Oleh: M. Syamsi Ali *) 

Penulis ( M. Syamsi Ali ) adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New 
York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York"

Sekitar dua bulan lalu, saya didatangi oleh seorang anak muda dengan perawakan 
gemuk dan berjanggut tipis yang hampir tidak terurus. Mungkin karena kondisi 
fisiknya yang gemuk, atau karena memang baru saja masuk ke Islamic Center 
setelah berjalan kaki cukup jauh, sang pemuda itu nampak berkeringat. Nampak 
sedikit kaku, bimbang, tapi berusaha melempar senyum.

Sambil menyodorkan jabatan tangan, anak muda ini memperkenalkan diri sebagai 
"Emanuel". Tentu dengan ramah kusambut jabatan itu sambil memperkenalkan diri. 
Dia sepertinya ingin menenangkan diri sehingga berusaha untuk lebih "confident" 
dalam ekspresi wajahnya. Tapi saya menangkap seolah ada sebuah kekhawatiran di 
benaknya. Ternyata memang betul. Ketika saya tanyakan hal itu, dia menjawab: 
"This is my first time to a Mosque and I am worried how to behave in an 
appropriate mannerĂ¢." 

"Emanul, feel at home! Mosque is the most public place on earth. Every body is 
welcome regardless their status, including their religious affiliation",  jawab 
saya menenangkan. Saya pun memulai bertanya, kenapa tertarik untuk datang ke 
mesjid? Dia menjawab: "I am a Graduate from Cornell University, Upstate New 
York, and still remember my class on Middle Eastern Studies." 

Saya tanyakan: "What did you study?" Dia menjawab bahwa dia sebenarnya belajar 
Islam. Bahkan menurutnya, dia sendiri sejak belajar di Cornell itu diam-diam 
sudah membaca Al-Quran, dan hingga saat ini masih terus. Menurutnya lagi "the 
more I read the Quran, the more I feel being attracted to read more" Bahkan, 
menurut dia, Al-Quran itu memberikan "peace in mind". "I used to read it even 
before sleeping, " lanjutnya.

Tanpa bertanya panjang lebar, saya mulai menjelaskan Islam seperti biasanya. 
Cuma menghadapi seseorang seperti Emanuel ini memerlukan pendekatan yang 
sedikit rasional dan ilmiyah. Rupanya tanpa saya sadari dari namanya, dalam 
benak saya ketika itu Emanuel adalah seorang  Kristen atau Katolik. Karena 
memang mayoritas mereka yang datang belajar Islam adalah Kristen atau Katolik. 
Maka penjelasan-penjelas an saya kepadanya banyak menekankan mengenai kedudukan 
Isa dan ibunya dalam Islam.

Setelah sekitar setengah jam menjelaskan Islam, baru saya bertanya, "What is 
your back ground? I mean, your religion". Dia dengan sedikit tersenyum 
mengatakan, "I am a Jewish, but originally from Puerto Rico".  Saya hampir 
menyesal dengan penjelasan-penjelas an panjang lebar mengenai Isa dan ibunya, 
padahal kaum Yahudi tidak percaya kepada ketuhanan Isa, bahkan tidak 
mempercayai Isa sebagai Nabi.

"I am sorry",  saya sampaikan. "I think you were completely disconnected from 
my talk, since you dont believe in Jesus at Allah".  Dengan sopan Emanuel 
menjawab: "It's fine. I love to learn and I enjoyed your talk". 

Tiba-tiba saja Emanuel menyela: "I am actually willing to embrace Islam. But I 
don't  know what to do. Saya segera menjawab: "to convert to Islam is very 
easy. Probably the most difficult part of that, is to make sure that you are 
really convinced that Islam is the truth and the right way to follow. 

Dia dengan mantap menjawab: "I am very much sure about that, but I have 
something to ask before doing it. Saya tanya: "What is that?. Dia bilang: "I am 
an actor. I used to perform live show in different places here in the City. Can 
I still be an actor after becoming a Muslim?"

"O yes, sure!", jawab saya tegas. "What you need to do after becoming a Muslim 
is learning some Islamic regulations concerning the arts. Islam is a practical 
religion and it provides clear guidance on what to do and not to do". Mendengar 
jawaban saya itu, Emanuel sepertinya sangat puas dan senang.

Menjelang azan shalat Zhuhur saya minta seseorang untuk mengajarkan wudhu. 
Setelah berwudhu kembali saya ajarkan beberapa hal, termasuk kalimah syahadah 
yang sebentar lagi akan diucapkan di hadapan jamaah shalat Zhuhur. Saya juga 
mengajarkan cara shalat secara ringkas, hingga azan berkumandang. Nampak 
Emanuel khusyu' mendengarkan azan pertama kali siang itu.

Menjelang shalat dimulai saya ajak Emanuel ke depan jamaah  dan menuntungnya: 
"Asy-hadu al laa ilaaha illa Allah, wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah". 
Dengan khusyu'  Emanuel mengikuti saya mengucapkan Kalimah itu, disusul pekik 
takbir para jamaah  yang hadir. Iqamah untuk shalat dikumandangkan, dan Emanuel 
melakukan shalat pertama kalinya.

Semoga Allah menguatkan iman dan Islamnya saudara kita, Emanuael Fihmen!

New York, 8 Pebruari 2007

 

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah 
penulis rubrik "Kabar Dari New York"

-- 
This message has been scanned for viruses and
dangerous content by MailScanner, and is
believed to be clean.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke