Lelaki yang gelisah (kisah yang menyentuh)                 Dear All, 
Rasanya ini baik untuk direnungkan setiap kita yang merasa "berkecukupan" dan 
selalu "dimanja" oleh Tuhan.
--------------------------------------------------------------------------------
   
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu 
mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah 
saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di 
keningnya.      Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa 
jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? 
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan 
keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi 
mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa 
beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan 
Yudi, anak saya?      Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran 
telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah 
semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci 
seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini,
 saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni 
yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.     
 Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa 
apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.      Tapi mengapa 
anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang 
yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang 
telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, 
pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di 
tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi 
dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin 
menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?      Saya masih 
tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. 
Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih
 melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini 
yang tidak ada jawabannya.      Terlintas di pikiran saya untuk menelepon 
tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi 
anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum 
apa-apa ada yang memukul.      Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan 
masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang 
mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, 
tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, 
saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi 
anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah 
di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu 
karena kaki saya masih lemas.   * * *   Saya pernah melihat anak muda yang 
gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua
 minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas 
jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak 
yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah 
itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu 
sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan 
dengan bumbu kue, telah raib.      Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si 
penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas 
pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang 
selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada 
yang berkurang.        Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam 
dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan 
mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, 
mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti
 dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?      
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan 
surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak 
lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:   "Ibu yang baik, 
maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya    mau mengembalikan 
dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk    mengadu, maka saya tulis 
surat ini, semoga Ibu mau membacanya.    Sudah tiga bulan saya berhenti 
sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak  mampu membayar uang SPP yang 
berbulan-bulan sudah nunggak, membeli   alat-alat sekolah dan memberi ongkos. 
Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya 
sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak 
kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.      
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan   
 goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu 
mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.      
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras.    Saya 
mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja    jualan 
koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang    (sambil 
hiburan) saya ngamen.    Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal 
belajar menabung dan    saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang 
judi kupon gelap.    Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. 
Selama ini    belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat 
beribadah itu    tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.  
    Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil    
marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir    Bapak. 
Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak
 terjatuh-jatuh.    Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. 
Saya bingung.    Mesti bagaimana saya?      Saat Emak sakit dan Bapak semakin 
menjadi dengan judi buntutnya, sakit    hati saya semakin menggumpal, tapi saya 
tidak tahu sakit hati oleh    siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja 
saya tidak sanggup.    Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak 
perduli. Hampir saya    memukulnya lagi.      Di jalan, saat saya jualan koran, 
saya sering merasa punya dendam yang    besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa 
dan karena apa. Emak tidak bisa    ke dokter.    Tapi orang lain bisa dengan 
mobil mewah melenggang begitu saja di depan    saya, sesekali bertelepon dengan 
handphone. Dan di seberang stopan itu,    di warung jajan bertingkat, 
orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk    sekali makan.      Maka tekad 
saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak    cukup, saya 
merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti   
 bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang.    Keringat 
dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.      Dan begitu saya 
melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu    memasukkan dompet ke 
kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas    jembatan penyeberangan, saya 
pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil    dompet. Saya gembira ketika 
mendapatkan uang 300 ribu lebih.      Saya segera mendatangi Emak dan 
mengajaknya ke dokter.    Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia 
menanyakan, dari mana saya    dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan 
bahwa itu tabungan saya,   atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa 
berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu 
saya selesai bercerita.    
  Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis.    Ibu, tidak 
pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin    berteriak. 
Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih    sebenarnya saya 
bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi    pencuri. Tidak 
perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan.    Karena orang-orang 
pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa    melakukannya. Saya harus 
mengembalikan dompet Ibu. Maaf." 

   
  Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya 
mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat 
puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. 
Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, 
tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
       Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi 
surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada 
sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau 
dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa 
sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah 
mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.      Kang Yayan dan kedua anak saya 
mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya 
tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan 
di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk 
terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.      Saya menolaknya meski Kang Yayan 
bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan 
untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat 
makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia,
 lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, 
nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan 
pengamen yang banyak di setiap stopan.      Di stopan terakhir yang kami 
kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. 
Diam-diam air mata mengalir dimata saya.    
  Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan 
saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.  


sumber :dudung.net

Yathie 
(hidup ini hanya sekali, maka janganlah disia-siakan. Mari kita kembali kepada 
niat yang baik InsyaAlloh akan mendapatkan yang baik pula.....Amien)

                                
---------------------------------
Want to be your own boss? Learn how on  Yahoo! Small Business. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke