MENYOAL TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
DALAM MASALAH PERBURUHAN
Buletin al-Islam Edisi 301

Baru-baru ini berbagai media memberitakan masalah serius yang tengah dihadapi oleh para buruh (baca: pekerja) di negeri ini. Letupan masalah tersebut tergambar dari munculnya berbagai demonstrasi yang mengalir secara deras di kota-kota besar di Indonesia. Demonstrasi tersebut ditujukan untuk memprotes revisi UU No. 13/2003 yang dinilai sangat menguntungkan pengusaha dan merugikan para pekerja. Beberapa pasal draf revisi yang diduga sangat merugikan para pekerja di antaranya: adanya ancaman PHK jika pekerja mogok kerja, pekerja dapat dituntut di pengadilan jika perusahaan dirugikan akibat mogok kerja tersebut, dihapuskannya cuti besar dan jaminan hari tua atau dana pensiun.

Akar Masalah

Masalah ketenagakerjaan saat ini telah menjadi pemandangan keseharian di berbagai negara, baik di negara maju apalagi di negara berkembang, baik yang menerapkan ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme. Masalah tersebut antara lain berkaitan dengan makin sempitnya peluang kerja, angka pengangguran yang kian meroket, rendahnya kemampuan dan keahlian para pekerja, makin menganganya jurang antara pemilik modal (pengusaha) dan para pekerja, serta tingginya biaya hidup yang semakin tidak tertutupi oleh gaji yang diterima.

Dalam masalah pengangguran, misalnya, menurut data BPS, saat ini di Indonesia angka pengangguran naik menjadi 11.6 juta (per Oktober 2005) dari sebelumnya 10,9 juta orang. Adapun yang setengah menganggur, menurut Mentransker, adalah sekitar 40,3 juta orang. Jumlah tersebut dipastikan naik lagi setelah kebijakan Pemerintah menaikkan BBM beberapa bulan lalu.

Berbagai persoalan ketenagakerjaan itu berpangkal, paling tidak, pada dua hal:

Pertama, menyangkut kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi. Kebijakan itu terkait dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok serta upaya peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Masalah muncul manakala Pemerintah berlepas diri dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan pokok rakyat tersebut. Banyak kebijakan Pemerintah justru sering menambah beban hidup bagi rakyat seperti kenaikan BBM, kenaikan TDL, termasuk rencana kenaikan harga elpiji. Kebijakan tersebut secara telak akan menghantam pengusaha maupun para pekerja. Para pengusaha semakin dibebani oleh kenaikan biaya produksi, yang tidak jarang berakibat pada bangkrutnya perusahaan (terutama yang kecil dan menengah), yang segera diikuti dengan PHK besar-besaran. Adapun para pekerja semakin dibebani oleh pengeluaran biaya hidup yang meningkat, padahal gaji yang diterima tidak bertambah. Para pekerja akhirnya mengalami proses pemiskinan secara sistematis.

Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memandang bahwa Pemerintah tidak wajib memberikan pelayanan kepada rakyat agar semua rakyat tercukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan subsidi bagi pelayanan sosial dianggap tidak sehat bagi rakyat karena, katanya, rakyat akan menjadi manja dan kurang mandiri. Masalahnya, salahkah jika rakyat dibuat sejahtera melalui dengan pelayanan dan jaminan sosial oleh Pemerintah, yang memang sudah merupakan hak mereka, dan sebaliknya menjadi kewajiban Pemerintah?

Kedua, menyangkut hubungan pengusaha dengan pekerja. Hal ini terkait dengan kontrak (aqad) kerja antara pengusaha dan pekerja. Dalam suatu negara yang berbasis pada Kapitalisme sudah lazim bahwa setiap peraturan dan perundang-undangan selalu dipengaruhi oleh para pemilik modal. Mereka dapat bekerjasama dengan penguasa untuk mengeluarkan peraturan yang dapat menguntungkan mereka. Tentu, lobi mereka lebih ampuh, karena di tangan mereka ada \\\'fulus\\\' (uang) yang bisa menghipnotis para pengambil kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak kepada pengusaha ketimbang kepada rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh.

Sebagai contoh, draf revisi UU No.13/2003 yang diajukan Pemerintah telah dipersiapkan oleh Bappenas dengan \\\'bimbingan\\\' dari IMF dan Bank Dunia. Memang sangat terasa, pasal-pasal yang ada dalam draf tersebut lebih mengangkat posisi pemilik modal (pengusaha) dan makin memerosotkan posisi para pekerja. Ini menjadi tanda bahwa perundang-undangan di negeri ini banyak dikendalikan oleh para pemilik modal besar, khususnya pihak asing. Produk perundang-undangan yang demikian ini \\\'dijamin\\\' pasti menyengsarakan masyarakat.

Solusi Islam

1. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.

Islam telah menetapkan bahwa Pemerintah wajib menjalankan kebijakan makro yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai dengan adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Dalam pandangan Islam, kebutuhan pokok ada dua: (1) kebutuhan pokok individual berupa pangan, sandang, dan papan; (2) kebutuhan pokok kolektif berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Islam mewajibkan Pemerintah untuk menjamin tercapainya semua pemenuhan kebutuhan pokok tersebut bagi setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim) secara menyeluruh. Dalam hal kebutuhan pokok individual (pangan, sandang, papan), Islam memang telah mewajibkan setiap individu yang mampu bekerja untuk memenuhinya, untuk dirinya sendiri maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 33). Namun, ketika seseorang tidak mendapati pekerjaan yang memungkinkan dirinya memperoleh penghasilan, sementara ia punya kemampuan untuk bekerja, maka kewajiban Pemerintahlah untuk menciptakan lapangan kerja yang layak bagi setiap individu rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:

Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. (HR Muslim).

Adapun dalam hal kebutuhan pokok kolektif (pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan), semua itu menjadi tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab setiap individu rakyat. Karena itu, tidak selayaknya Pemerintah membebankan pemenuhan kebutuhan pokok terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepada rakyat; baik pengusaha maupun buruh. Pengusaha tidak selayaknya dibebani dengan kewajiban untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan-meskipun ia boleh melakukannya jika mau, apalagi jika itu telah menjadi bagian dari akadnya dengan buruh. Yang terjadi saat ini, pengusaha justru sering dibebani oleh beban-beban seperti di atas yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Demikian pula rakyat, termasuk buruh; mereka juga tidak seharusnya dibebani dengan kewajiban untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi diri mereka. Namun, yang terjadi saat ini, rakyat, termasuk buruh, dipaksa untuk menanggung sendiri biaya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bahkan keamanan. Akibatnya, gaji yang diterima buruh kadang-kadang lebih dari sepertiganya habis untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bahkan keamanan; yang notabene seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sebagai misal: Jika gaji terendah seorang buruh adalah Rp 1 juta perbulan, maka mungkin sepertiganya (Rp 300 ribu) harus ia alokasikan untuk kesehatan dirinya dan keluarganya serta pendidikan anak-anaknya. Belum lagi jika ia harus mengontrak rumah (misal: Rp 300 ribu perbulan), membayar listrik (misal: Rp 50 ribu perbulan), dan harus mengeluarkan setiap hari biaya transportasi yang mahal akibat kenaikan BBM (misal: Rp 100 ribu perbulan) bagi dirinya dan anak-anaknya yang masih sekolah. Otomatis, dari gaji Rp 1 juta, yang tersisa setiap bulannya tinggal Rp 250 ribu untuk kebutuhan makan dirinya dan keluarganya. Karena Rp 250 ribu saat ini tidak mungkin cukup untuk makan sekeluarga selama satu bulan, sementara kebutuhan makan tidak mungkin ditunda, maka ia terpaksa akan mengabaikan kesehatan keluarganya dan pendidikan anak-anaknya. Itulah yang terjadi di Indonesia. Wajar jika kemudian di negeri ini banyak keluarga yang tidak sehat, dengan anak-anak yang tidak dapat mengecap pendidikan meskipun hanya sampai tingkat pendidikan dasar. Ingat, itu banyak dialami oleh keluarga yang penghasilannya Rp 1 juta perbulan. Padahal, kita tahu, lebih banyak lagi keluarga yang penghasilannya jauh di bawah Rp 1 juta perbulan.

Walhasil, solusi dari persoalan di atas adalah Pemerintah harus mengambil dan menunaikan kembali tanggung jawabnya untuk memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat di atas. Bila ini dilakukan maka pekerja akan tentram. Hubungan pekerja dengan perusahaannya pun harmonis. Produktifitas kerja meningkat. Pekerja senang, pengusaha pun riang.

Mungkin kita bertanya: darimana Pemerintah mendapatkan pemasukan dana untuk memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat di atas? Dengan kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah, sangat mudah bagi Pemerintah untuk mendapatkan pemasukan dana. Sebagaimana telah kita pahami, kekayaan hutan, minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam pandangan syariat Islam sesungguhnya adalah milik umum (rakyat). Karenanya, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya demi kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Jika untuk eskplorasi dan eksploitasi diperlukan dana dan sarana, Pemerintah wajib menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat.

Syariat Islam telah mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing, dalam pengelolaan minyak dan barang tambang tersebut. Sayangnya, inilah yang justru terjadi. Banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dll)-yang sejatinya milik rakyat itu-diserahkan begitu saja kepada pihak swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Padahal sudah banyak bukti, swastanisasi dan privatisasi kekayaan alam milik rakyat tersebut hasilnya lebih banyak dinikmati oleh mereka ketimbang masuk ke kantong Pemerintah atau dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Banyak penelitian mengungkapkan, ratus triliun dana dari hasil kekayaan alam milik rakyat itu-dari jutaan hektar hutan di Kalimantan, Sumatera, dan Papua, dll; jutaan ton emas di Papua, Sulawesi, dll; miliaran barel minyak bumi di Blok Cepu, dll; serta hasil-hasil alam lainnya-berpindah begitu saja setiap tahunnya kepada pihak swasta dan asing.

2. Berkaitan dengan masalah kontak kerja antara pengusaha dan pekerja.

Islam telah mengatur agar kontrak kerja dan kerjasama antara pengusaha dan pekerja tersebut saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya. Islam mengatur secara jelas dan rinci hukum-hukum yang berhubungan dengan ijârah al-ajîr (kontrak kerja). Transaksi ijârah yang akan dilakukan wajib memenuhi prinsip-prinsip pokok transaksi ijârah. Di antaranya adalah: jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal, bukan jasa yang haram; memenuhi syarat sahnya transaksi ijârah, yakni orang-orang yang mengadakan transaksi haruslah yang sudah mampu membedakan baik dan buruk; harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan. Transaksi ijârah juga harus memuat aturan yang jelas menyangkut bentuk dan jenis pekerjaan, masa kerja, upah kerja, dan tenaga yang dicurahkan saat bekerja.

Negara wajib menjamin bahwa semua kontrak kerja berbasis pada prinsip ijârah seperti di atas. Jika terjadi perselisihan atau persengketaan antara pengusaha dan pekerja maka Pemerintah dapat turun tangan untuk menyelesaikan persengketaan tersebut dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindak kezaliman di antara kedua belah pihak. Dapat juga dibentuk badan khusus yang menangani akad kontrak kerja tersebut.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengaturan ketenagakerjaan dalam sistem Islam berpihak pada keduanya: pengusaha maupun pekerja.

Khatimah

Jelaslah akar persoalan perburuhan adalah cengkeraman sistem kapitalisme. Karena itu, kita harus segera meninggalkan sistem Kapitalisme. Sebab, telah terbukti sistem ini gagal memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Sudah saatnya negeri ini menerapkan sistem ekonomi yang adil, yakni sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada syariat Allah dengan pengelolaan yang amanah dan profesional. Bahkan tidak hanya di bidang ekonomi, bidang lainnya seperti politik, sosial budaya, hukum, pendidikan, dan sebagainya juga harus dibersihlkan dari virus Kapitalisme-sekular. Saatnya sekarang sistem yang benar dan tangguh, yakni sistem Islam, ditegakkan. Mahabenar Allah Yang telah berfirman:

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

KOMENTAR:
Presiden Nilai Sikap Australia Membingungkan (Republika, 18/04/2006)
Tak usah bingung, \\\"standar ganda\\\" adalah watak negara-negara kapitalis seperti Australia, AS, Inggris, dll terhadap Dunia Islam.






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke