ini lebih nyata aksinya dan mudah dilakukan siapa saja dari pada sekedar komentar yang sekedar mengelu-elukan hizbullah bak pahlawan pembela Islam.. sekedar mempromosikan tanpa kritis sama sekali..
________________________________ From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Haris Priyatna Sent: Thursday, August 10, 2006 3:50 PM To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: [INSISTS] Ajakan boikot Israel dari Farid Gaban Farid Gaban <wartawan senior> wrote: Ada banyak cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan kepada Amerika dan Israel. Tapi, dari banyak cara itu, boikot mungkin hanya satu-satunya cara yang paling sederhana yang bisa dilakukan semua orang, sekarang juga. Sudah beberapa pekan terakhir ini, setelah agresi brutal Israel di Gaza dan Lebanon, istri saya mengingatkan anak-anak untuk tidak lagi beli Fanta dan Coca Cola dengan uang sakunya, atau coba makan di McDonald's. "Ingat anak-anak di Palestina dan Lebanon," katanya. Saya terus terang terpengaruh dan menyetujuinya untuk mulai melakukan boikot. Saya rela untuk tidak memakai sampho atau sabun buatan perusahaan Amerika kesukaan saya. Bagaimanapun ini hanya pengorbanan yang sangat kecil. Dulu waktu kecil saya memakai merang bakar untuk membersihkan rambut, kenapa sekarang tidak bisa? Saya setuju boikot itu tidak hanya karena alasan membela Palestina dan Lebanon, tapi untuk kepentingan Indonesia sendiri juga, yakni memperkecil tingkat konsumsi dan ketergantungan negeri ini terhadap barang asing, termasuk barang-barang yang bahkan sebenarnya tidak perlu. Dan bagi kocek keluarga, ini juga cara berhemat yang efektif. Meski tidak terlalu sering ke Starbuck', kini saya akan berhenti minum di situ. Saya akan memperbanyak minum kopi dan makan di Warung Teteh, warung masakan Sunda depan kantor Pena. Saya tidak akan mengisi bensin sepeda motor saya di pompa bensin milik Shell. Memilih Pertamina atau Petronas saja. Saya agak heran bahwa Ketua NU Hasyim Muzadi dan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz justru menghimbau agar warga Muslim tidak melakukan boikot, karena boikot, katanya, hanya akan merugikan Indonesia. Boikot ekonomi itu akan memiliki dampak bagi ekonomi Indonesia sendiri, terutama jangka pendek. Tidak perlu dipertanyakan. Tapi, dampaknya sangat kecil jika kita mengalihkan konsumsi ke barang-barang sederhana yang diproduksi orang Indonesia sendiri. Justru akan menggerakkan sektor riil seperti Warung Teteh. Dalam jangka lebih panjang, jika dibarengi dengan semangat kemandirian, ini akan jauh menguntungkan. Kita justru akan memperkecil devisa yang lari ke luar negeri. Saya tahu Bambang Rahmadi, seorang muslim, akan rugi jika kita boikot McDonald's, tapi mudah-mudahan tanpa harus diboikot dia mulai melepas lisensi dan beralih pada jaringan restoran lokal bikinan sendiri. Banyak karyawan muslim juga akan menganggur. Ini bagian dari pengorbanan. Jika semua masjid mengabarkan berhenti membeli di McDonald's dan beralih ke restoran lokal, maka dampaknya pada pengangguran mungkin bisa dikurangi. Ingat swadesi-nya Mahatma Gandhi 'kan? Meski sekarang zaman globalisasi, saya tidak menganggap idenya telah usang dan tidak bisa diterapkan sekarang. Ajaran Gandhi adalah ajaran radikal yang damai dan sederhana. Dan di situlah justru letak keindahannya. Setiap orang, kaya atau miskin, JIKA MAU, bisa melakukannya.Masalahnya hanyalah JIKA MAU, tidak lebih kompleks dari itu. Dan ini tidak perlu aturan. Yang perlu adalah KESADARAN dan MOTIF KUAT kenapa kita melakukan seperti yang Gandhi lakukan. Mungkin saya tidak bisa seperti Mahatma Gandhi, yang menenun baju sendiri dan hanya berpakaian ala baju ihram itu, ketika dia melawan kolonialisme dan kebrutalan Inggris di India. Tapi saya akan memulainya. Bagaimanapun kita bisa mulai dari hal-hal sederhana, hal-hal kongkret yang bisa dilakukan ketimbang hanya bicara dan berdiskusi. Saya tahu, dalam situasi sekarang jelas sangat sulit untuk menunjuk satu benda yang murni Amerika atau Israel. Tapi, boikot dengan tujuan politik memang tidak perlu konsisten (harus semua produk, dan harus benar-benar jelas). Tujuannya adalah tekanan ekonomi-politik. Sisanya adalah simbol perlawanan, yang juga penting. Sebagai awal, saya akan memilih boikot produk konsumsi, bukan barang produksi, seperti komputer. Bukan pula barang intelektual/seni/budaya seperti buku, VCD, film dan sejenisnya. Saya juga akan memilih boikot barang-barang yang ada substitusinya di sini. Dan mudah-mudahan pula kita akan makin bersemangat mencari substitusi dari produk imporan, yang sebanarnya ada banyak meski tidak semua barang ada buatan Indonesia. Mungkin boikot itu tidak ada artinya, dan mungkin tidak ada pengaruhnya. Tapi, sekali lagi, ini hanya satu-satunya cara yang kongkret bisa dilakukan setiap orang. Saya teringat Mahatma Gandhi yang tidak banyak pretensi itu justru menjadikan dirinya senjata paling digdaya, lebih dari cendekiawan dan politisi kaya, baik Muslim maupun Hindu, dalam perlawanan menentang kebrutalan kolonialisme Inggris. Ketimbang hanya diskusi, kita perlu bertindak kongkret. Mungkin tidak efektif, namun jika dijalankan secara lebih massif dan bertahan lama, mungkin di tengah jalan kita akan menemukan cara yang lebih efektif untuk menekan Amerika dan Israel. Saya akan mulai.... dari diri sendiri. Mungkin tidak konsisten benar... mungkin tidak semua jenis barang... Oke saja, saya akan memaafkan diri, untuk sementara, ketidakberdayaan saya melakukan bahkan hal yang sangat sepele: berhenti mengkonsumsi barang Amerika. Yang penting mulai melakukan, bukan hanya berpikir dan berdiskusi. Saya juga melihat gejala yang sama: aksi boikot berkali-kali muncul tanpa memberi dampak. Tapi, mungkin lebih bagus jika kita memilih untuk bersikap produktif bagaimana membantu secara kongkret agar itu lebih efektif, bukan mencibir... "ah...paling cuma segitu...." Very discouraging.... Ini sebenarnya tidak hanya berlaku untuk simpati kita pada Palestina atau Lebanon. Salah satu krisis terbesar negeri ini, menurut saya, justru karena kita terlalu banyak bicara, tapi tergagap ketika harus melakukan sesuatu yang kongkret, apalagi secara kolektif. Beberapa orang menganggap tindakan kongkret kecil-kecilan terlalu sepele, mereka ogah melakukannya, atau mencibir orang yang melakukannya. (Paling cuma segitu....). Hal-hal besar disusun dari hal-hal kecil. Dalam hidup sehari-hari saya lebih suka "menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan". Dan kadang menyalakan lilin secara harafiah.... Masih ingat 'kan ketika saya melakukan demo di Bunderan HI untuk perdamaian di Aceh? Dalam satu pekan bahkan saya hanya sendirian membawa poster di situ. Saya tahu orang lain menganggap itu sepele dan mungkin mencibir saya sebagai gila. Tidak masalah... Pada kenyataannya saya sendiri memang menganggap itu hanya pengorbanan kecil saja. Itu mungkin lebih tepat menunjukkan betapa frustrasi saya, muncul dari rasa ketidakberdayaan. Dalam situasi seperti itu, saya menganggap berarti bahkan langkah yang paling sepele.... (saya membayangkan apa yang dilakukan Gandhi pun pernah dicibir sebagai sepele). Jika Anda setuju pesannya, saya mengajak Anda juga bisa membantu aksi ini boikot lebih efektif. salam, farid gaban [EMAIL PROTECTED] <mailto:haris%40mizan.com> harispriyatna.multiply.com http://hatigablas.blogspot.com/ <http://hatigablas.blogspot.com/> . <http://geo.yahoo.com/serv?s=97359714&grpId=9543180&grpspId=1600076179&m sgId=5364&stime=1155200564&nc1=3858804&nc2=3848568&nc3=3858793> [Non-text portions of this message have been removed] Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/