DENGAN APAKAH HUJJAH ITU DAPAT DITEGGAKAN ?

Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah


Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Semoga 
Allah memberikan kebaikan pada Anda. Dengan apakah hujjah itu dapat 
ditegakkan?

Jawaban:
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan 
dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia 
tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-
dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka telah 
tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan 
shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya, 
maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada 
dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia. 

Tapi terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti 
dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa 
itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak 
mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan 
pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu 
bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, 
dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses 
yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-
dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang 
menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah 
hujjah pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau 
ada penghalang tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan 
bahwa hujjah telah ditegakkan pada dia.

Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu 
dikembalikan kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. 
Maka jika ulama tadi mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan 
pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita memperkirakan apakah dia 
faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang menyimpang itu 
mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu 
bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka 
bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak 
bisa ditegakkan oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan 
hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan seseorang : 
Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus 
tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak dengan 
menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia 
serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan 
serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang 
menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena 
menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat 
menghukuminya.

Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, 
seperti orang jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah 
dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau 
tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam 
dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada 
Nabi Musa dan Harun.

"Artinya : Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia 
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut" [Thahaa : 
43-44]

Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi 
Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, 
karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin 
(lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak 
akan bisa hujjah itu tegak dengannya.

Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan 
penjelasan terhadap orang yang bersalah.

Juga seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai 
keilmuannya oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika 
penegak hujjah tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak 
membuahkan hasil.

Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan 
hujjah tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila 
orang yang bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan 
memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari 
kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu 
kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. 
Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang 
malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti 
diketahui oleh semua orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena 
pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan tidak dilanggar 
kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada 
hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang 
harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal 
ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah 
memberikan udzur dengan kejahilannya itu.

Firman Allah Subhanahu wa Taala.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan 
kemampuannya" [Al-Baqarah : 286]

Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama 
(tidak satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh 
dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi 
para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh 
dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara 
penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya 
sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.

Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus 
kita minta penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada 
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi 
shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz?, padahal 
Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan 
ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi 
ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal 
itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena 
beliau melihat ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun 
berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada 
Nabinya) . Demikian pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari 
beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam 
kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu 
Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang 
kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian 
Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi 
wa sallam pun memaafkan beliau [Lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, 
Shahih Muslim 4/1941 no.2394 --pent]

Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu 
seorang ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi 
shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang 
membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya bisa 
diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab 
syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.


[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily 
hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah 
Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam 
Madinah]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke