Dari www.syariahonline.com <http://www.syariahonline.com/>
Kajian : Muzakarah Tentang : Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam di Indonesia H. Daud Rasyid, M.A, Ph.D. "Dalam catatan sejarah, Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama hijriyah, tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lainya seperti Spanyol di Eropa. Dan disebutkan daerah pertama yang dimasuki Islam adalah wilayah pesisir pantai Sumatera, lebih tepatnya kota Barus. Daerah ini adalah pintu gerbang masuknya Islam ke bumi nusantara. Dan dari sini Islam terus menyebar ke berbagai pulau seperti Jawa, Kalimantan dan seterusnya ke bagian Timur Indonesia. Bahkan Islam-lah yang pertama sekali masuk di Irian Jaya (daerah Fakfak) sebelum masuknya zending Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda." Merupakan karakteristik Islam, bila masuk ke suatu masyarakat, Islam tidak hanya diambil sebagai suatu sistem spiritual mengenai hubungan vertikal antara makhluk dengan Khaliq-nya seperti ibadah mahdhah. Tetapi Islam mengharuskan agar ajaran-ajarannya diambil secara utuh sehingga menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat, yang dimulai dari perubahan ideologis, perubahan pola pikir dan perubahan gaya hidup, hingga pada penerapan syariat sebagai aspek hukum dalam Islam. Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada perbedaan antara masalah shalat dengan masalah muamalah dalam kewajiban untuk tunduk kepada syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat, demikian pula wajibnya kita melaksanakan hukum qishash dalam pembunuhan. Sebagai bahan berpikir, bahwa di dalam Al-Qur'an, terdapat perintah untuk mengerjakan puasa dan begitu juga perintah melaksanakan hukum qishash dalam pembunuhan. Yang menarik, dua ayat itu letaknya sama-sama di dalam surat al-Baqarahdan jaraknya berdekatan. Perintah puasa terdapat dalam ayat 183, sedangkan perintah qishash terdapat dalam ayat 178 dan 179. Letaknya hanya berjarak 5 ayat. Bahkan orang yang membaca surat al-Baqarah dari permulaan, yang lebih duhalu dibacanya adalah ayat qishash. Redaksi dua kewajiban itupun mirip sekali. Mari kita perhatikan dua ayat tersebut: Tetapi anehnya, ayat yang satu (baca: puasa) kita pegang erat, sementara ayat yang satu lagi, tidak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukankah ini merupakan sikap mendua dalam memandang hukum Allah SWT Ini adalah sikap yang sangat dimurkai-Nya, karena hal yang sama pernah terjadi pada kaum Yahudi sehingga Allah mengutuk dan memurkai mereka. Tentang penerapan syariat, dengan mudah dapat dilihat dalam sejarah, tidak satupun negeri yang dimasuki Islam yang tidak menerapkan syariat Islam. Bahkan dapat kita katakan, untuk mengukur ada tidaknya Islam di suatu negeri dahulu, dapat dilihat dari sistem hukum di negeri itu. Jika yang berlaku sistem hukum syariat, berarti Islam hidup di negeri tersebut. Sebaliknya, bila sistem hukum yang berlaku bukan syariat, pertanda kuat bahwa Islam tidak ada di negeri itu. Ini adalah sebuah aksioma dalam masyarakat Islam yang berlangsung ribuan tahun, sejak masa Nabi Saw hingga masa kekhalifahan Utsmaniah di Turki awal abad dua puluh. A. Syariat di Indonesia dalam perspektif sejarah Dalam konteks sejarah Nusantara, hal yang sama juga ditemukan pada masa kerajaan-kerajaan Islam dahulu. Yang menjadi hukum positif di kerajaan-kerajaan itu ialah hukum syariat. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih dengan mazhab Syafi'i. Paling tidak, Ibnu Bathuthah, seorang pengembara muslim abad ke-14 mencatat fakta historis ini dalam karya monumentalnya 'Tuhfat an-Nazzar fi Ghara'ib al-Amshar wa `Aja'ib al-Asfar' yang lebih populer dengan nama Rihlah Ibnu Bathuthah. Dia menyebutkan kunjungannya di sebuah kerajaan Islam di pesisir Sumatera, menerapkan hukum fikih mazhab Syafi`i, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadhu` yang tinggi. Hal itu berlangsung cukup lama (ratusan tahun) hingga berkuasanya pemerintah kolonial Belanda yang menghapuskan pemberlakuan syariat dan menggantinya dengan hukum Belanda. Hukum syariat hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah, thalak, ruju' dan yang sejenisnya. Jadi perlu ditegaskan di sini, bahwa penerapan syariat di negeri ini mempunyai akar sejarah yang sangat kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Jadi tuntutan itu bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya. Akan tetapi, akar sejarahnya sangat kokoh seumur dengan bangsa ini. Dalam sejarah perjuangan nasional, hal itu tercermin dalam sejarah perjuangan bangsa, khususnya Sarikat Islam. Secara resmi kenegaraan, hal ini pun pada tahun 1945 tercantum dalam Piagam Jakarta dengan bunyi: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Ini disetujui bersama oleh wakil-wakil Islam, nasionalis dan Kristen. (Deliar Noer, Syariat Islam, Republika, 4 September 2000). Sebelum kemerdekaan RI diproklamasikan, dibentuklah BPUPKI. Dalam sidang-sidang BPUPKI ketika menentukan dasar negara, anggota-anggota BPUPKI terbelah menjadi dua: pihak Islam yang mengusulkan agar negara ini menjadi Negara Islamdan pihak Nasionalis yang menginginkan pemisahan urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan. Kedua usul ini sama kuat. Namun pada akhirnya terjadilah kompromi antara kedua pihak yang menghasilkan isi Piagam Jakarta. Dengan isi Piagam Jakarta itu, keinginan kedua belah pihak dapat terjembatani. Jadi, sebenarnya isi Piagam Jakarta itu sendiri adalah sikap mundur selangkah dari kelompok Islam di BPUPKI. Tetapi, apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka? Sayangnya, rumusan kompromis itu dihapus pada sidang PPKI sehari sesudah proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri yang mengklaim bahwa dia didatangi salah seorang opsir Angkatan Laut Jepang yang mengaku sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur yang menolak rumusan Piagam Jakarta tadi. Anehnya opsir Jepang yang dimaksud adalah Letnan Kolonel Shegetada Nishijima yang menjumpai Hatta sore hari tanggal 17 Agustus 1945 itu merasa tidak pernah menjadi "kurir" golongan Kristen Indonesia Timur. (Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, GIP, hlm. 68) B. Peluang syariat Berbicara tentang peluang untuk menerapkan syariat, mengharuskan kita untuk memandang peluang itu dari berbagai sudut dan tinjauan. 1. Peluang Politik Peluang di bidang politik adalah peluang yang sangat strategis. Dengan adanya kemauan politik (political will) maka perubahan dengan mudah dapat dilakukan. Tetapi bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apapun terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan adanya perubahan kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim seperti itu pernah kita rasakan selama periode kekuasaan orde lama dan orde baru. Kekuasaan terpusat di tangan satu orang yang bergelar 'Presiden'. Suara-suara rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden, dianggap sebagai penentang yang akan menggulingkan kekuasaan yang ''sah'' (subversi). Selama kepemimpinan Orde Baru, isu Syariat tidak lagi muncul, melainkan dengan nuansa negatif. Isu Piagam Jakarta digambarkan sebagai momok yang menakutkan semua golongan bangsa untuk sama-sama diantisipasi. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali Piagam Jakarta dianggap sebagai orang-orang berbahaya atau lebih populer dengan sebutan ekstrem kanan. Selama ini dirasakan bahwa betapapun keinginan rakyat Indonesia yang muslim ingin menerapkan syariat Islam mengalami jalan buntu karena iklim politik yang tidak kondusif. Dengan runtuhnya rezim Orbadan tuntutan reformasi kembalilah terdengar isu Piagam Jakarta dan Syariat Islam. Khususnya, ketika otonomi khusus diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Salah satu tuntutan otonomi itu ialah desakan untuk menerapkan syariat Islam di wilayah Serambi Mekah itu. Yang dibutuhkan sekarang dalam konteks perjuangan penerapan syariat di Aceh adalah beberapa hal: 1. Sosialisasi syariat sebagai sistem hukum yang ideal. Masyarakat harus sadar betul bahwa problema Aceh dapat diselesaikan dengan syariat. Sehingga syariat menjadi tuntutan seluruh rakyat Aceh. 2. Meningkatkan wawasan masyarakat Aceh tentang syariat. Seharusnyalah syariat dipandang sebagai sistem hukum yang utuh. Syariat hendaknya jangan dikesankan hanya sebatas jilbab, libur hari Jum'at, berdirinya Bank Syariat, pakaian laki-lakinya jubah dan peci haji. 3. Mempersiapkan perangkat perundang-undangan syariat dalam berbagai cabang hukum, seperti, pidana, perdata, dagang, acara, perburuhan, pembagian hasil alam yang dimiliki daerahdan lain-lain. Namun sesungguhnya, dari kajian sejarah, penerapan syariat bukan hanya ada di Aceh, bahkan di seluruh wilayah nusantara yang dikuasai Islam. Oleh karena itu, tuntutan menerapkan syariat di era reformasi ini bukan semata-mata monopoli Aceh. Karena jika kembali pada prinsip akidah Islam, setiap muslim mempunyai rasa tanggung jawab untuk menerapkan hukum Allah di muka bumi. Sebab, wilayah-wilayah di hampir seluruh nusantara, kondisi masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan Aceh. Masyarakat Sumatera adalah masyarakat Melayu yang dalam pergaulan sehari-hari, istilah 'Melayu' identik dengan Islam. Orang non muslim yang masuk Islam disebut 'masuk Melayu'. Adat istiadat Melayu hampir identik dengan ajaran Islam. Apalagi dengan masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat kental dengan ajaran Islam. Sebuah pepatah Minang yang sangat dikenal "Adat basandi Syara'. Syara' basandi Kitabullah". Pepatah Minang ini menggambarkan betapa melekatnya syariat Islam dengan adat Minangkabau. Dengan adanya peraturan tentang otonomi daerah yang disahkan oleh DPR tahun 1999 lalu, daerah-daerah di Indonesia berpeluang untuk melaksanakan peraturan atau norma yang menjadi tuntutan masyarakat setempat. Bila aturan itu disetujui oleh DPRD setempat, maka aturan itu sudah mempunyai kekuatan hukum. Sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan Islam, masyarakat di Sumatera sudah tentunya menginginkan hukum yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum syariat yang bersumber dari agama mereka. Karena syariat dirasakan sebagai hukum yang paling adil dalam memandang manusia. mengapa tidak, karena syariat adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allah SWT, Sang Pencipta manusia. Sudah tentu hukum yang berasal dari Allah adalah hukum yang paling adil. Hukum yang dibuat manusia, pasti mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan dan keberpihakan kepada kelompok tertentu. Perjalanan panjang bangsa ini dengan hukum produk penjajah dengan segala ekses yang ditimbulkannya -seperti kezaliman, hilangnya rasa kemanusiaan, mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin memperkuat kerinduan kita, masyarakat Melayu agar hukum syariat dapat diterapkan di daerah-daerah Melayu. 2. Peluang Birokrasi Tidak berlebihan jika dikatakan, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, baru pada masa reformasi inilah, wakil umat Islam mendapatkan posisi yang lebih baik dalam pentas kekuasaan. Tokoh Muhammadiyah menjadi Ketua MPR. Tokoh NU menjadi Presiden. Tokoh HMI menjadi Ketua DPR. Dan sepanjang sejarah hukum di Indonesia, baru kali inilah seorang aktivis Islam menjadi Menteri Kehakiman RI. Terlepas dari kritikan tajam yang diarahkan kepada mereka, namun yang pasti peluang menduduki jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka sesudah adanya reformasi. Sementara tadinya, dalam rezim-rezim sebelumnya (Lama dan Baru), aktivis-aktivis Islam hanya berada di posisi marginal dan tidak strategis. Bahkan seringkali, gara-gara keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam membuat mereka menjadi kehilangan posisi. Sekarang tinggal bagaimana para tokoh-tokoh umat itu mampu memanfaatkan posisi yang Allah amanahkan kepada mereka dapat mereka gunakan seoptimal mungkin untuk merancang penerapan syariat. Dengan memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana hukum yang ada di berbagai wilayah sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang yang bernafaskan syariat di wilayah masing-masing. Paling tidak pekerjaan besar ini sudah bisa dicicil dari sekarang. 3. Kesadaran Masyarakat Islam Salah satu faktor yang menggembirakan, akhir-akhir ini, tumbuh semangat cinta Islam (ghirah islamiyah) di sejumlah lapisan masyarakat muslim di Indonesia, khususnya kalangan muda dan terpelajar. Kajian dan dakwah Islam dalam satu dekade terakhir ini tampak semarak di hampir seluruh kampus di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini cukup menggembirakan, karena potensi yang dimiliki kaum muda dan terpelajar merupakan salah satu syarat bagi penegakan syariat. Selain itu di kalangan masyarakat muslim, semangat Islam itu jelas terlihat. Sebagai contoh, jumlah jama'ah haji terus meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula orang-orang yang pergi umrah. Bahkan melangsungkan akad nikah di masjid sudah menjadi fenomena di ibukota Jakarta. Orang-orang berdasi sudah banyak memenuhi masjid. Mudzakarah yang dilaksanakan inipun banyak mendapat perhatian kalangan menengah ke atas di Jakarta. C. Tantangan Namun tantangan untuk menerapkan syariat ini pun bukan sesuatu yang kecil dan sepele di negeri ini. Di atas tadi sudah disinggung bahwa Piagam Jakarta yang sudah merupakan hasil kompromi dari sejumlah aliran waktu itu, toh mengalami kegagalan akibat permainan politik beberapa elit yang tidak menghendaki diberlakukannya syariat Islam ketika itu. Pada zaman sekarang ini pun, keberatan-keberatan itu tetap saja muncul, bahkan bukan saja disuarakan oleh orang-orang di luar kaum muslimin, tetapi dari dalam intern umat Islam sendiri. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Jadi jika ingin digambarkan secara ringkas, tantangan syariat adalah seperti berikut ini. 1. Budaya Barat yang sudah merasuk ke dalam pikiran sebagian umat Islam. 2. Kalangan sekuler yang sejak dulu tidak menghendaki penerapan syariat di Indonesia. 3. Publik opini yang terbentuk melalui media massa, tidak memihak kepada penerapan syariat. Namun tak ada perjuangan yang sukses dengan mulus. Semakin hebat tantangan seringkali semakin menunjukkan benarnya arah perjuangan. Justru mengherankan, jika penerapan syariat di Indonesia sepi dari tantangan. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> See what's inside the new Yahoo! Groups email. http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/