Dari www.syariahonline.com <http://www.syariahonline.com/>
Kajian : Muzakarah Tentang : Penerapan Syariat Islam Pada Masa Khulafa` Ar-Rasyidin DR.H. Lahmuddin Nasution, M.A. A. Pendahuluan Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara, yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H), Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selain berhubungan dengan sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai tindakan dan kebijakan yang mereka lakukan juga dengan ungkapan yang tersebut di dalam hadis Nabi Saw. Tampaknya sejak dini para sahabat Nabi Saw telah menganut pandangan yang sama tentang pentingnya keberadaan seseorang untuk mengemban tugas-tugas dan tanggung jawab selaku pemimpin umat Islam menggantikan Rasulullah Saw . Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa pidato pertama Abu Bakar r.a. setelah wafat Rasul Allah Saw , berisi dua hal yang penting. Pertama, penegasan bahwa beliau benar-benar telah wafat, hal ini dikemukakannya untuk menenangkan keragu-raguan sebagian orang, termasuk Umar bin Khattab r.a. Kedua, pernyataan tentang keharusan adanya pemimpin yang menangani urusan umat Islam (labudda li hadza al-amr min qa'im yaqumu bihi). Selanjutanya, dia meminta agar umat Islam berpikir, memberikan pertimbangan dan mengemukakan pendapat mereka. Secara serempak, orang-orang yang hadir ketika itu menyahuti dan membenarkan seruan Abu Bakar tersebut dan berjanji akan memberikan pertimbangan mereka keesokan harinya . Silang pendapat yang terjadi, khususnya antara kaum Anshar dan Muhajirin, akhirnya teratasi dengan penunjukan dan pembai'atan Abu Bakar r.a. yang didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh Rasul Allah Saw kepadanya untuk memimpin urusan agama (shalat) mereka, serta hadits al-A'immah min Quraisy, yang dikemukakan oleh Ma'd bin Adi al-Anshari' dan diakui oleh kaum Anshar lainnya, di Saqifah bani Sa'idah . Kemudian pada keesokan harinya, pembaitan umum pun dilakukan di Masjid Nabawi . Di antara argumentasi lain yang juga dikemukakan pada waktu itu ialah perkataan Abu Bakar, bahwa orang-orang Arab tidak akan menerima (la tuqirr) seorang pemimpin kecuali dari kaum Quraisy dan keutamaan Abu Bakar sendiri, termasuk keberadaannya sebagai teman Rasul Allah Saw di dalam Gua Tsur . Pada gilirannya, Abu Bakar menyampaikan pidato pelantikannya yang memuat pernyataan antara lain, bahwa : * Dia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik. * Dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dia berbuat tidak baik (in asa'tu). * Dia akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat dengan yang lemah. * Ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah . Dari keterangan singkat ini dapatlah dilihat secara jelas bahwa menurut para sahabat, keberadaan khalifah itu tidak lain adalah dimaksudkan sebagai sarana untuk melaksanakan syariat Allah di muka bumi dan menjamin bahwa setiap orang akan memperoleh segala sesuatu yang menjadi haknya dengan sempurna, tanpa aniaya atau kezaliman dari pihak mana pun. Kemudian dari semua tindakan dan perilaku memerintah yang ditunjukkan oleh Khulafaur Rasyidin itu, cukup terbaca betapa besarnya keterikatan mereka dengan tuntutan dan tuntunan syariat Islam yang dibawa oleh Rasul Allah Saw Setiap umat Islam vang mencintai agamanya dan ingin melaksanakan syariat Islam dalam kehidupannya sebagai individu, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara, tentulah akan suka becermin kepada pola sikap dan perilaku para pendahulu dalam menerapkan syariat tersebut. Sepanjang sejarah, tidak ada cerminan yang lebih baik untuk maksud itu, kecuali praktek dan pola penerapan syariat yang dicontohkan oleh Nabi Saw dan para Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, wajarlah kalau kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah Khulafaur Rasyidin itu untuk menemukan model-model pengamalan syariat yang benar dan yang semestinya kita contoh dari mereka. Untuk itu, makalah ini akan berupaya mengungkapkan kembali beberapa catatan berkenaan dengan penerapan syariat di masa Khulafaur Rasyidin sebagai bahan perbincangan lebih lanjut dalam Mudzakarah yang berbahagia ini. B. Syariat Islam Dalam pengertiannya yang luas, syariat adalah sinonim dari ad-din yaitu keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw , meliputi bidang-bidang akidah, akhlak dan hukum-hukum. Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih sempit, syariah selalu digunakan untuk menyebutkan hukum-hukum, ketentuan, atau aturan-aturan yang menyangkut tindak-tanduk dan perilaku manusia mukallaf. Sebagaimana diketahui, pokok-pokok ajaran dan hukum Islam telah tertuang di dalam kitab suci Al-Qur`an. Ini sesuai dengan dengan pernyataan Allah swt bahwa kitab tersebut diturunkan sebagai bayan atau tibyan bagi segala sesuatunya. Atas dasar inilah asy-Syafi'i menyatakan: " Seseorang dari ahli agama ini perkataannya tidak dapat dipegang (tidak dapat menjadi rujukan hukum) kecuali ada dalil dari kitab Allah yang menunjukkan jalan ke arah itu" Jadi menurut ini, bagi umat Islam, segala aturan tentang segala sesuatu adalah datang dan bersumber dari serta dipulangkan kepada Al-Qur`an. Tentu saja, sesuai dengan sifat ijmali yang terdapat pada Al-Qur`an itu, masih banyak hal yang perlu mendapatkan penjelasan agar dapat diterapkan dalam peri kehidupan muslim. Untuk itu, Allah SWT memberikan beberapa jalur penjelasan, yakni melalui As-sunnah atau hadis Rasul Allah Saw atau melalui ijtihad . Wafatnya Rasul Allah Saw menimbulkan suatu perubahan yang amat nyata dalam penataan hukum Islam. Ketika Nabi Saw masih hidup, segala sesuatunya selalu didasarkan atas petunjuk atau putusan yang diberikannya secara langsung, baik dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur`an maupun dengan mengemukakan hadits-hadits beliau sendiri. Setelah beliau berpulang ke rahmat Allah, orang-orang tidak dapat lagi menanyakan atau mengadukan kasus yang mereka hadapi untuk mendapatkan penyelesaian yang pasti seperti masa sebelumnya. Dalam banyak kasus, penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak menghasilkan jawaban hukum yang pasti sehingga untuk mendapatkan penyelesaiannya diperlukan upaya pencarian lain. Jalan satu-satunya yang dapat ditempuh ialah melalui ijtihad, dengan memfungsikan penalaran untuk menemukan petunjuk-petunjuk tersirat atau ma'qul dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa para Khulafaur Rasyidin itu, tanpa kecuali, adalah mujtahid-mujtahid yang mampu melakukan penelusuran maupun penalaran dalam upaya pencarian hukum bagi setiap kasus yang mereka hadapi . Akan tetapi, tercatat bahwa mereka hanya melakukan ijtihad dengan frekuensi yang relatif terbatas, sesuai dengan tuntutan kebutuhan zamannya masing-masing. Aneka kontak budaya yang terjadi dalam pergaulan luas antarsuku dan bangsa, sebagai akibat dari ekspansi yang gemilang ke timur dan ke barat, membuat masyarakat semakin dinamis dan selanjutnya membawa tantangan melalui beragam persoalan yang harus dicarikan ketetapan hukumnya. Hal ini turut berperan memicu perkembangan ijtihad dan akhirnya memaksa para mujtahid mengambil sikap proaktif, mempersiapkan jawaban-jawaban bagi masalah-masalah yang mungkin dihadapi . Keberadaan ijtihad adalah sesuatu yang niscaya, sebab, sebagai mana dikatakan oleh Iman al-Haramain al-Juwaini, nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang jumlahnya terbatas dan sudah tetap (mahsurah, maqsurah) itu, tidak akan mungkin dapat meliput semua persoalan yang terus menerus timbul di dalam kehidupan manusia sehingga jumlahnya tidak terbatas (la nihayah laha) . Oleh karena itu, sebutan syariat mencakup semua hukum Islam, baik yang diperolah melalui nash, maupun melalui ijtihad (fikih). Namun demikian, berdasarkan segi keberadaan materi-materinya, syariat dapat dibagi kepada dua kelompok, yakni yang bersifat qath'i dan yang bersifat zhanni. Yang pertama adalah ketentuan-ketentuan hukum yang diperoleh langsung dari nash Al-Qur`an atau As-Sunnah melalui penunjukan yang bersifat qath'i al subut wa al-dilalah, sedangkan yang kedua adalah yang diperoleh dari kedua sumber tersebut melalui penunjukan yang bersifat zhanni, pada tsubut atau dilalah-nya. Sesuai dengan pengertian yang dikemukakan di atas, aturan-aturan hukum syariat itu meliputi segala bentuk, tindakan mukallaf dalam semua lapangan kehidupannya. Perbuatan, sikap, perkataan bahkan kata hatinya pun tidak ada yang tidak dijangkau oleh ketentuan hukum syariat. Sesuai dengan pernyataan ayat-ayat Al-Qur`an, semua petunjuk dalam tatanan syariat itu hanyalah diturunkan sebagai rahmat Allah bagi seluruh manusia. Terlepas dari perbincangan mereka yang cukup tajam pada tataran kalam, tampaknya para ulama sepakat bahwa penataan hukum-hukum (tasyri' al-ahkam) selalu ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia . Atas dasar itulah, pertimbangan kemaslahatan selalu terbawa dalam ijthad yang mereka lakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi yang dimaksudkan tersebut tidak akan tercapai kecuali melalui penerapan syariat secara utuh (kaffah) dalam semua aspek kehidupan. Dalam hal penerapan syariat itu tentulah tidak ada yang lebih baik daripada apa yang dipraktekkan oleh Rasul Allah Saw dan kemudian diikuti secara ketat oleh para sahabat beliau, terutama pada masa-masa Khulafaur Rasyidin. C. Kewajiban Penerapan Syariat dalam Kehidupan Umat Islam Penerapan syariat Islam sudah merupakan kewajiban atas umat Islam sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur`an, seperti: " Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya" (Al-Baqarah 208) "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" (An-Nisaa' 105) "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allahdan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (Al-Maa-idah 49) "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"(Al-Maa-idah 44) "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" (Al-Ahzab 36) "Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (An-Nuur 51) "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikandan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisaa' 65) Adalah jelas bahwa ayat-ayat di atas bersama sejumlah ayat lainnya mewajibkan penerapan hukum Allah dalam kehidupan muslim, tanpa memberikan peluang untuk penyimpangan darinya. Dalam pembicaraan tentang imamah atau khalifah, para ulama selalu menyertakan keterangan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjamin terlaksananya semua aturan dan tertegakkannya hukum-hukum Allah di dalam masyarakat. Imam al-Haramain mengatakan: "Imamah adalah kepemimpinan sempurna dan kekuasaan umum mencakup urusan khusus dan umum dalam urusan din dan dunia. Tugasnya menjaga wilayah, memelihara rakyat dan menegakkan da'wah dengan hujjah dan pedang. Menolak ketakutan dan penganiyaaan serta menolong orang-orang yang tertindas dari kaum zhalim. Mengambil hak-hak dari orang yang menolak menunaikannya dan menunaikannya kepada yang berhak" Saifuddin al-Amidi, mengemukakan bahwa kita mengetahui benar tujuan dari semua perintah dan larangan pada segala bidangnya, seperti hudud, qisas, peraturan-peraturan muammalat, munakahat, jihad, penegakan syi'ar Islam melalui shalat Jum'at dan hari raya, adalah untuk menciptakan kemaslahatan makhluk dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat dan itu semua tidak akan tercapai tanpa imam syar'i yang dipatuhi. Imam itulah tempat mereka mengadukan segala perkara dan yang menjadi sandaran (ya'tamidun 'alaih) dalam semua urusan mereka . Dengan mengutip ayat 58 dan 59 dari surat an-Nisaa', yang masing-masing berisi perintah menunaikan amanah dan mematuhi ulil-amri, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa himpunan dari ada' al-amanat ila ahliha dan al-hukm bi al-adl itulah yang merupakan sendi utama as-siyasah al-adilah dan al-wilayah as-salihah . Menurut catatan sejarah, setiap amir atau amil yang diangkat oleh Rasul Allah Saw senantiasa langsung bertanggung jawab sebagai naib beliau dalam memimpin pelaksanaan shalat, penegakan hududdan tuntutan syariat lainnya. Ketika Mu'az diutus ke Yaman, Nabi Saw mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya yang paling penting bagiku dari segala urusanmu adalah shalat." Imam al-Haramain mengemukakan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang imam meliputi banyak hal, baik urusan agama maupun urusan duniawi. Menyangkut tanggung jawab imam dalam masalah keagamaan, dia mengatakan: "Kesimpulannya, ialah bertujuan menunaikan kaidah Islam secara sukarela atau terpaksa....Adapun pandangannya terhadap masalah agama, maka terbagi menjadi; memandang dari sudut prinsip agama dan memandang dari sudut cabang agama" Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya terhadap ushuluddin (prinsip agama), ia berkewajiban memelihara akidah yang benar, menolak segala bentuk bid'ah, serta menyelenggaraan dakwah terhadap orang-orang kafir, mengajak mereka kepada Islam dengan cara-cara yang diperintahkan dan diizinkan oleh syariat . Adapun mengenai fungsi syariat, menurut beliau wewenang Imam, pada dasarnya hanyalah terkait dengan masalah-masalah yang secara nyata merupakan syi'ar Islam, seperti penegakan shalat Jum'at, shalat 'iddan pelaksanaan ibadah haji. Hal-hal penting seperti itu tidak boleh luput dari perhatian Imam, sebab pada acara-acara tersebut selalu terbuka peluang bagi terjadinya berbagai penyimpangan akibat banyaknya orang yang terlibat, sehingga perlu ditertibkan. Pada sisi lain, seorang Imam tidak seharusnya mencampuri masalah-masalah yang bersifat individu, sepanjang hal itu tidak disampaikan kepadanya. Di samping itu Imam juga berkewajiban memelihara ketertiban umum di dalam negeridan ini meliputi, 1) penyelesaian segala sengketa yang terjadi melalui badan peradilan, 2) penegakan al-'uqubat, mencakup hudud, qishasdan ta'zir terhadap setiap kejahatan dan pelanggaran hukum, serta 3) membela kepentingan dan memenuhi hajat orang-orang lemah D. Penerapan Syariat Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin 1. Perkembangan Materi Syariat Islam Materi syariat yang diterapkan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak lain merupakan berbagai ketentuan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Setiap kali menghadapi suatu persoalan, mereka senantiasa lebih dahulu mencari hukumnya pada kedua sumber tersebut, melalui periwayatan terbatas, sesuai dengan kebutuhan. Kemudian, walaupun dalam beberapa kasus tampak adanya upaya-upaya tertentu, dimana para khalifah meminta syahadah atas periwayatan seseorang, pada hakikatnya mereka sepakat menerima dan mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkan secara ahad . Bila upaya mencari rujukan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak berhasil, mereka pun sepakat pula bahwa upaya pencarian berikutnya adalah ijthad, dengan melakukan qiyas. Menurut Abu Ishaq, di kalangan sahabat tidak ada orang yang menafikan atau menolak penggunaan qiyas . Di samping itu, ada juga yang melakukan ijtihad dengan menggunakan metode atau kaidah-kaidah ijtihad lainnya, seperti istihsan, bara'ah al-ashliyah, saddad azari'ahdan pertimbangan al-masalih al-mursalah . Secara umum, para sahabat hanya melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang benar-benar telah terjadi dalam kenyataan dan mereka masih enggan memberikan jawaban atau fatwa tentang kasus-kasus pengandaian. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, ijtihad yang mereka lakukan telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam perkembangan materi syariat Islam. 2. Pola Umum Penerapan Syariat pada Masa Khulafaur Rasyidin Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh para khulafaur Rasyidin adalah melanjutkan penerapan syariat seperti apa yang telah berjalan sejak masa Nabi Saw Segala ketentuan yang telah berlaku pada masa hidup beliau dipandang sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak dapat diubah . Ketika berhadapan dengan Fatimah binti Rasul Allah Saw , Abu Bakar r.a. berkata:"Demi Allah saya tidak akan membiarkan masalah, dimana saya melihat Rasulullah Saw melakukannya, niscaya aku melakukannya juga". Berkenaan dengan keengganan sebagian orang untuk membayar zakat, Abu Bakar ra. berkata:"Demi Allah jika mereka menolak pada satu ikatan yang mereka tunaikan pada masa Rasulullah Saw , maka aku akan perangi orang yang menolaknya. Sesungguhnya zakat adalah kewajiban atas harta, demi Allah akan aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat". Sepanjang mereka menemukan suatu ketentuan dari Rasul Allah Saw , maka untuk kasus-kasus terkait mereka selalu menerapkan ketentuan tersebut sebagai mana adanya, tanpa mengubah atau menambahnya dengan pengembangan sendiri . Jika tidak menemukan ketentuan yang jelas dari Rasul Allah Saw , maka penetapan suatu hukum mereka dasarkan atas hasil ijtihad, baik secara jama'i, maupun fardi. Sekalipun tidak menganggap hasil ijtihadnya benar secara mutlak, mereka tetap menerapkan hukum-hukum ijtihadi itu dengan tegas, sepanjang hal itu menyangkut bidang-bidang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab mereka. Adapun dalam masalah-masalah individual yang tidak meminta keterlibatan pemerintah, para Khulafaur Rasyidin hanyalah menempatkan diri sebagai mujtahid yang sejajar dengan para mujtahid lainnya dari kalangan sahabat. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa mereka mewariskan sejumlah perbedaan pendapat. Dalam hal ini, tiap-tiap orang bebas mengamalkan pendapatnya sendiri atau mengikuti salah satu pendapat yang ada tanpa terikat atau terpengaruh oleh pendapat yang lain . Kemudian, jika setelah memperoleh kesimpulan hukum melalui ijtihad, mereka menemukan ketentuan lain dari sunnah Rasul Allah Saw , mereka selalu meninggalkan pendapatnyadan kembali pada ketentuan sunnah itu. Hal seperti itu juga berlaku bagi kasus-kasus yang telah diputuskan berdasarkan hasil ijtihad . Suatu putusan atas perkara tertentu tidaklah harus mempengaruhi putusan terhadap kasus lain yang mirip dengannya. 3. Contoh-contoh Penerapan Syariat Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam masalah-masalah yang sifatnya individual Khulafaur Rasyidin senantiasa memberikan kebebasan bagi tiap-tiap orang untuk beramal dan memberikan fatwa sesuai dengan hasil ijhhadnya sendiri. Oleh karena itu, keragaman tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah dalam pengamalan syariat di masa ini. Misalnya, * Umar bin Khattab ra berpendapat bahwa iddah orang hamil yang kematian suami adalah melahirkan, sedangkan Ali bin Abi Talib mengatakan iddahnya adalah masa yang terpanjang antara melahirkan dan 4 bulan 10 hari. * Abu Bakar ra berpendapat bahwa para saudara tidak berhak mendapatkan warisan apabila mereka bersama-sama dengan kakek, tetapi Umar ra. dan Zaid bin Tsabit ra. memberi mereka bagian bersama-sama dengan kakek. Untuk kasus-kasus yang melibatkan campur tangan penguasa, Khulafaur Rasyidin selalu bertindak dengan tegas, mengeluarkan perintah, menetapkan keputusan hukum, ataupun menggariskan peraturan-peratutan, yang mereka pandang sebagai hal yang paling benar dan paling baik. Misalnya : * Abu Bakar ra. memerintahkan penulisan Al-Qur`an di dalam mushaf dan pada gilirannya Usman bin Affan ra. memerintahkan penggandaannya dengan penulisan yang seragam. * Umar bin Khattab ra. mengatur pelaksanaan shalat tarawih berjamaah dengan menunjuk Ubay bin Ka'ab ra. sebagai imam. * Usman bin Affan ra. memerintahkan agar adzan dikumandangkan dua kali menjelang shalat Jum'at. * Umar bin Khattab ra. memerintahkan penarikan zakat dari hasil-hasil panen buah zaitun di Syam. * Umar bin Khattab ra. menerima zakat madu yang dikutip dan dibawa oleh Abdullah bin Rab ra. * Umar ibnul Khattab ra. memimpin pelaksanaan ibadah haji setiap tahun, sepuluh kali berturut-turut selama pemerintahannya . * Abu Bakar memutuskan tidak memberikan warisan yang dituntut oleh Fatimah r.a. dan Abbas dari harta peringgalan Rasulullah Saw . * Abu Bakar memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid, sekalipun ada sebagian sahabat yang menilai pemberangkatan tersebut kurang bijaksana. * Abu Bakar memerintahkan pasukannya memerangi kelompok-kelompok yang membangkang dalam hal pembayaran zakat, sekalipun pada mulanya banyak sahabat yang keberatan, sebelum mereka melihat alasan yang mendasari peperangan tersebut. * Ali bin Abi Thalib dengan tegar memerangi para pembangkang yarig menentang pemerintahannya yang sah, seperti pada Perang al-Jamal, Siffindan penumpasan Kaum Khawarij. * Abu Bakar ra. membagi harta secara merata dengan mengabaikan berbagai faktor kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi kemudian Umar ibnul Khattab ra. membuat ketentuan lain dengan mempertimbangan keutamaan tiap-tiap orang. * Abu Bakar dan Umar menghukum ra. pencuri pada pencurian yang ketiga dengan memotong tangan kirinya, sedangkan Ali bin Abi Thalib ra. tidak memotong tangan kiri pencuri seperti itu . * Abu Bakar, Umar, Utsman ra. masing-masing menjatuhkan hukuman atas pelaku zina dengan menderanya dan kemudian mengasingkannya . * Abu Bakar ra. meminta pendapat para sahabat tentang temuan Khalid ibnul Walid ra, seorang laki-laki yang 'dinikahi' dan diperlakukan orang seperti perempuan, Ali ra. mengusulkan agar orang tersebut dibakardan Abu Bakar ra. pun mengeluarkan perintah untuk membakanya. Hukuman yang sama juga diterapkan oleh Ali bin Abi Thalib ra. dan Abdullah ibnul Zubair ra. ketika keduanya berkuasa . * Abu Bakar menghukum peminum khamar dengan 40 kali dera, tetapi Umar ibnul Khattab ra menjatuhkan hukuman cambuk 80 kali . * Umar bin Khattab ra. membuat sebuah rumah, yang dibelinya di Mekah menjadi rumah tahanan dan Ali bin Abi Talib ra. juga membuat sebuah penjara . * Abu Bakar ra. menunjuk Umar ibnul Khattab ra. untuk menggantikannya sebagai khalifah. * Umar ibnul Khattab ra. menunjuk enam orang sahabat terbaik untuk bermusyawarah dan menetapkan khalifah berikutnya. Dalam pada itu, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan syariat secara umum, para Khulafaur Rasyidin senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dalam berbagai bidang, seperti penataan administrasi, pembentukan diwan-diwan, pembentukan berbagai lembaga sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang mereka hadapi. Menyangkut hal itu, tampaknya para sahabat selalu bersikap terbuka dan siap menerima aneka perubahan, perbaikandan pengembangan. Para Khulafaur Rasyidin, dengan selalu bermusyarah dan meminta pendapat sahabat lainnya senantiasa mencari bentuk-bentuk pengelolaan terbaik dan tanpa ragu-ragu mereka menerapkannya, demi kebajikan umat Islam. E. Penutup Dari uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : * Penerapan syariat Islam adalah tujuan utama dari pembentukan khilafah dalam Islam dan tugas tersebut telah dilaksanakan oleh para khulafaur Rasyidin di segala bidang sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Rasulullah Saw . * Dalam penerapan syariat Islam itu, para khulafaur Rasyidin senantiasa mengikuti hukum-hukum syara' yang telah dinyatakan secara tegas di dalam nas-nas Al-Qur`an dan As-Sunnah. * Berkenaan dengan kasus-kasus yang hukumnya tidak ditegaskan di dalam kedua sumber tersebut mereka melakukan upaya-upaya ijtihad dalam arti yang luas, baik secara jama'i maupun secara fardi. * Untuk masalah-masalah yang memerlukan campur tangan pemerintah, setiap putusan, peraturan, ataupun. Perintah yang dikeluarkan oleh khalifah mempunyai kekuatan mengikat dan wajib dipatuhi, sekalipun hal itu berasal dari hasil ijtihad jama'i atau fardi. * Mengenai urusan-urusan yang bersifat individual, tidak ada keharusan mengikufi pendapat khalifah atau orang tertentu lainnya. Setiap orang bebas mengeluarkan atau mengamalkan pendapat yang dianggapnya paling benar. Akhirnya, kami sadar bahwa penerapan syariat Islam yang ada pada masa khulafaur Rasyidin itu tidaklah mungkin diungkapkan secara lengkap dalam makalah seperti ini. Mudah-mudahan saja sajian sederhana ini memadai untuk dijadikan sebagai bahan awal perbincangan para ulama di dalam mudzakarah ini. Kami percaya, semakin besar kepedulian yang kita berikan terhadap syariat, akan semakin besar pulalah kepedulian asy-Syari' kepada kita. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design. http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/