?

Jawab : Kerugian tersebut menjadi tanggungan pihak pengelola yang telah
melanggar persyaratan yang telah disepakati, atau melakukan kelalaian, atau
kesalahan prosedur. Sejumlah ahli ilmu telah menyebutkan kesepakatan ulama
dalam masalah ini, di antaranya adalah Ibnu Hazm dalam kitab Maraatibul Ijma
(hal. 93), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma (hal.112 nomor 535). Namun Ibnu
Abi Syaibah menukil dalam Mushannaf-nya (IV/402-403) dari Az-Zuhri
rahimahullah, bahwa beliau menyelisihi ijma' ini. Demikian pula atsar dari
Thawus dan Al-Hasan.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni (VII/162) : "Apabila pihak pengelola
melakukan pelanggaran prosedur, atau melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya, atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka ia
bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat
mayoritas ahli ilmu".

Namun pendapat yang kuat adalah, pihak pengelola bertanggung jawab atas
kerugian tersebut, jika ia melanggar syarat. Karena seorang mukmin wajib
memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kaum muslimin harus menepati syarat-syarat yang telah mereka
sepakati, kecuali syarat yang mehalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal",

Masalah : Namun, bagaimana jika pihak pengelola melanggar syarat, akan
tetapi ia mendapat keuntungan?

Jawab : Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa keuntungan merupakan hak
pemilik modal. Karena harta itu merupakan hartanya. Sebagian ahli ilmu
lainnya berpendapat, bahwa keuntungan menjadi hak pengelola. Karena dialah
yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Ada pula ulama yang
berpendapat, bahwa keuntungan itu menjadi harta sedekah, diberikan kepada
fakir miskin. Ada yang berpendapat, keuntungan diserahkan kepada pemodal.
Adapun si pengelola berhak memperoleh uang jasa yang setimpal. Ada pula yang
berpendapat, keuntungan tersebut dibagi menurut kesepakatan merka berdua.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
sebagaimana tersebut di dalam Majmu Fatawa (XXX/86-87). Wallahu a'lam

Masalah : Bolehkah pihak pengelola mencampur modal tersebut dengan hartanya?
Bagaimana bila itu terjadi ?

Jawab : Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni (VII/158) menjelaskan, pihak
pengelola tidak boleh mencampur modal mudharabah dengan hartanya. Jika ia
melakukan itu, lalu ia tidak bisa memilah mana hartanya dan mana modal
mudharabah, maka ia menanggung kerugian yang mungkin terjadi karenanya.
Karena ia yang diberi amanah, (dan) modal tersebut ibarat wadhi'ah (barang
titipan)".

Masalah : Bagaimana bila masih bersisa dari harta mudharabah, bolehkah pihak
pengelola mengambilnya?

Jawab : Apabila pihak pengelola mendapati di tangannya masih tersisa harta
mudharabah, maka ia tidak boleh mengambilnya, kecuali dengan izin pihak
pemodal.

Ibnu Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila
terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh
mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya
perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak
berhak mengambilnya karena tiga alasan.

Pertama : Keuntungan digunakan untuk menutupi modal dasar, masih terbuka
kemungkinan keuntungan tersebut dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga
belum bisa disebut sebagai keuntungan.

Kedua : Pemilik modal –dalam hal ini- mitra bisnisnya, dia tidak boleh
memotong haknya sebelum pembagian.

Ketiga : Kepemilikan atas keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja
keuntungan tersebut diambil kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila
pemilik modal mengizinkannya maka ia boleh mengambilnya.karena harta
tersebut merupakan hak mereka berdua, dan tidak akan keluar dari hak
keduanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
_______
Maraji
[1]. Minhajus Salikin, SyaikhAbdurrahmanbin Nashir As-Sa'di
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
[3]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam
[4]. Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani
[5]. Silsilah Al-Fatawa ASy-Syar'iyyah, Abul Hasan Al-Ma'ribi
[6]. Mausu'ah Manaahi Syar'iyyah, Syakh Salim bin Id Al-Hilali


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke