Dari Millis sebelah,
============= Assalaamu'alaykum wr wb., Menanggapi tulisan Goenawan Mohamad (penulis) yang diposting di bawah ini, jujur saja saya sedih sekali atas kejadian yang menimpa Ibu malang itu. Namun apakah kejadian itu mewakili keadaan yang sesungguhnya di daerah Arab, saya yakin masih perlu penelusuran dan penelitian lebih jauh. Apalagi kalau kejadian itu dihubungkan dengan rencana pengesahan "RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi". Saya tinggal di salah satu negara Arab, tepatnya Qatar, yang bertetangga dengan Saudi, belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Memang pernah saya mendengar adanya pelecehan seksual atau penganiayaan pembantu oleh majikan, tapi apakah hal ini juga tidak terjadi di negeri kita ? Mungkinkah pelecehan yang ada justru kadang disebabkan oleh "sang wanita" sendiri ? Pernah dalam suatu penerbangan ke Timur Tengah saya menjumpai bagaimana saudari-saudari kita yang calon TKW cekikikan terkagum-kagum dengan pramugara berwajah ke-arab -an di dalam pesawat. Mereka cukup berani "menarik perhatian" pramugara yang memang mondar-mandir di dalam pesawat untuk melayani penumpang. Kalau "keberanian" atau kenekatan ini terbawa ketika mereka tiba di rumah majikan atau sponsor, bagaimana tak mungkin terjadi peluang pelecehan seksual ? Jadi di sini saya ingin mengatakan bahwa pelecehan seksual yang ada, di luar contoh yang disampaikan penulis, bisa terjadi disebabkan oleh wanita itu sendiri. Kasus yang dijadikan contoh penulis belum bisa dipastikan bahwa si Ibu "merangsang nafsu birahi" si lelaki yang mengitari dan memandanginya. Sayang penulis tidak menjelaskan ketika terjadi di mana posisi yang sebenarnya ibu-ibu tersebut, apakah di tempat yang ramai atau sepi, apakah di tempat yang rawan atau aman. Di tempat tertentu, untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, wanita yang bepergian sangat dianjurkan untuk ditemani mahramnya yang laki-laki. Dan penulis tidak menjelaskan apa yang terjadi setelah itu, apakah ada tindakan asusila selanjutnya dari laki-laki tersebut, ataukah itu hanya sebuah gurauan atau bahkan kesalahan yang tanpa mereka sengaja. Perlu penulis ketahui, bahwa justru di Arab sangat melindungi dan memuliakan wanita. Wanita diberi ruang khusus di tempat pelayanan-pelayanan umum. Kalau tidak ada ruang khusus, wanita biasanya didahulukan di dalam pelayanannya. Terbalik dengan yang penulis kemukakan, saya justru melihat RUU APP ini membawa semangat memuliakan wanita, melindungi wanita dari tindak asusila terhadapnya yang saat ini semakin memprihatinkan dan menyayat hati. Sebagian tindak asusila disebabkan oleh bebasnya arus aksi, gambar dan informasi yang bersifat mengundang birahi. Saya ingin mempertanyakan yang dimaksud dengan kaum Wahabi yang keras, keras dalam hal apa, aqidah, muamalah, atau keras yang lain ? Apa yang dimaksud mudah terangsang, melihat obyek lalu terangsang atau membayangkannya kemudian terangsang, dan apakah mereka memang mudah terangsang, bagaimana penulis tahu, apakah penulis punya datanya yang bisa dipertanggungjawabkan ? Pun demikian takut terangsang, apa dasarnya penulis yakin akan hal ini. Bagaimana penulis bisa menyimpulkan bahwa yang penulis yakini, mudah terangsang dan takut terangsang, ini cukup merata di seluruh Arab, apalagi dikaitkan dengan sejarah sosial, keadaan iklim dan lain-lain. Apakah penulis juga tahu bahwa di Indonesia lelaki punya sensitivitas rangsangan yang berbeda sedemikian ekstrim-nya dengan sensitivitas rangsangan bangsa Arab ? Saya yakin penulis tahu bedanya "takut terangsang" dengan memisahkan tempat wanita dari pria, atau membatasi kontak langsung antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya. Bagaimana penulis yakin bahwa semangat RUU APP ini adalah semangat "takut terangsang" yang diimpor dari Arab ? Saya justru melihat, jika aksi dan arus informasi yang mengundang birahi tidak diatur, maka tidak bisa dibayangkan masa depan Republik ini. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak wanita hamil yang tidak diketahui bapak janinnya, tidak bisa dibayangkan berapa banyak anak yang punya bapak sekaligus kakeknya, tidak bisa dibayangkan berapa banyak anak yang punya ibu sekaligus kakaknya. Na'udzubillahi min dzaalika. Penulis sudah menyitir perkecualian dari RUU APP ini, bagaimana penulis bisa merisaukan orang Jawa atau Bali yang berjualan di pasar atau lari pagi ? Bukankah seharusnya penulis tahu bahwa hal ini bisa dikatagorikan dalam perkecualian itu ? Apakah penulis masih ingat beberapa kasus asusila yang belakangan marak terjadi, bahkan tersebar dipelbagai internet atau berita ? Apakah penulis tahu sebab dari pelbagai tindakan asusila yang terjadi ? Apakah peredaran atau aksi yang mengundang birahi tidak berkontribusi di dalam tindak asusila yang semakin hari semakin menyayat hati ? Apakah seni selalu bersifat erotis dan mengundang birahi ? Apakah kita akan diam, atau mendiamkan tindakan asusila menjadi semakin biasa ? Bagaimana jika tindakan asusila itu menimpa orang-orang yang kita cintai ? Mau kita kemanakan keluarga kita, orang-orang yang kita cintai, dan masa depan Republik ini ? Sekarang saya persilakan memilih: a. Republik yang dihuni anak bersama ibu sekaligus kakaknya dan ayah sekaligus kakeknya, bertetangga dengan anak yang tidak tahu bapaknya dan bapak yang tidak tahu anaknya, b. Republik yang beraneka ragam, yang hidup berdampingan saling menghormati, yang faham mana yang hak dan mana yang bathil. ps: kalau ada yang tahu di mana tulisan asli Pak Goenawan dimuat, mohon diinfokan. Wassalaamu'alaykum wr wb., Ali Musthofa, 85, Doha 10 Maret 2006 !*************************** On 3/9/06, Ilham B Santoso < [EMAIL PROTECTED] wrote: Rabu, 08 Maret 2006 Opini 'RUU Porno': Arab atau Indonesia? Goenawan Mohamad Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernah berkunjung ke Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Pada suatu hari ia ingin berjalan ke luar rumah. Sebagaimana adat di sana, ia bersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah di jalan dengan purdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak. Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba dua mobil, penuh lelaki, mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata para penumpangnya nyalang memandangi dua perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup itu. "Apa ini?" tanya perempuan Indonesia itu kesal. Cerita ini nyata--dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU "Anti Pornografi dan Pornoaksi" (kita singkat saja: "RUU Porno"). Cerita ini menunjukkan bahwa dengan pakaian apa pun, perempuan dapat dianggap merangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah? "Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram," kata Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber "nafsu berahi" adalah yang dilihat, bukan yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalah benda-benda (majalah, film, buku--dan perempuan!), sedang yang melihat adalah orang, subyek, yaitu laki-laki. "RUU Porno" itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki, dengan catatan khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yang berada di dua mobil dalam cerita di atas. Mereka melihat "rangsangan" di mana saja. Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yang keras), sikap mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata, berjalinan, mungkin karena sejarah sosial, keadaan iklim, dan lain-lain. Saya tak hendak mengecam itu. Soalnya lain jika semangat "takut terangsang" itu diimpor (dengan didandani di sana-sini) ke Indonesia, atas nama "Islam" atau "moralitas". Masalah yang ditimbulkan "RUU Porno" lebih serius ketimbang soal bagaimana merumuskan pengertian "merangsang" itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini--yang dihuni umat beragam agama dan adat ini--akan dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain? Saya katakan nilai-nilai di balik "RUU Porno" datang dari satu golongan "yang belum tentu merupakan mayoritas", sebab tak semua orang muslim sepakat menerima nilai-nilai yang diilhami paham Wababbi itu. Tak semua orang muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi. Ini pokok kebangsaan yang mendasar. "Kebangsaan" ini bukan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerima nilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga kita menerima Konfusianisme, loncat indah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan kebangsaan adalah kesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga menerima hak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi. Mari kita baca sepotong kalimat dalam "RUU Porno" itu: Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat "pornoaksi" (sic!) dikecualikan bagi "cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan". Tapi ditambahkan segera: "sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan". Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkait dengan "adat istiadat" dan "budaya kesukuan". Bagaimana dengan rok dan celana pendek yang tak ada dalam "adat istiadat" dan "budaya kesukuan"? Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yang berjualan di pasar atau lari pagi di jalan, harus "berbusana" menurut selera dan nilai-nilai "RUU Porno". Kalau tidak, mereka akan dihukum karena berjualan di pasar dan lari pagi tidak "berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan". Ada lagi ketentuan: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa". Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Para pelukis akan waswas, sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil, Rendra, dan Sutardji serta novel macam Belenggu atau Saman. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho, sampai dengan Riri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media. Walhasil, silakan memilih: A. Indonesia yang kita kenal, republik dengan keragaman tak terduga-duga, atau B. Sebuah negeri baru, hasil "RUU Porno", yang mirip gurun pasir: kering dan monoton, kering dari kreativitas. 7 Maret 2006 _____ [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/