Menurut Umer Chapra (2000), koperasi merupakan bentuk organisasi bisnis 
berorientasi kepada pelayanan yang dapat memberikan sumbangan yang kaya kepada 
realisasi sasaran-sasaran suatu perekonomian Islam. Dengan penekanan Islam pada 
persaudaraan, maka koperasi dalam berbagai bentuknya dalam memecahkan persoalan 
yang saling menguntungkan antara berbagai pihak, seharusnya mendapatkan 
penekanan yang besar dalam sebuah masyarakat Islam. Koperasi dapat 
menyumbangkan sejumlah pelayanan kepada para anggota, termasuk penyediaan 
keuangan berjangka pendek bila diperlukan melalui dana mutual, ekonomi 
penjualan dan pembelian dalam jumlah besar, pemeliharaan fasilitas, pelayanan 
bimbingan, bantuan atau pelatihan untuk memecahkan persoalan-persoalan 
manajemen dan teknik, dan asuransi mutual. Sesungguhnya, sulit melihat 
bagaimana suatu masyarakat Islam modern dapat secara efektif merealisasikan 
tujuan-tujuannya tanpa suatu peran yang dimainkan oleh Koperasi.
   
  Oleh karena itu, sudah sepantasnya, untuk memulai pendirian Koperasi yang 
beranggotakan jamaah masjid dan masyarakat di sekitar lingkungannya, namun 
tentu saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekonomi yang tidak bertentangan 
dengan Syariah Islam. Hal-hal yang dilarang dalam bertransaksi dalam Ekonomi 
Syariah jika  dalam transaksi tersebut terdapat unsur-unsur:
  1.      Tadlis (Penipuan), yaitu transaksi yang mengandung suatu hal yang 
tidak diketahui oleh salah satu pihak;
  2.      Taghrir (Ketidakpastian), yaitu transaksi pertukaran yang mengandung 
ketidakpastian bagi kedua pihak;
   3.      Bay ‘Najasy (Manipulasi Permintaan), yaitu upaya mengambil 
keuntungan diatas keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu;
  4.      Ikhtikar (Manipulasi Penawaran), yaitu upaya mengambil keuntungan 
diatas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit untuk harga yang lebih 
tinggi;
   5.      Maysir (Perjudian), yaitu perbuatan yang dilakukan dengan 
mempertaruhan keuntungan semata-mata pada nasib tanpa suatu kepastian;
  6.      Riba,  yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara 
bathil tanpa melalui sebuah transaksi yang dibenarkan. 
   
  Penambahan dalam sebuah transaksi, menurut muamalah Islam dapat dibenarkan 
asalkan diambil melalui suatu transaksi penyeimbang yang dibenarkan oleh 
Syariah, yakni melalui transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya 
penambahan tersebut secara adil, misalnya dengan transaksi jual-beli 
(murabahah, istishna, dan salam), sewa-menyewa (ijarah), atau bagi hasil suatu 
usaha (mudharabah dan musyarakah). Dalam transaksi jual-beli, si pembeli 
membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya, dan dalam sewa-menyewa, si 
penyewa membayar upah sewa karena ada manfaat sewa yang dinikmati termasuk 
menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa, sedangkan 
dalam usaha bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan 
karena turut menyertakan modal dan turut pula menanggung kemungkinan resiko 
kerugian yang timbul setiap saat.
   
  Akan tetapi dalam transaksi simpan-pinjam dana secara konvensional, si 
pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya faktor 
penyeimbang yang diterima si penerima pinjaman kecuali kesempatan dan factor 
waktu yang berjalan selama proses peminjaman. Hal yang dinilai tidak adil 
adalah si penerima pinjaman diwajibkan selalu, tidak boleh tidak, harus, dan 
mutlak, serta pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Padahal 
kenyataannya uang (dana) tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa ada 
faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
   
  Bentuk pinjam-meminjam dalam Ekonomi Syariah disebut dengan istilah Qardh 
yang artinya kepercayaan yang kemudian dikenal menjadi credo dalam Ekonomi 
Konvensional dan selanjutnya di Indonesia dikenal dengan istilah kredit. Qardh 
(pinjaman) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau 
diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan 
transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian 
pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui 
atau akad tolong menolong, sehingga berbeda dengan jual-beli atau bagi hasil 
yang merupakan transaksi komersial. 
   
  Dengan demikian, sebenarnya tidak ada halangan untuk mendirikan sebuah badan 
usaha berbentuk Koperasi yang bertujuan menyejahterakan anggotanya dengan 
menggunakan prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan syariah, karena 
Sistem Ekonomi Syariah sudah sedemikian lengkap mengatur permasalahan ekonomi 
berikut skim-skim transaksi yang tersedia dalam berbagai macam jenis dan jauh 
lebih lengkap dibandingkan dengan Sistem Ekonomi Konvensional yang kita kenal 
saat ini, dan yang perlu kita ingat bersama, bahwa Sistem Ekonomi Syariah sudah 
ada terlebih dahulu daripada sistem Konvensional yang kita kenal saat ini, 
sehingga adanya sebagian pendapat bahwa Ekonomi Syariah adalah Ekonomi 
Konvensional yang diberi kerudung dapat dipertanyakan kembali apakah bukan 
Sistem Ekonomi Konvensional (Sekuler) yang kita kenal saat ini merupakan Sistem 
Ekonomi Syariah yang sudah tidak memakai (menanggalkan) kerudungnya.
   
   Penulis: Merza Gamal [EMAIL PROTECTED] 

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke