http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273876&kat_id=16
                  Hamka dan Pluralisme Agama 
           
              Oleh :  
          
                   Adian Husaini 
 Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia
  Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif  menulis kolom Resonansi di 
Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al 
Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam 
Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam 
hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan 
tersebut. 
  Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya 
cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu 
diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru 
terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini 
sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama 
untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang 
sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.
  Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada 
agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya 
agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis 
kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung 
paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk 
menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka 
mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, 
semuanya aku terima.'
  Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam 
kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. 
Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit 
Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku 
serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan 
dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI 
juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, 
Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku 
ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung 
paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham 
universalisme radikal.
  Penyalahgunaan
 Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya 
dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal 
beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat 
pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di 
akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi 
Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah 
Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha. 
  Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is 
Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic 
Self-identification, menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada 
kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk 
diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab 
Yahudi dan Kristen."
  Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam 
mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam 
Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi 
dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan 
keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak 
sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka 
(sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di 
antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada 
Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, 
bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak 
memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari 
hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar. 
  Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 
'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan 
benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul 
Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat 
mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya 
melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah 
kepada Allah dengan benar. 
  Pendapat Hamka
 Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam 
sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang 
lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka 
memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan 
barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah 
akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang 
rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya 
sejalan.
  Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga 
dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat 
yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam 
ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya 
percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan 
hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."
  Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa 
mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala 
firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, 
termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi 
Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna 
QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69. 
  Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal 
ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi 
Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada 
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan 
juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.
  Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, 
dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik 
kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari 
kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para 
pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap 
Hamka dalam masalah keimanan Islam. 
  Ikhtisar
 - Ayat 62 Surat Al Baqarah dan ayat 69 Surat Al Maidah kerap digunakan untuk 
menjustifikasi paham pluralisme agama.
 - Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat Muslim, tapi juga di 
kalangan umat beragama lain.
 - Tiap agama pun melawan paham tersebut.
 - Sosok Hamka sangatlah jauh berbeda pandangannya dengan para pengusung paham 
pluralisme agama.


Bila lidah kelu, tulisan menjadi perlu
Pena lebih tajam dari pedang
Tinta seorang  berilmu lebih mulia dari darah seorang syahid


  pustaka tani 
  nuraulia

 
---------------------------------
Want to start your own business? Learn how on Yahoo! Small Business.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke