Menikah   adalah Keajaiban
  diambil dari   http://pernikahan.dudung.net/artikel_detail.php?id=6   
   
  Saya selalu mengatakan bahwa menikah adalah hal yang   sangat kodrati. Dalam 
bahasa saya, menikah tidak dapat dimatematiskan. Jika   suatu saat ada orang 
yang mengatakan, "secara materi saya belum siap," saya akan   selalu mengejar 
dengan pertanyaan yang lain, "berapa standar kelayakan materi   seseorang untuk 
menikah?" 
  Tak ada.   Sebenarnya tak ada. Jika kesiapan menikah diukur dengan materi, 
maka betapa   ruginya orang-orang yang papa. Begitu juga dengan 
kesiapan-kesiapan lain yang   bisa diteorikan seperti kesiapan emosi, 
intelektual, wawasan dan sebagainya.   Selalu tak bisa dimatematiskan. Itulah 
sebabnya saya mengatakan bahwa menikah   adalah sesuatu yang sangat kodrati. 
  Bukan dalam   arti saya menyalahkan teori-teori kesiapan menikah yang telah 
dibahas dan   dirumuskan oleh para ustadz. Tentu saja semua itu perlu sebagai 
wacana memasuki   sebuah dunia ajaib bernama keluarga itu. 
  Sebagai   contoh saja, banyak pemuda berpenghasilan tinggi, namun belum juga 
merasa siap   untuk menikah. Belum cukup, lah... itu alasan yang paling mudah 
dijumpai. Dengan   gaji sekarang saja saya hanya bisa hidup pas-pasan. 
Bagaimana kalau ada anak dan   istri? Oya, saya juga belum punya rumah.... 
  O-o...   Saudaraku, kalau kau menunggu gajimu cukup, maka kau tak akan pernah 
menikah.   Bisa jadi besok Allah menghendaki gajimu naik tiga kali lipat. Tapi 
percayalah,   pada saat yang bersamaan, tingkat kebutuhanmu juga akan naik... 
bahkan lebih   tiga kali lipat. Saat seseorang tak memiliki banyak uang, ia tak 
berpikir   pakaian berharga tertentu, televisi, laptop... atau mungkin hp merk 
mutakhir.   Saat tak memiliki banyak uang, makan mungkin cukup dengan menu 
sederhana yang   mudah ditemui di warung-warung pinggir jalan. Tapi bisakah 
demikian saat Anda   memiliki uang? Tidak akan. Selalu saja ada keinginan yang 
bertambah, lajunya   lebih kencang dari pertambahan kemampuan materi. Artinya, 
manusia tidak akan ada   yang tercukupi materinya. 
  Menikah   adalah sebuah elemen kodrati sebagaimana rezeki dan juga ajal. Tak 
akan salah   dan terlambat sampai kepada setiap orang. Tak akan bisa dimajukan 
ataupun   ditahan. Selalu tepat sesuai dengan apa yang telah tersurat pada awal 
penciptaan   anak Adam. 
  Menikah   adalah salah satu cara membuka pintu rezeki, itu yang pernah saya 
baca di sebuah   buku. Ada pula sabda Rasulullah, "Menikahlah maka kau akan 
menjadi kaya."   Mungkin secara logika akan sangat sulit dibuktikan 
statemen-statemen tersebut.   Taruhlah, pertanyaan paling rewel dari makhluk 
bernama manusia, "Bagaimana   mungkin saya akan menjadi kaya sedangkan saya 
harus menanggung biaya hidup istri   dan anak? Dalam beberapa hal yang 
berkaitan dengan interaksi sosial juga tidak   bisa lagi saya sikapi dengan 
simpel. Contoh saja, kalau ada tetangga atau teman   yang hajatan, menikah dan 
sebagainya, saya tentu saja tidak bisa lagi menutup   mata dan menyikapinya 
dengan konsep-konsep idealis. Saya harus kompromi dengan   tradisi; hadir, 
nyumbang... yang ini berarti menambah besar pos pengeluaran.   Semua itu tak 
perlu menjadi beban saya pada saat saya belum berkeluarga."   
  Saat saya   dihadapkan pertanyaan 'menikah' pertama kali dalam hidup saya, 
saya sempat maju   mundur dan gamang dengan wacana-wacana semacam ini. Lama 
sekali saya menemukan   keyakinan -–belum jawaban, apalagi bukti–- bahwa 
seorang saya hanyalah menjadi   perantara Allah memberi rezeki kepada 
makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri   atau anak-anak saya. 
  Harusnya   memang demikian. Itulah keajaiban yang kesekian dari sebuah 
pernikahan. Saya   sendiri menikah pada tahun 1999, saat umur saya dua puluh 
tahun. Saat itu saya   bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan bakery 
tradisional. Tentu saja, saya   sudah menulis saat itu kendati interval 
pemuatan di majalah sangat longgar.   Kadang-kadang sebulan muncul satu 
tulisan, itu pun kadang dua bulan baru   honornya dikirim. 
  Dengarkan...! Dengarkan baik-baik bagian cerita saya   ini. 
  Sebulan   setelah saya menikah, tiga cerpen saya sekaligus dimuat di tiga 
media yang   berbeda. Beberapa bulan berikutnya hampir selalu demikian, 
cerpen-cerpen saya   semakin sering menghiasi media massa. Interval pemuatan 
cerpen tersebut semakin   merapat. Saat anak saya lahir, pada pekan yang sama, 
ada pemberitahuan dari   sebuah majalah remaja bahwa mulai bulan tersebut, 
naskah fiksi saya dimuat   secara berseri. Padahal, media tersebut terbit dua 
kali dalam sebulan. Ini   berarti, dalam sebulan sudah jelas ada dua cerpen 
yang terbit dan itu berarti   dua kali saya menerima honor. Ini baru serialnya. 
Belum dengan cerpen-cerpen   yang juga secara rutin saya kirim di luar serial. 
  Tunggu...   semua itu belum berhenti. Saat anak saya semakin besar dan 
semakin banyak   pernak-pernik yang harus saya penuhi untuknya, lagi-lagi ada 
keajaiban itu. Satu   per satu buku saya diterbitkan. Royalti pun mulai saya 
terima dalam jumlah   yang... hoh-hah...! Subhanallah...! 
  Entah,   keajaiban apa lagi yang akan saya temui kemudian. Yang jelas, saat 
ini saya   harus tetap berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya 
hanyalah perantara   rezeki bagi anak dan istri saya... juga –mungkin –orang 
lain. Dengan begitu,   mudah-mudahan saya bisa melepaskan hak-hak tersebut yang 
melekat pada uang gaji   ataupun royalti yang saya terima. 
  Ya Allah... mampukan saya.   
  Sakti   Wibowo
  Cikutra,   Bandung.
Selasa, 28 Januari 2003, 8:48:44 
[EMAIL PROTECTED]
   

  
 
---------------------------------
8:00? 8:25? 8:40?  Find a flick in no time
 with theYahoo! Search movie showtime shortcut.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke