Bagaimanakah hukum syar'i dari metode belajar bahasa dengan metode
laduni seperti di bawah ini?
Mohon penjelasan.

Salam,
Imam


      Metode Bahasa Nabi Khidir
SARANA memperdalam bahasa asing kini tersedia melimpah. Kursus bahasa
Inggris, misalnya, sudah menjamur sampai ke pelosok kampung. Dari yang
menyewa ruko hingga yang berkantor megah ber-AC dengan lapangan parkir
nan luas.Lembaga pelatihan bahasa yang bonafide seperti itu biasanya
juga memasang iklan di media cetak atau televisi. Di situ mereka
mempromosikan fasilitas belajar, mulai kelas ber-AC, instruktur asing
(native-speaker), video, dan diktat lengkap. Biayanya, ya, tergantung
pilihan.Ongkos kursus di tempat beken tentu mahal. Umumnya, ratusan ribu
hingga jutaan rupiah untuk satu level program. Yang bertempat di ruko
dengan kipas angin di tiap kelas bisa lebih murah. Kebanyakan orang
perlu beberapa tahun untuk bisa mahir. Sudah begitu, kalau tidak aktif
digunakan, Anda bisa kembali gagap.Kini Anda bisa mencoba cara baru.
Di Pondok Pesantren (Ponpes) Nurur Riyadhoh, Desa Alas Tengah, Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Anda cuma perlu datang
sekali. "Dijamin dalam tiga bulan bisa menguasai, dan tidak akan pernah
lupa," kata KH Ahmad Shaleh, pendiri ponpes.Pondok yang punya 150-an
santri itu memperkenalkan apa yang disebut sebagai ilmu laduni. Menurut
kiai yang biasa disapa Gus Shaleh itu, setiap orang sudah menguasai
semua bahasa. Hanya, tidak bisa mengucapkannya, lantaran tak dibiasakan
sejak kecil. "Ilmu laduni membantu menemukan kembali bahasa itu," kata
lelaki 48 tahun itu.Selama proses "pencarian" ilmu itu, tidak diperlukan
alat bantu apa pun. Baik video, kaset bahasa asing, laboratorium bahasa,
apalagi native speaker. Sebagai gantinya, para santri bahasa (mereka
yang datang hanya untuk menguasai bahasa asing) menjalani ritual.
Menurut Gus Shaleh, seorang santri bahasa harus melakukan tiga macam
ritual.Pertama, tahap pembukaan dengan metode ijazah. Yakni pengisian
ilmu oleh seorang kiai. Santri duduk bersila menghadap kiai. Kemudian
sang kiai merapalkan doa tertentu. Tahap ini cuma butuh waktu lima
menit. Setelah selesai, sang kiai memberikan selembar kertas berhuruf
Arab. "Ini bacaan salawat saja kok, ditambah beberapa doa,"
katanya.Setelah mata batin santri dibuka dengan ijazah, selembar kertas
berisi salawat dan doa itu dibaca berulang-ulang selama kurang lebih dua
jam. "Ini semua masih dalam prosesi pertama," ujar kiai berusia 48 tahun
itu. Setelah itu, santri masuk tahap kedua, yakni penarikan bahasa yang
dikehendakinya. Misalnya bahasa Inggris.Pada tahap ini, santri dipancing
oleh salah satu santri sang kiai dengan obrolan bahasa yang dikehendaki
santri bahasa. Tujuannya, agar santri bahasa terbiasa mendengarkan
bahasa yang diinginkannya. Berulang-ulang, sehingga terekam ke dalam
memori dan mata batinnya.Selama proses itu, pertanyaan kiai memang tidak
dijawab. "Tapi mata batinnya bisa memahami," kata Zainullah, salah satu
anak buah Gus Shaleh yang membantu proses itu. Setelah beberapa lama
berjalan, prosesi masuk ke tahap akhir. Yakni pemisahan dan pencucian
bahasa.Tujuannya, agar santri fokus pada pilihan bahasa yang
dikehendaki. Selain itu, santri juga dibuka kemampuan menulisnya. Untuk
sampai pada tahap ini, santri diminta mandi. Tentu tak sembarang mandi.
Ada doa-doa yang dipanjatkan sang kiai. "Tujuannya, untuk mengunci dan
mempercepat proses penguasaan bahasa dengan ilmu laduni," sang kiai
menambahkan.Untuk santriwati tidak harus mandi. Tetapi, jika santri itu
tidak keberatan, bisa saja dimandikan. Hanya ditemani kerabatnya. Asal
tahu saja, prosesi mandi ini dilakukan di kamar mandi dengan pintu
terbuka. Seluruh proses itu hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu,
santri bahasa bisa pulang.Menurut Gus Shaleh, prinsipnya santri yang
sudah melalui prosesi itu sudah menemukan bahasa yang dicari. Hanya, ia
tidak otomatis mahir. Untuk mencapai tahap mahir, masih dituntut upaya
lain. "Ya, si santri bahasa harus berlatih. Makin giat, ya, makin cepat
menguasai," katanya. Sarana berlatih bisa buku, kaset, video, atau
bicara dengan orang asing sekalian.Untuk menyerap ilmu laduni, santri
bahasa bisa memilih dua program: istimewa dan biasa. Untuk program
pertama, santri dipungut ongkos (biasa disebut mahar), Rp 1 juta. Yang
kedua cuma Rp 350.000. Kedua program itu sama-sama meliputi tiga prosesi
tadi.Hanya, ada sedikit berbedaan perlakuan. Sayang, Gus Shaleh enggan
berbagi rahasia. "Wah, tidak bisa disebutkan, Mas," katanya. Tapi,
kabarnya, pada program istimewa, santri diberi tambahan doa-doanya yang
tidak ada pada program biasa. Hasilnya sudah tentu berbeda pula.Dengan
upaya yang sama, santri dengan program istimewa bisa menguasai bahasa
asing lebih cepat ketimbang program biasa. Dengan program istimewa,
santri bisa menguasai bahasa asing dalam tempo dua pekan. Yang mengambil
program biasa bisa sampai tiga bulan.Dari hari ke hari, peminat program
ini terus meningkat. Saat Gatra datang, tiga pekan lalu, hampir 20 orang
antre menunggu giliran diberi ilmu laduni. Biasanya, peminat makin ramai
pada akhir pekan. "Bisa sampai 30-50 orang per hari," kata Zainullah.
Mereka datang dari pelbagai daerah di Jawa. Bahkan dari luar Jawa,
seperti Sumatera dan Kalimantan.Padahal, tidak ada publikasi apa pun
tentang belajar bahasa asing dengan metode ilmu laduni itu. Kebanyakan
santri bahasa datang setelah mendengar keberhasilan orang lain. Itu pula
yang disampaikan dua santri bahasa yang ditemui Gatra di Ponpes Nurur
Riyadhoh.Seperti dituturkan Sarjono. Pemuda kelahiran Klaten, Jawa
Tengah, 29 tahun lalu itu datang jauh-jauh dari Bali. Di Pulau Dewata,
ia bekerja di sebuah restoran. "Kebanyakan pelanggan restoran dari
mancanegara, Mas. Saya ingin lancar meladeni mereka bicara," katanya.
Maka, ia memilih bahasa Inggris, Mandarin, dan Jerman.Anak bungsu
pasangan Sukardjo dan Rukmini itu mengetahui informasi tentang kelebihan
Ponpes Nurur Riyadhoh dari teman seprofesinya. Sebelumnya, si teman tak
bisa berbahasa Inggris. Namun, setelah datang ke pondok tersebut,
sekitar tiga bulan, ia sudah bisa cas-cis-cus.Semula Sarjono tak yakin
bahwa ilmu laduni bisa mengantarkan seseorang cepat menguasai bahasa
asing. Tapi, setelah si teman membuktikannya, ia tak bisa membantah.
Bahkan tergerak untuk membuktikannya pula. "Apa salahnya jika saya juga
mencobanya, Mas," kata Sarjono.Kisah itu agak mirip dengan pengalaman
Andik Setyowibowo, 21 tahun. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas
MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), mulai tertarik dengan Ponpes Nurur
Riyadhoh setelah mendengar kisah sukses teman sekelasnya. Suatu kali, si
teman menyodorkan sertifikat hasil tes TOEFL yang mencapai 500. "Wah,
saya kaget. Saya tahu, dia tergolong gagap bahasa Inggris, tapi kok
bisa," katanya.Menurut si teman, ia berguru sehari di Nurur Riyadhoh.
"Maka, saya pun menjajalnya," katanya. Tujuannya, untuk menunjang
studinya di UGM. Sebab, dalam setiap materi perkuliahannya, referensi
yang digunakan mayoritas berbahasa asing (Inggris). "Ya, hitung-hitung
trial and error," ujarnya. Selain itu, mungkin dia bisa mendapatkan
beasiswa studi ke luar negeri.Menurut Gus Shaleh, pengajaran ilmu laduni
itu sudah dimulai sebelum Ponpes Nurur Riyadhoh berdiri, pada 1990-an.
Awalnya dia hanya ingin membantu seorang temannya yang ingin belajar
bahasa Jepang karena berniat jadi TKI. "Kebetulan saya punya ilmu
laduni. Ya, saya bantu," katanya. Setelah dibantu, ternyata
sukses.Keberhasilan itu menjadi buah bibir. Mulanya, kemampuan Gus
Shaleh hanya bergaung di seputar Probolinggo. Lama-kelamaan menyebar ke
luar kota. Gus Shaleh mengaku mendapatkan ilmu laduni itu dari Nabi
Khidir AS melalui ritual tirakat (lelaku, bertapa).Tirakat dimulainya
sejak usia tujuh tahun. Yang mengajarinya tirakat tak lain adalah
ayahnya, KH Jauhari. Biasanya Gus Shaleh melakukan tirakat di tepi laut
sambil mencari ikan. Pada usia sekitar 12 tahun, Gus Shaleh mengaku
bertemu dengan Nabi Khidir AS di tepi laut.Dalam pertemuan itu, menurut
Gus Shaleh, wujud Nabi Khidir AS berupa seorang manusia yang mengenakan
pakaian seperti rakyat biasa. Ia mengangkat Gus Shaleh sebagai muridnya.
"Ada banyak ilmu diberikan. Salah satunya ilmu laduni," katanya.Koesworo
Setiawan, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)[Astakona, Gatra Nomor 21 Beredar
Senin 4 April 2005]
     



**********************************************************************
This email and any files transmitted with it are confidential and
intended solely for the use of the individual or entity to whom they
are addressed. If you have received this email in error please notify
the system manager.

This footnote message is automatically generated & confirms that
this email message has been swept by the content scanner for the
presence of computer viruses.
**********************************************************************






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke