PARADOKS DEMOKRASI KELOMPOK LIBERAL 
(Tanggapan untuk Saiful Mujani) 
(Dimuat di Media Indonesia 14 Juni 2006)

Muhammad Ismail Yusanto 
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Tulisan Saiful Mujani peneliti Freedom Institute dalam opini Media Indonesia 
(Senin,12 Juni 2006) perlu untuk ditanggapi. Ada kesan sangat kuat bahwa 
tulisan itu bertujuan untuk mendorong negara melarang organisasi-organisasi 
yang oleh Mujani disebut kelompok anarkis Islam. Mujani pun secara sepihak 
membuat pengertian kelompok anarkis Islam sebagai sekumpulan orang yang 
bersikap dan bertindak atas nama Islam dengan melawan hukum dan konstitusi yang 
berlaku. Tanpa sungkan ia menunjuk hidung dan menyebut nama kelompok tersebut 
adalah FPI, MMI, HTI dan PKS. Justru disinilah letak paradoks pertama dari 
Mujani yang mengklaim sebagai demokrat dan pendukung liberalisme.


Seperti diketahui pilar penting demokrasi adalah penegakan hukum. Dimana setiap 
keputusan hukum haruslah lewat proses pengadilan untuk menunjukkan apakah 
terdakwa melawan hukum atau tidak. Sementara Mujani melalui tulisan itu telah 
menjadi hakim dengan memutuskan kelompok-kelompok di atas sebagai melawan hukum 
dan bertentangan dengan konstitusi, tanpa proses pengadilan.


Paradoks kedua, dalam sistem demokrasi yang sekuler, peran negara sangat 
minimal dalam mencampuri urusan agama. Dan tentu saja negara tidak bisa 
memonopoli penafsiran terhadap agama. Namun, Mujani malah mendorong negara 
untuk memiliki pandangan sendiri terhadap pemahaman Islam berdasarkan 
konstitusi. Hal ini justru akan memunculkan monopoli tafsir oleh negara 
terhadap atau tentang agama. Monopoli tafsir negara terhadap agama ini justru 
akan mematikan dinamika perkembangan pemikiran agama yang berdasarkan demokrasi 
merupakan bentuk kebebasan berpikir dan berpendapat. Dengan kata lain, Mujani 
dengan usulan itu secara sadar atau tidak telah membelenggu kebebasan 
berpikiran dan berpendapat dari dalam masyarakat. Secara demikian, Mujani telah 
sedang mengingkari prinsipnya sendiri. Sebuah paradoks, bahkan hipokrisi 
(munafik) yang amat memalukan.


Monopoli tafsir agama sama bahayanya dengan monopoli tafsir negara terhadap 
Pancasila yang dalam perjalanan sejarah Indonesia telah menimbulkan sikap 
otoritarian negara yang jelas bertentangan dengan demokrasi. Pasalnya, 
Pancasila merupakan nilai-nilai terbuka yang memungkinkan ditafsirkan oleh 
banyak pihak. Monopoli tafsir terhadap Pancasila kemudian menjadi tragedi 
kemanusiaan meluas ketika menopoli tafsir ini digunakan untuk memberangus 
pemikiran yang berbeda dengan sang penafsir.


Hal inilah yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Soekarno menafsirkan 
Pancasila berdasarkan pemikirannya sendiri yang cenderung sosialistik. Atas 
nama Pancasila, Soekarno melegalisasi kebijakan demokrasi terpimpinnya. Padahal 
yang ada sebenarnya adalah tafsir Soekarno terhadap Pancasila. Tidak jauh beda 
dengan Soeharto yang membuat tafsir tunggal atas Pancasila berdasarkan 
pemahaman ideologinya yang cenderung kapitalistik. Penafsiran tunggal Soeharto 
ini kemudian diklaim menjadi tafsir negara. Yang terjadi kemudian pemberangusan 
kelompok oposisi yang berseberangan dengan Soeharto dan kepentingannya atas 
nama bertentangan dengan Pancasila.


Upaya inipulalah yang sekarang kembali menggejala. Dan sungguh aneh ini justru 
dilakukan oleh kelompok dan orang seperti Mujani yang mengklaim dirinya sebagai 
pejuang demokrasi dan kebebasan (seperti nama lembaga dimana dia ada: Freedom 
Institute). Beberapa kelompok yang dikenal sebagai kelompok liberalis berupaya 
menafsirkan Pancasila dan agama (Islam) dan memprovokasi negara untuk 
mengadopsi tafsir mereka terhadap Pancasila dan Islam. Kemudian berharap negara 
memberangus kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran dan kepentingan mereka 
berdasarkan tafsir tunggal kelompok ini terhadap Pancasila dan Islam.


Lagi-lagi tampak paradoks dari pemikiran Mujani. Satu sisi mengecam pemerintah 
karena gagal melepaskan diri dari monopoli penafsiran sekelompok orang atas 
pemahaman Islam, tapi di sisi lain Mujani merekomendasikan tafsiran kelompok 
tertentu atas Pancasila untuk menjadi tafsir negara.


Kalau memang konsisten dengan prinsip demokrasi, semua pihak seharusnya 
diberikan hak untuk menafsirkan Pancasila yang memang merupakan pemikiran 
terbuka. Termasuk seharusnya diberikan kesempatan terbuka bagi kelompok Islam 
yang menyakini nilai-nilai utama Pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusian, 
Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan bisa dicapai dengan penerapan syariat Islam. 
Sungguh sangat tidak demokratis, melarang kelompok masyarakat untuk beraspirasi 
berdasarkan keyakinannya.


Paradoks lain yang menonjol adalah usulan pelarangan aspirasi yang oleh Mujani 
dianggap mengancam demokrasi. Mujani mengatakan tindakan kolektif HTI dan PKS 
yang secara damai menyuarakan aspirasi syariat Islam tidak bisa dibenarkan. 
Bukankah prinsip penting demokrasi adalah kebebasan berpendapat? Bagaimana 
mungkin rakyat yang berdemonstrasi secara damai, datang ke DPR, melakukan 
dengar pendapat dengan wakil rakyat dikatakan bertentangan dengan konstitusi? 
Lagi pula, pasal dan ayat mana dari konstitusi dan perundangan yang ada yang 
melarang rakyat untuk menuntut penerapan syariah? Bukankah berdasarkan 
demokrasi, wakil rakyat harus mendengar suara dan aspirasi rakyat, apapun 
bentuknya. Lepas dari aspirasi itu diterima atau tidak?


Sama ironisnya, menyumbat aspirasi rakyat karena ditafsirkan bertentangan 
dengan kesepakatan nasional yang sudah ada. Padahal konsitusi sendiri 
memberikan peluang tentang adanya perubahan kesepakatan itu. Artinya, 
kesepakatan nasional seharusnya diserahkan kepada aspirasi rakyat apakah mau 
dipertahankan atau mau diubah di masa mendatang sebagaimana yang terjadi pada 
UUD 45 yang telah berulang-ulang mengalami amandemen meski di masa Orde Baru 
hal itu diharamkan.


Tapi gejala paradoks ini bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan hanya 
dilakukan oleh Mujani dan kawan-kawannya. FIS, partai Islam di Aljazair, yang 
berhasil menang pemilu secara demokratis di sana dibungkam hanya karena FIS 
ingin menerapkan syariah dan tujuan ini dikatakan bertentangan dengan 
demokrasi. Apa yang menimpa HAMAS di Palestina sekarang ini juga hampir sama. 
Meskipun menang secara demokratis, pemerintah HAMAS dilemahkan karena tidak 
sejalan dengan kepentingan Barat. Di Perancis, jilbab dilarang karena dianggap 
mengancam sekulerisme. Melihat paradoks ini akhirnya wajar saja kalau banyak 
pihak beranggapan demokrasi hanyalah kebebasan semu yang digunakan oleh negara 
Barat dan kelompok sekuler untuk kepentingannya sendiri. Mujani dan kelompok 
liberal juga tampaknya mengidap 'penyakit' yang sama.


Oleh karena itu, sungguh aneh bila pemahaman dan ekspresi termasuk aspirasi 
untuk penerapan syariah, khususnya dari kelompok yang dianggap radikal, dinilai 
"berbahaya", dan karenanya "perlu dicemaskan dan dihadapi dengan pembubaran" 
oleh Mujani yang telah dengan vulgar mengusung idiom liberal. Bila memang 
Mujani konsisten dengan nilai-nilai kebebasan, mengapa orang lain tidak boleh 
bebas bersikap "radikal" dan bebas juga "menerapkan syariah"? Bukankah 
"keradikalan" dan "penerapan syariah" juga merupakan pilihan bebas seseorang, 
termasuk pilihan bebas masyarakat dan daerah yang diekspresikan dengan lahirnya 
perda-perda? Apakah kebebasan hanya boleh menjadi milik Mujani dan kelompok 
liberal saja, sementara orang lain tidak boleh bebas? Dan mengapa pula lantas 
Mujani membelokkan perkembangan berupa kegairahan masyarakat untuk menerapkan 
syariah yang sesungguhnya wajar belaka di negeri yang mayoritas muslim ini 
menjadi isu ancaman terhadap NKRI?


Kita pantas bertanya kepada Mujani, siapa sesungguhnya yang membahayakan NKRI: 
Umat Islam dengan ormas-nya yang sejak kemerdekaan berjuang di garda paling 
depan untuk kebaikan negeri ini atau mereka kaum separatis seperti RMS? Umat 
Islam yang berjuang untuk tegaknya ekonomi Islam dengan sistem keuangan dan 
perbankan syariahnya yang sudah terbukti sangat handal ataukah mereka yang 
terus mempertahankan sistem perbankan ribawi dan para pelaku kebijakan BLBI 
yang hampir menenggelamkan negeri ini dalam krisis moneter baru lalu? Umat 
Islam yang berjuang untuk tegaknya syariah agar SDA benar-benar dikelola untuk 
rakyat atau mereka yang justru menyerahkan itu semua kepada perusahaan asing? 
Umat Islam yang berjuang agar negeri ini benar-benar menjalankan syariah sesuai 
prinsip ketuhanan dari sila pertama Pancasila atau justru mereka, termasuk 
Mujani, yang terus menyerukan sekularisme dan meminggirkan Islam dari kancah 
pengaturan bangsa dan negara? Prinsip ketuhanan yang mana yang dimaksud Mujani?
Wallahu'alam bi al-shawab
http://hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=jubir&id=45

__________________________________________________

.
 
 

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/mDk17A/lOaOAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke