Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ( Akidah, Ibadah, Ahlak & Dakwah )
   
  MAKNA MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH
   
  I. Makna Manhaj
   
  Secara bahasa kalimat “manhaj“ berasal dari kata –nahaja- yang berati jalan 
yang terang[1]. Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang, Allah  
berfirman: 
   
  “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang 
terang”. [2] 
   
  Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: 
   
  æóÇááåö ãóÇ ãóÇÊó ÑóÓõæúáõ Çááåö ÍóÊøóì ÊóÑóßó ÇáÓøóÈöíúáó äóåúÌðÇ æóÇÖöÍðÇ 
   
  “Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang 
jelas”[3] 
   
  Adapun manhaj yang dimaksud di sini adalah jalan hidup Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam  yang kemudian dilalui oleh para sahabat, Tabi’in dan 
pengikutnya dalam kebenaran hingga hari kiamat, sebagaimana firman Allah I :
   
  ” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku 
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku 
tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [4]  
   
  II. Makna Ahlussunnah wal jamaah.
   
  Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ahlu yang berarti 
keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan 
kata Sunnah yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, 
petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin 
dan pengikutnya sampai hari Kiyamat.[5] 
   
  Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering diartikan dengan 
Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak 
mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah" di sini adalah adalah,” 
Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  yang juga dilalui 
oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat". Fudhail bin 
Iyadh berkata,”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang masuk ke 
dalam perutnya dari (makanan) yang halal"[6]. 
   
  Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu sunnah yang dilakukan 
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  dan para shahabat. 
   
  Dengan demikian maka Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul 
Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam  dan atsar para shahabatnya adalah Ahlus 
Sunnah"[7]. 
   
  Adapun kata jamaah berarti bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena 
mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak 
mengambil teladan kecuali dari sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan 
sunnah sampai hari Kiyamat.
   
  Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih 
al-Utsaimin, ” Ahlussunnah wal jamaah adalah orang yang mengamalkan sunah 
Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah kepada Allah baik dalam 
masalah aqidah (keyakinan), perkataan, perbuatan, dan panutannya adalah 
Shalafusshalih dari sahabat, tabiin dan pengikut tabiin”. 
   
   
  III. Kreteria Ahlussunnah wal jamaah 
   
  DR. Nashr Al-Aql dalam kitabnya “Mafhum Alhlussunnah inda Ahllussunnah”, 
menyebutkan beberapa kreteria Ahlussunnah wal jamaah di antaranya; 
   
       1.    Mereka adalah sahabat Rasulullah yang mengerti, melihat dan 
mengamalkan sunnah Rasullullah pertama kalinya, oleh sebab itulah mereka berhak 
mendapat gelar demikian. Begitu juga para tabiin yang mengambil sunnah dari 
sahabat dan mengamalkannya tanpa menambah dan menguranginya. Dan juga para 
pengikut tabiin dan orang-orang setelahnya sampai hari kiyamat yang berusaha 
mencontohi dan mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah. 
   
       2.    Ahlussunah adalah para salafusshalih yang mengamalkan Kitab dan 
Sunah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam [8], Yang 
mengikuti teladan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang tidak pernah 
merubah dan membuat hal-hal yang baru dalam agama Allah. 
   
       3.   Ahlussunnah wal jamaah adalah firqatunnajiyah (golongan yang 
selamat) di antara golongan-golongan yang ada. Yang selalu mendapatkan 
pertolongan dari Allah sampai hari kiyamat. [9] 
   
       4.    Mereka adalah orang–orang yang ghuraba’ (asing) karena tetap 
berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam keadaan yang orang lain 
melupakan dan meninggalkannya. Mereka juga memperjuangkan tegaknya As-Sunnah di 
saat tersebarnya bid’ah dan kesesatan dan kerusakan, sebagaimana sabda Nabi 
shallallahu 'alaihi wa sallam ,”Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing, 
dan akan kembali menjadi asing sebagaimana semula. Maka beruntunglah 
orang–orang yang asing”[10]. Dalam riwayat lain disebutkan, “Beruntunglah 
al-Ghuraba’ yaitu orang yang shalih di tengah manusia yang jahat, orang yang 
mengingkarinya lebih banyak dari yang mengikutinya”[11].
   
       5.    Dinamakan Ahlussunnah karena mereka mengamalkan sunah sebagaimana 
mestinya. Berdasarkan sabda Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam  “Amalkanlah 
sunnahku”[12].
   
  Penamaan Ahlussunnah dilakukan setelah terjadinya fitnah pada awal munculnya 
firqah-firqah. Ibnu Sirin berkata,”Mereka (pada mulanya) tidak pernah 
menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: 
Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Mereka melihat bila ia termasuk 
Ahlus Sunnah hadits mereka diambil, dan bila termasuk ahlul bi'dah maka hadits 
mereka tidak di ambil".[13] 
   
  Al-Imam Malik pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu ?. Beliau 
menjawab,”Ahlussunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang 
sudah terkenal seperti Jahmi, Qadari, atau Rafidli".[14] 
   
  Istilah Ahlus Sunnah sudah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) 
sebagai kebalikan dari istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, 
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Ahlus Sunnah adalah orang yang 
tetap berpegang pada sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah e dan para 
shahabatnya. Jadi gelar Ahlussunnah bukanlah hal-hal yang muhdats (dibuat-buat 
baru), tetapi mempunyai sandaran syar’I yaitu: 
   
       1.    Sunnah Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau 
memerintahkan untuk mengamalkan sunnahnya. Dan memerintahkan untuk berjamaah 
dan melarang untuk berpecah belah dan keluar darinya. Jadi Ahlussunnah adalah 
gelar yang diberikan langsung oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam . 
   
       2.    Bersumber dari atsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini 
dari sifat mereka yang telah disepakati oleh para ulama umat yang mereka tulis 
dalam kitab-kitabnya. 
   
       3.    Sebuah nama yang dipakai untuk membedakan mereka dengan pelaku 
bid’ah, bukan seperti yang dituduhkan bahwa istilah ahlussunah tidak muncul 
kecuali setelah terjadi perpecahan di antara umat Islam. 
   
  IV. Apakah mereka terbatas hanya pada satu masa dan tempat?.
   
  Ahlussunnah tidak hanya terbatas pada satu priode dan tempat. Tetapi 
terkadang mereka lebih banyak di suatu tempat atau masa dan berkurang di masa 
atau tempat yang lain. [15]
   
  Beberapa karakteristik dari Ahlussunah yang disebutkan sendiri oleh para 
salafusshalih adalah ; 
   
  1. Mereka yang berpegang pada tali Allah yang kuat.
   
  Abu Bakar al-Shiddik radhiyallahu 'anhu  berkata, “ As-Sunnah adalah tali 
Allah yang kuat, barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah memutus 
talinya Allah”[16], Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu  
menambahkan,“Sesungguhnya Ashabussunan (pengamal sunnah) itu lebih mengetahui 
tentang Kitabullah”[17].  
   
  2. Mereka adalah teladan baik yang mengajak kepada jalan yang benar. 
   
  Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143 H) berkata, “Apabila anda melihat 
seorang pemuda yang tumbuh dewasa bersama Ahlussunnah maka peliharalah, dan 
kalau besar bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu darinya. Karena sifat 
seorang akan tumbuh dewasa sesuai dengan masa kanaknya”[18]. Dalam kitab kitab 
yang sama ditambahkan, “Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan orang alim 
maka akan selamat, tetapi apabila bergaul dengan yang lainnya maka akan 
terpengaruh[19] Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H) berkata, “Termasuk nikmat 
Allah kepada pemuda apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul dengan pelaku 
sunnah”[20]. 
   
  Demikian juga yang dikatakan oleh as-Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk 
kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan oleh Allah untuk bergaul dengan 
Ahlussunnah”[21]. Dan dari Ibnu Abbas diriwayatkan ketika menafsirkan firman 
Allah surat Ali Imran ayat 106 beliau mengatakan,” Adapun orang yang putih 
mukanya adalah Ahlussunnah wal Jamaah, dan orang yang hitam mukanya adalah ahli 
bid’ah dan kesesatan “[22].  
   
  3. Mereka tidak mau diberi gelar dan atribut kecuali dengan nama Ahlussunah. 
   
  Barang siapa yang bergabung pada kelompok yang bukan Ahlussunah maka akan 
mendapatkan kerugian dan kebinasaan karena Ahlussunah-lah golongan yang selamat 
karena mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang dikatakan oleh 
Rasulullah, dan itulah jalannya orang–orang yang mukmin. Ibnu Abbas 
berkata,”Barang siapa yang mengikuti kelompok-kelompok pelaku bid’ah ini maka 
dia telah melepaskan ikatan Islam dari dirinya.“ [23]. Ketika Imam Malik 
ditanya siapakah Ahlussunnah itu ?, beliau menjawab, “Mereka orang yang tidak 
mempunyai nama lain atau identitas yang dikenal dengannya seperti Jahamiy 
(pengikut kelompok Jahamiyah), Rafidhiy (pengukut Rafidhah) atau Qadhariy 
(pengikut Qadariyah)”[24]. 
   
  Begitu juga jawaban Ibnu Al-Qayyim ketika ditanya tentang Ahlussunnah beliau 
berkata, “Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlussunnah”[25]. Malik bin 
Maglul lebih tegas lagi mengatakan, “Apabila ada seorang menamakan dirinya 
dengan bukan Islam dan As-Sunnah maka masukkanlah dia pada agama apapun yang 
kamu kehendaki[26]. Maka Maimun bin Mahran menasihatkan untuk jangan 
sekali-kali menamakan dirinya dengan nama selain Islam “[27]. 
   
  Referensi: 
   
  Muzilul Ilbas fi al-Ihkam ‘ala an-Naas, editor Syaikh Sa’d bin Shabir Abduh. 
  Ta’rif al-Khalaf bi Manhaj al-Salaf, DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan 
  Al-Minhaj baina al-Ishalah wa al-Tagrib, DR. Muhammad bin Shalih Ali Jan 
   Bagian II
   
  Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah 
   
  Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi 
wa sallam dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap 
membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka 
tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa 
Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian".[28] 
   
  Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah I 
,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, 
maka beribadahlah kepada-Ku".[29] 
   
  Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman 
Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,
   
  ” Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : 
(pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang 
beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, 
mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada 
kekafiran".[30]  
   
  Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan akan terjadi 
perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya 
barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang 
banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah 
Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". [31] 
   
  Dan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,”Telah berpecah kaum Yahudi 
menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi 
tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga 
golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, 
siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa 
yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini".[32] 
   
  Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari 
kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita 
dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah 
(golongan yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan 
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut: 
   
  Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi 
shallallahu 'alaihi wa sallam,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu 
(Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu). 
   
  Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa 
yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari kalangan 
Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa 
yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini". 
   
  Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting; 
   
  pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di 
sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok 
lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya 
seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya 
seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor 
seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. 
   
  Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang 
teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. 
   
  Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena 
gigihnya dalam menolong agama Allah , sebagaimana firman-Nya,
   
  ”Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka".[33] 
   
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada yang menghina 
dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan 
Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian". 
   
  Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:  
   
  Prinsip Pertama: Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, 
Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya. 
   
  Beriman kepada Allah I artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan 
Asma wa –Sifat-Nya. Allah I berfirman,
   
  ” Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha 
Penyayang. [34] 
   
  Juga firman Allah I,
   
  ”Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya".[35]
   
  Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan 
mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka 
diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di 
dunia. Allah  berfirman,”Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang 
dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan 
perintah-perintah-Nya".[36] 
   
  Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala 
kandungannya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi 
manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, 
karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,
   
  ”Katakanlah (Hai Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul 
untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu 
melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu".[37] 
   
  Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan 
makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan 
Mu'tazilah yang mengatakan Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga 
berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah 
artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut 
bathil berdasarkan firman Allah ,
   
  ” Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, 
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)". [38] 
   
  Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang 
disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah 
nabi Muhammad , tidak ada nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul 
adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka 
seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,
   
  ” Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang 
Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...".[39] 
   
  Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan 
lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan 
atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak 
membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah ,
   
  ” Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".[40] 
   
  Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah 
dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan ni'mat kubur, 
hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab 
(perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan 
amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka. 
Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan 
meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari dosa. Berbeda dengan 
orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau 
orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,
   
  ” Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga 
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan 
mereka ......".[41]
   
  Juga firman Allah Ta'ala,
   
  “Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali 
hanya dalam beberapa hari saja".[42].
   
  Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang 
telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala 
sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . 
Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai 
kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada 
keta'atan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak 
Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan 
pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya 
Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah 
yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan 
kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,
   
  ” Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah 
menghendakinya".[43] 
   
  Prinsip Kedua, iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa 
bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'siatan. 
   
  Iman bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan 
keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini 
tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang 
menolak kebenaran. Allah berfirman,
   
  Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal 
hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang 
yang berbuat kerusakan itu"[44]. 
   
  Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan 
karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal 
perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya,
   
  Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut 
nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah 
imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang 
mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada 
mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..."[45] 
   
  Juga firman Allah ,
   
  ” Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian"[46]  
   
  Prinsip Ketiga: Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali 
apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. 
   
  Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi 
pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya 
tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. 
Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak 
Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun 
tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah ,
   
  ” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni 
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. 
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang 
besar”.[47] 
   
  Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara 
Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan 
Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. 
Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.  
   
  Prinsip Keempat: Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak 
memerintahkan untuk kema'shiyatan. 
   
  Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya 
namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,
   
  ” Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah 
kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." [48]
   
  Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam bersabda,”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada 
Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba". 
   
  Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu 
merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 
sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia 
ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat 
kepadaku".[49] 
   
  Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di 
belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk 
kebaikan dan keistiqomahan. 
   
  Prinsip Kelima: Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila 
mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk 
amalan kufur. 
   
  Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 
tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan 
selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berbeda dengan Mu'tazilah 
yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum 
termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf 
nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang 
besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat. 
   
   
  Prinsip Keenam: Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah. 
   
  Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana 
firman Allah I, ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya 
Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam 
iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang 
yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha 
Penyayang".[50] 
   
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kamu sekali-kali 
mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau 
seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, 
niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka 
tidak juga setengahnya". [51] 
   
  Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan 
adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib 
Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara 
mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash 
dan ijma atas kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari 
kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para 
sahabat. 
   
  Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul bait (Keluarga) Rasulullah .shallallahu 
'alaihi wa sallam 
   
  Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku 
mengingatkan kalian dengan ahli baitku".[52] 
   
  Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 
yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin 
Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah , 
sebagaimana firman-Nya,
   
  ” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul 
bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya".[53]  
   
  Prinsip Kedelapan: Membenarkan adanya karomah para wali Allah. 
   
  Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa 
sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal 
tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan 
Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya 
mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. 
   
  Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, 
mereka berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan 
termasuk karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan 
dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah 
karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para 
hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah 
kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang 
kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka 
dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan. 
   
  Prinsip Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin sesuai 
dengan pemahaman Salafussalih. 
   
  Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam,”Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah 
khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk". 
   
  Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap 
firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab 
Was Sunnah. Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama 
umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab 
dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah ,
   
  Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah 
dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang 
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". [54] 
   
  Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat 
sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka 
meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak 
boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan 
tertentu menurut ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah 
ijtihad tidak boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan 
diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul 
bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling 
mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain 
betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah 
saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang 
menyimpang dari golongan mereka.  
   
  Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip di atas menjadikan mereka senantiasa 
berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
   
  Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi 
mungkar sebagaimana firman Allah Ta'ala,” Jadilah kalian umat yang terbaik yang 
dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman 
kepada Allah".[55]
   
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa diantara kamu 
menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, 
apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka 
dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman".[56] 
   
  Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan 
menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul 
bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun 
shalat Jama'ah.
   
  Mereka juga menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta 
tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabishallallahu 
'alaihi wa sallam ,” Agama itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau 
menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum 
muslimin pada umumnya". [57] 
   
  Mereka juga tegar dalam menghadapi ujian-ujian dan sabar ketika mendapat 
cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya 
dengan ketentuan Allah. 
   
  Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang 
tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka 
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana 
firman Allah ,
   
  ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. 
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, 
orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak 
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".[58]
   
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Sesempurna-sempurna iman 
seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". [59] 
   
  Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. 
shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa 
sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.  
   
  Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah” Syaikh 
Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia, terbitan Dar 
Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh. 
   
   
   
   
   
  Bagian III
  Manhaj Ibadah Ahlussunnah wal Jamaah
   
   
   
  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: 
   
  Ãåá ÇáÓäÉ íÚÈÏ Çááå¡ ááå¡ ÈÇááå, æÝí Çááå
   
  “Ahlussunnah beribadah kepada Allah, karena Allah, dengan pertolongan Allah 
dan dalam agama Allah ”. 
   
  Ahlussunnah ya’budullah (beribadah kepada Allah) lillah maksudnya adalah 
ikhlas kepada Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Mereka tidak beribadah 
kepada Allah supaya dilihat, dipuji orang dan agar digelari seorang ahli 
ibadah. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh ‘Umar bin Khothob berkata,” Saya 
mendengar Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Sesungguhnya amal 
itu tergantung pada niatnya dan Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari 
apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, 
maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia 
yang dia cari atau wanita yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang 
dia hijrah kepadanya.” [60] 
   
  Adapun billah maksudnya meminta tolong kepada Allah . Seorang tidak akan 
mungkin bisa beribadah kepada Allah dengan sendirinya, tetapi ia meminta 
pertolongan kepada Allah sebagaimana firman Allah : 
   
  “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” 
[61] 
   
  Adapun fillah yaitu pada agama Allah yang disyariatkan melalui Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka tidak keluar 
dari agama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka bersihkan ibadah 
mereka dari kesyirikan dan bid’ah sebagaimana firman Allah : 
   
  “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan 
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya 
mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama 
yang lurus. [62] 
   
  Ibadah mereka bukan didorong oleh nafsu dan akalnya, akal yang sehat tidak 
akan membolehkan seorang mukmin untuk keluar dari syariat Allah. Karena 
berpegang pada syariat Allah termasuk bagian dari akal yang sehat. Itulah 
sebabnya Allah menyebut orang–orang yang mendustakan Rasulullah sebagai orang 
yang tidak berakal, sebagaimana firman-Nya: 
   
  “Tetapi kebanyakan mereka tidak berakal” [63] 
   
  Seandainya kita beribadah kepada Allah menurut nafsu kita, niscaya akan 
terjadi perpecahan dan pengelompokan yang setiap orang menganggap baik 
pendapatnya untuk beribadah kepada Allah. lihatlah mereka yang beribadah kepada 
Allah dengan melakukan hal-hal yang bid’ah yang tidak disyariatkan oleh Allah, 
bagaimana antar mereka saling membenci dan saling menyalahkan. Mereka 
mengkafirkan orang lain dengan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak kafir 
tetapi hawa nafsunya yang membutakan mereka. 
   
  Seandainya kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat Allah , 
bukan dengan hawa nafsu niscaya kita akan menjadi satu umat. Karena syariat 
Allah adalah petunjuk bukan hawa kita. sebagian ahli bid’ah yang melakukan 
bid’ah dalam masalah aqidah atau amal, berdalil dengan sabda Nabi: 
   
  ãóäú Óóäøó Ýöí ÇáÅöÓúáÇóãö ÓõäøóÉð ÍóÓóäóÉð Ýóáóåõ ÃóÌúÑõåóÇ æóÃóÌúÑõ ãóäú 
Úóãöáó ÈöåóÇ Åöáóí íóæúãö ÇáÞöíóÇãóÉö
   
  “Barangsiapa yang membuat teladan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala 
dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat” [64] 
   
  Kita mengatakan kepadanya,” Apakah yang anda anggap baik dalam bid’ah ini 
tidak diketahui oleh Rasulullah?. Atau beliau mengetahuinya tetapi 
menyembunyikannya sehingga tidak ada kalangan salaf yang mengetahuinya, 
kemudian beliau simpan untuk anda?. 
   
  Apabila mereka mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui kebaikan 
bid’ah ini sehingga beliau tidak ajarkan”. Kita menjawab,”Anda telah menuduh 
Rasulullah dengan sangat keji yaitu bodoh terhadap agama Allah dan 
syariat-Nya”. Bila mereka mengatakan,” Rasulullah mengetahuinya, tapi tidak 
menyampaikannya kepada orang lain”. Ini tuduhan yang lebih keji, anda 
menganggap Rasulullah seorang yang bergelar “al-Amin” (amanah), seorang 
pengkhianat dan tidak mengajarkan pengetahuannya. 
   
  Bisa juga mereka berkata,” Rasulullah mengetahuinya, mengajarkannya tapi 
belum sampai kepada kita”. Kita mengatakan kepada mereka bahwa anda telah 
menentang firman Allah yang menyebutkan: 
   
  ÅöäøóÇ äóÍúäõ äóÒøóáúäóÇ ÇáÐøößúÑó æóÅöäøóÇ áóåõ áóÍóÇÝöÙõæäó
   
  “Sesungguhnya kami menurunkan Al-Dzikr dan Kami yang akan menjaganya” .[65] 
   
  Apabila syariat Allah hilang sehingga tidak sampai kepada kita, artinya Allah 
tidak menjaga syariat-Nya, bahkan kurang dalam menjaganya sehingga hilang 
sebagian dari yang ada dalam Al-Qur’an. 
   
  Kesimpulannya, setiap orang yang melakukan bid’ah dalam masalah agamanya baik 
dalam aqidah atau ibadah berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia adalah orang 
yang sesat, sebagaimana sabda Nabi: 
   
  ßõáøõ ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ
   
  “Setiap bid’ah adalah sesat”
   
  Hadits ini umum mencakup setiap bidah dalam masalah agama, ia sesat dan tidak 
ada kebaikan di dalamnya, Allah berfirman: 
   
  “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah 
kamu dipalingkan (dari kebenaran)”.[66] 
   
  Adapun hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam “Barangsiapa yang 
membuat teladan dalam Islam” tidak menjelaskan tentang bid’ah, karena semua 
yang bukan ajaran Rasulullah tidak termasuk dari Islam. Itulah sebabnya 
ditambahkan dengan “sunnah yang baik” karena ia termasuk yang diakui oleh 
Islam. 
   
  Sababul Wurud (Sebab munculnya) hadits tersebut menunjukkan bahwa maksudnya 
adalah segera untuk mengamalkan sunnah. Sekelompok orang faqir datang kepada 
Rasulullah, kemudian beliau menganjurkan orang untuk bersedekah kepada mereka. 
seorang dari Anshar datang dengan membawa sekeranjang korma kemudian memberikan 
kepada orang-orang tersebut. Dan orang-orang mengikutinya. Maka Rasulullah 
bersabda dengan hadits di atas. 
   
  Dengan demikian maksudnya bukan membuat syariat baru, tetapi mengamalkannya, 
menjadi teladan dalam mengamalkannya di hadapa orang sehingga ia menjadi 
teladan yang baik dan mendapatkan pahalanya sebagaimana pahala orang yang 
mengikutinya hingga hari kiamat. 
   
  Sebagian ahli bidah berhujjah dengan kaidah itu sebuah sarana untuk kebaikan 
seperti mengumpulkan al-Qur’an, mendirikan sekolah dll, yang hanya sebagai 
sarana bukan tujuan. 
   
  Ada perbedaan antara sesuatu yang menjadi sarana untuk tujuan baik yang 
ditetapkan oleh syariat, tetapi tidak bisa terwujud kecuali dengan melakukan 
sarana tersebut, dan sarana ini berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya 
firman Allah : 
   
  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu 
sanggupi”.[67] 
   
  Persiapan kekuatan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berbeda 
dengan persiapan kekuatan di zaman kita. Maka bila kita melakukan suatu 
perbuatan yang merupakan persiapan kekuatan, maka ia bid’ah sarana bukan gayah 
(tujuan) yang seseorang beribadah kepada Allah dengannya. Kaidah yang sudah 
disepakati menyebutkan,” Anna Lil Wasaa’il Ahkaam al-Maqashid”, (Sarana 
memiliki hukum yang sama dengan tujuannya). Semua yang dilakukan adalah saran 
untuk tujuan yang terpuji. 
   
  Mengumpulkan Al-Qur’an dan mencetaknya merupakan sarana untuk tujuan yang 
disyariatkan. Hendaknya dibedakan antara sarana dan tujuan. Sesuatu yang 
sendirinya merupakan sebuah tujuan, maka ia telah disyariatkan oleh Allah dan 
diwahyukan kepada Rasulullah sebagaimana firman Allah : 
   
  “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan 
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”, [68] 
   
  Seandainya amalan bid’ah merupakan penyempurna syariat, niscaya sudah 
disyariatkan, dijelaskan dan disampaikan dan dijaga. Ia bukan menyempurnakan 
syariat bahkan ia menguranginya. 
   
  Sebagian orang mengatakan bahwa dalam perbuatan bidah tersebut bisa 
membersihkan hati, semangat beragama dan lainnya. kita katakan bahwa Allah 
telah memberitahu kita bahwa syaitan bersumpah: 
   
  “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, 
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan 
mereka bersyukur (taat)”.[69] 
   
  Syaitan memperindah di hati manusia untuk memalingkan mereka dari ibadah 
kepada Allah . Rasulullah telah mengingatkan bahwa syaitan masuk ke dalam diri 
manusia seperti darah yang mengalir. Dan ini selaras dengan firman Allah I :
   
  “Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman 
dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah 
atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang 
mempersekutukannya dengan Allah ”[70] 
   
  Allah menjadikan syaitan berkuasa pada orang-orang yang berpaling dari Allah 
dan menyekutukan-Nya. Dan setiap orang yang menjadi pengikut bidah di dalam 
agama Allah , maka ia telah menyekutukan Allah dan menjadikan orang yang 
diikuti ini sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Padahal hukum syar’i itu 
hanya milik Allah sebagaimana firman-Nya: 
   
  “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu 
tidak menyembah selain Dia”,[71] .
   
  Ketahuilah!, semoga Allah merahmatimu, bahwa tidak ada jalan yang bisa 
mengantarkan kita kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah ditentukan oleh 
Allah lewat Rasul-Nya. “Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi”[72], seandainya 
seorang raja menentukan sebuah pintu untuk masuk menemuinya dan 
berkata,”Barangsiapa yang ingin menemui saya, maka hendaknya masuk lewat pintu 
ini”. Bagaimana pendapat anda bila ada orang yang ingin menemui raja lewat 
pintu lain, apakah ia bisa bertemu dengannya?. 
   
  Allah telah menentukan jalan khusus untuk menemui-Nya yaitu jalannya 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam , yang tidak mungkin seorang hamba 
akan mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan Rasulullah. 
   
          Penghormatan kepada Rasulullah dan termasuk adab kepada beliau adalah 
mengerjakan apa yang beliau kerjakan dan meninggalkan apa yang beliau 
tinggalkan. Kita tidak mendahului beliau dalam agamanya, berkata dalam agamanya 
yang beliau tidak pernah katakan da mengadakan suatu ibadah yang tidak pernah 
beliau syariatkan. 
   
  Apakah termasuk mencintai Rasulullah seorang yang mengada-ada dalam masalah 
agama, padahal beliau bersabda,”Setiap bid’ah itu sesat”. Juga beliau 
bersabda,” Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama maka ia tertolak”. 
Apakah ini merupakan kecintaan kepada Rasulullah? Dengan membuat syariat dalam 
agama Allah sesutu yang tidak pernah disyariatkan?. Allah I berfirman: 
   
  “Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya 
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".[73]  
   
  Diterjemahkan dari “Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah-Thariqatu Ahlussunah fi 
Ibadatillah” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. 
   
  Bersambung....

                
---------------------------------
 All-new Yahoo! Mail - Fire up a more powerful email and get things done faster.

[Non-text portions of this message have been removed]






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke