Kiriman dari Redaksi Majalah Islam Hidayatullah yang menampilkan catatan
akhir pekan dari saudara Adian Husaini tentang pro dan kontra RUU
Pornografi & Pornoaksi.
Silah menyimak...

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=28
71&Itemid=1


//Wartawan senior Indonesia menuduh RUU APP  `berbau Arab'. Nabi dan
Imam Syafi'i juga orang Arab, tapi mengapa kita mau mengikutinya?
Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 139//

"Pornografi dan Liberalisme"

Selasa, 14 Maret 2006




Oleh: Adian Husaini

 


Menyusul maraknya aksi penolakan terhadap RUU Anti-pornografi (APP),
beberapa hari lalu, seorang muslim yang tinggal di Bali menelepon saya,
dan memberitahukan kondisi kaum Muslim Bali yang semakin terjepit.
Kadangkala, mereka mendapat tuduhan, bahwa RUU APP adalah salah satu
bentuk Islamisasi.

Jika RUU itu nantinya disahkan, maka Bali pun akan diislamkan, dan
wanitanya dipaksa memakai jilbab. Entah dari mana isu itu ditiupkan di
Bali, sehingga sampai muncul ancaman, jika RUU APP diterapkan, maka Bali
akan memerdekakan diri dari Indonesia.

Ancaman semacam ini dulu juga nyaring terdengar di kalangan kaum Kristen
tertentu, ketika RUU Pendidikan Nasional akan disahkan. Mereka
mengancam, Papua dan Maluku akan memisahkan diri, jika RUU Pendidikan
Nasional disahkan. Tetapi, ketika RUU itu disahkan menjadi UU, gertakan
mereka juga kurang terdengar lagi.

Kaum Muslim Bali dan banyak komponen masyarakat lainnya di sana, jelas
sangat mengharapkan lahirnya satu Undang-undang yang bersikap tegas
terhadap tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi yang semakin meruyak
di belantara tanah air Indonesia.  Pada tahun 1945, kaum Muslim juga
ditekan untuk mengganti Piagam Jakarta, dengan alasan ancaman
separatisme wilayah tertentu.

Pornografi adalah musuh umat manusia beradab, sehingga selama ini selalu
ada upaya agar manusia yang masih bertelanjang, diberikan pekaian
penutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian argumentasi penolakan RUU APP
justru berorientasi kepada primitivisme.

Ada yang berpendapat, jika RUU ini diterapkan maka suku-suku tertentu
yang selama ini biasa hidup telanjang akan terkena ancaman pidana.  
Logika kaum liberal ini sebenarnya carut-marut dan paradoks.

Pada satu sisi mereka mengagungkan progresivitas (dari bahasa Latin :
progredior, artinya, saya maju ke depan), tetapi pada sisi lain, mereka
justru mundur ke belakang, dengan memuja nativitas dan primitivitas.

Sayangnya, suara-suara masyarakat yang sehat, seakan tersekat. Logika
mereka tersumbat oleh gegap gempitanya gerakan penolakan RUU APP
dimotori oleh LSM-LSM dan public figure tertentu yang berpaham liberal,
yang meyakini `kebebasan' sebagai ideology dan agama mereka.
Kebebasan, menurut mereka, adalah keimanan, yang tidak boleh diganggu
gugat. Karena itu mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal
agama atau pakaian. Kata mereka, itu wilayah privat, wilayah pribadi
yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun
berteriak: biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini
urusan kami! Bukan urusan kalian! Bukan urusan negara! Negara haram
mengatur wilayah privat! Itulah logika dan keimanan kaum liberal, pemuja
kebebasan.

Karena RUU APP dianggap melanggar wilayah privat, maka mereka berteriak
lantang: tolak RUU APP! Ketika kasus Inul mencuat, seorang tokoh liberal
menulis dalam sebuah buku berjudul "Mengebor
Kemunafikan": "Agama tidak bisa "seenak udelnya" sendiri masuk ke dalam
bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan
sendiri standarnya kepada masyarakat...Agama hendaknya tahu
batas-batasnya."

Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan
wilayah publik itu sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara
Barat sendiri sudah kedaluwarsa. Sejak lama manusia sudah paham, bahwa
kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik.

Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada
peraturan yang membatasi kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur
wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV, pakaian, minuman keras, dan
sebagainya.

Ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas  manusia. Tidak bisa atas
nama kebebasan, orang berbuat semaunya sendiri. Masalahnya, karena
peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, maka peraturan yang mereka
hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan
akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan
fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan
manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak
`kemaruk' (serakah) dan memalukan.

Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap
kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu
menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka
harus `kaffah', mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun
agama.

Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman
negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada
ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada
ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan
kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian
nilai  akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan
jiwa. Mereka, pada  hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya
kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan
kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan
jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa
haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini.

Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah
teman-teman dekat mereka.  Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka
reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan
akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki.

Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan
hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap
manusia pemuja nafsu ini:

"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan
ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang
diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya,
dan meletakkan tutup atas penglihatannya.
Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?" (QS 45:23).

Dalam satu tayangan televisi, seorang pengacara terkenal pembela
Anjasmara bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Anjasmara dengan foto
bugilnya adalah satu bentuk seni, dan bukan pornografi. Padahal, foto
Anjasmara yang dipamerkan untuk umum di Gedung Bank Indonesia itu
jelas-jelas mempertontonkan seluruh auratnya, kecuali alat vitalnya.

Apakah si pengacara itu tidak berpikir, jika foto Anjasmara itu diganti
oleh foto diri atau foto ayahnya. Apakah itu juga seni? Jika memang
masih dianggap satu bentuk seni, mengapa alat vital Anjasmara masih
ditutup dengan lingkaran putih?  mbok, sekalian agar dianggap lebih
indah dan `nyeni' alat vital itu dibuka dan diberi lukisan tertentu?

Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat,
patung-patung para dewa pun ditampilkan telanjang bulat dengan alat
vital terbuka. Kenapa si pengacara itu masih tanggung dalam memuja
liberalisme?  Apa landasan yang menyatakan alat vital tidak boleh
dipertontonkan di muka umum ? Jika alasannya adalah `tidak etis', maka
suatu ketika dan di satu tempat tertentu, misalnya di klub-klub nudis,
alat vital manusia pun wajib dipertontonkan, karena mengikuti kehendak
dan selera umum.

Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas
aurat wanita dan laki-laki jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan
juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayat-ayat Al-Quran
maupun hadits Rasulullah saw. Karena itu, kaum Muslim sebenarnya tidak
perlu berdepat panjang tentang batasan aurat manusia, karena pedomannya
sangat jelas.

Pornografi dan pornoaksi adalah aktivitas yang terkait erat dengan
promosi perzinahan yang secara keras dilarang oleh Al-Quran. Karena itu,
seorang dokter yang memeriksa bagian aurat tertentu dari pasien atau
mayat manusia, dengan tujuan medis, tidak masuk dalam kategori
pornografi atau pornoaksi. Ini tentu berbeda dengan Dewi Soekarno yang
secara sengaja mempublikasikan foto-foto bugilnya dalam `Madame de
Syuga'. Berbeda juga dengan tayangan-tayangan erotis dalam berbagai
acara televisi kita sekarang ini.

Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang, memang sedang
gencar-gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim
Indonesia kini dapat melihat, bagaimana destruktif dan jahatnya paham
ini.

Ketika Lia Eden ditangkap, kaum liberal berteriak memprotes. Ketika
Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh MUI, maka mereka pun
berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul dikecam, mereka
pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral dan
sebagainya.

Ketika film Buruan Cium Gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga
membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut
mereka, kebebasan harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP,
sikap dan posisi kaum liberal pun tampak jelas, di barisan mana mereka
berdiri; di barisan al-haq atau al-bathil.

Kita sesungguhnya perlu mengasihani pada cara berpikir kaum liberal ini.
Apalagi yang sudah tua dan 'sakit-sakitan', seperti Goenawan Mohammad.
Bangga dengan julukannya sebagai budayawan, dia menulis satu artikel di
Koran Tempo berjudul `RUU Porno: Arab atau Indonesia'.

Dia menganggap bahwa RUU APP ini akan merupakan bentuk adopsi
nilai-nilai dunia Arab, dan jika RUU ini disahkan, maka akan berdampak
pada kekeringan kreativitas pada dunia seni dan budaya.

Nama Mohammad yang ditempelkan pada Goenawan itu saja sudah mengadopsi
nilai-nilai Arab, karena kata Mohammad bukan berasal dari bahasa Jawa.
Al-Quran dan hadits pun dalam bahasa Arab. Bahkan, Nabi Muhammad SAW
juga orang Arab. Para sahabat Nabi pun orang Arab.

Imam Syafii juga orang Arab. Apakah karena mereka orang Arab, lalu
kita tidak boleh mengikutinya?   Kaum Muslim selama ini sudah mafhum,
bahwa Islam memang agama yang diturunkan di Arab, tetapi jelas agama ini
adalah untuk memberi rahmat kepada seluruh alam.

Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus
untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Karena itulah,
orang tua Goenawan Mohammad pun bangga memberi anaknya nama `Mohammad',
yang jelas-jelas mengadopsi nilai Arab.

Jika konsisten memperjuangkan nilai lokal, nama Goenawan Mohammad
harusnya diganti dengan `Goenawan Terpuji'. Bahkan, kata `Goenawan'
itu pun bukan asli Jawa, melainkan impor dari India.

Masalahnya, bukan Arab atau non-Arab. Tetapi, Islam atau bukan. Benar
atau salah. Itulah yang seharusnya menjadi acuan berpikir bagi Goenawan.
Setiap Muslim atau yang masih mengaku Muslim, seharusnya memiliki
pandangan hidup (worldview) Islam.  Tidaklah sepatutnya jika nilai
kebenaran Islam diletakkan derajatnya di bawah unsur `kreativitas seni'.


Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi
kekacauan hidup. Siapa yang menentukan kreativitas seni itu baik atau
buruk? Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu saja tidak.

Kreativitas seni Madonna yang mempertontonkan ciuman lesbi di atas
panggung dengan Britney Spears dan Christina Aguilera, dalam pandangan
Islam, jelas sangat tidak baik, dan sangat tidak beradab, alias biadab.

Tetapi, ketika itu, pada 28 Agustus 2003, di panggung terbuka acara
penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York,
para penonton malah melakukan standing applause. Para penonton menyambut
adegan jorok itu dengan berdiri serentak dan bertepuk tangan cukup
panjang.  

Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, malah ikut bertepuk tangan
dengan wajah senang. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah
istrinya. Bagi penonton, tindakan Madonna dianggap sebagai kreativitas
seni. Entah bagaimana sikap pemuja liberalisme dan kreativitas seni
seperti Goenawan Mohammad andaikan dia hadir dalam acara itu.

Kreativitas seni memang penting, tetapi kebenaran nilai-nilai  Islam
adalah lebih penting lagi. Sudah saatnya, kaum pemuja liberalisme
seperti Goenawan Mohammad bertobat dan mengoreksi pikirannya, ngaji lagi
yang baik dan benar, sehingga tidak bangga dan takabbur dalam kesesatan
pikirannya. Ingatlah, kita semua pasti mati dan akan
mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada Allah SWT.
Kekuasaan dan kepopuleran tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu
untuk bertobat. Wallahu a'lam. (Jakarta, 10 Maret
2006/hidadayatullah.com).    

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasul kerjasama antara
Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
  





--------------------------------
* Mailing list ini merupakan forum silaturahmi dan diskusi antar
pengunjung setia situs Hidayatullah Online (www.hidayatullah.com) dan
simpatisan Hidayatullah
* PENTING: Jika ingin membalas email orang lain, harap menghapus
terlebih dulu bagian email sebelumnya yang sudah tidak diperlukan.
* Jika ingin berhenti berlangganan kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]
* Arsip diskusi ada di:
http://groups.yahoo.com/group/hidayatullahcom/messages
* Dilarang mengirim email promosi, kecuali seizin moderator. Pelanggaran
terhadap peraturan ini menyebabkan yang bersangkutan dikeluarkan dari
milis ini dan account-nya di-ban.
* Dilarang mengirim email yang mengandung fitnah, penghinaan, serta
bernada cabul.  
Yahoo! Groups Links



 





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke