MORALITAS PASAR & KESEJAHTERAAN
   
   
  Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat 
sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu 
Tuhan, saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya 
penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis 
moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama. 
Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa 
adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa 
agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya 
daripada menghancurkan. Sepanjang sejarah umat manusia tidak ditemukan contoh 
signifikan yang menunjukkan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara 
kehidupan moral tanpa bantuan agama.  
   
  Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan 
kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada 
Tuhannya. Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan 
hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap 
diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah 
dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga 
terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. 
Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan 
ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan 
manusia.
   
  Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar 
yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat 
membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan 
orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai 
utama yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah 
al-Anbiyaa ayat 107. Berbeda dengan pasar yang islami, menurut Qardhawi (1994), 
pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah 
miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang 
besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah 
orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. 
Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh 
dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
   
  Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu 
sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang 
canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap 
pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi 
kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan 
pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas 
pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
   
  Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga 
harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang 
yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara 
sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu 
budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali 
dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem 
dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat 
penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti 
dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah. 
   
  Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan 
hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan 
tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya 
mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan 
persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, 
kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta 
keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
   
  Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam 
kehidupan dunia. Materi penting bagi kemakmuran, kemajuan umat manusia, 
realisasi kehidupan yang baik bagi setiap manuisa, dan membantu manusia 
melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun demikian, walaupun kehidupan 
ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan 
tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada hakikatnya merupakan sarana 
untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini merupakan 
perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme 
yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik. 
   
  Menurut Qardhawi, ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan 
nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. 
Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. 
Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan 
menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. 
Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih 
baik dan lebih kekal. 
   
  Ajaran Islam mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan 
pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan 
oleh Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. 
Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan 
dan tidak dilarang oleh syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan 
kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang 
membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan 
dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak), misalnya dengan menjual-belikan 
benda-benda yang diharamkan dan segala yang merusak kesehatan manusia baik 
akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian, sebuah pasar yang sehat 
berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam sebuah 
sistem distribusi kepemilikan.
   
  Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke