WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU

766. Seks Bebas, Kondom dan HIV/AIDS

Hasil survei yang dilakukan oleh Annisa Fondation baru-baru ini cukup 
mengejutkan karena 42,3 persen pelajar perempuan telah melakukan hubungan seks 
pra-nikah. Siaran pers Annisa Foundation, sebuah lembaga independen yang 
bergerak dibidang kemanusian dan kesejahteraan gender, menerangkan sebanyak 
42,3 persen pelajar di Cianjur sudah hilang keperawanannya saat duduk di bangku 
sekolah. Yang lebih memprihatinkan, di antara responden mengaku melakukan 
hubungan seks tanpa ada paksaan atau atas dasar suka sama suka karena 
kebutuhan. Beberapa responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari 
satu pasangan dan tidak bersifat komersil. Direktur Annisa Foundation, Laila 
Sukmadevi, dalam siaran pers itu mengatakan, penelitian dilakukan selama enam 
bulan mulai Juli hingga Desember 2006 dengan melibatkan sekitar 412 responden 
yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri maupun swasta di Cianjur dan Cipanas. 
Disebutkan Laila, berdasarkan hasil survei, total responden yang belum pernah 
melakukan kegiatan seks berpasangan hanya 18,3 persen. Sedangkan lebih dari 60 
persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Dari jumlah itu 12 persen 
menggunakan metode coitus interuptus (meludah keluar jendela) dan selebihnya 
pilih alat kontrasepsi, yaitu kondom yang dijual bebas di pasaran.

Seks pra-nikah adalah gaya pelembut (euphemism) dari seks bebas. Sebenarnya ada 
hal yang pantas dilembutkan, namun ada pula yang tidak pantas, termasuk di 
antaranya seks bebas itu. Juga seperti misalnya PSK pekerja seks komersiel 
untuk pelacur serta kata-kata lainnya yang menunjukkan perbuatan ataupun status 
yang hina lainnya. Biarkanlah semua kata-kata yang menunjukkan kehinaan itu 
tidak dilembutkan. Gaya lembut jangan dibiarkan iiberal, semua ada batasnya. 
Demikianlah sekarang ini masyarakat digiring ke arah rasa bahasa bernuansa 
tidak enak mengenai kata "keras", bahwa keras itu tidak baik, sehingga 
kata-kata itu perlu dilembutkan, sebab keras itu tidak baik. Tidak boleh 
menghukum anak dengan pukulan, karena itu keras, itu tidak baik. Dalam hal ilmu 
logam keras itu baik. Dalam Syari'at kita disuruh menghukum dengan pukulan jika 
anak kita sudah berumur sepuluh tahun malas shalat. Pukulan mendidik menurut 
Syari'at itu jangan disamakan dengan menganiaya. Pukulan mendidik menurut 
Syari'at itu terasa sakit tetapi tidak berbahaya, seperti misalnya telapak 
tangan, betis, dipukul pakai mistar, atau daun telinga dipiting bagian atasnya, 
jangan bagian bawah. Pukulan yang tidak menurut Syari'at adalah pukulan yang 
menganiaya yang menyebabkan anak cedera, dan itu bisa ditangkap dengan tuduhan 
melanggar Undang-Undang Perlindungan Terhadap Anak. Lihatlah akibatnya metode 
pendidikan yang menganggap menghukum dengan pukulan itu tidak baik, karena itu 
keras, lalu apa hasilnya? Anak-anak menjadi liberal, kurang ajar terhadap orang 
tua dan gurunya, bahkan perilaku yang liberal berupa bernakoba dan berseks 
bebas yang semakin buas di negeri ini, seperti dijelaskan di atas.

Hasil pendidikan bergaya lembut yang menghasilkan perilaku liberal itu ibarat 
tanaman yang diberi pupuk berupa bacaan sampah pornografi dan tayangan erotis 
pornoaksi yang menimbulkan hasrat nafsu hewani, serta disiram air berupa kondom 
yang menimbulkan rasa aman dan berani untuk berbuat hina berseks bebas, 
ditambah pula lagi dengan pendidikan seks yang menyebabkan para ABG itu tergiur 
untuk mencobanya, melupakan bahaya yang timbul akibat berseks bebas itu. Tujuan 
pendidikan seks itu maksudnya baik, tetapi tidaklah semua maksud baik itu akan 
membawa kebaikan pula bagi ABG, yang dalam masa panca roba, masih bergolak 
dorongan ingin mencoba, risikonya itu perkara belakangan. 

Seks bebas dan narkoba adalah dua sejoli dalam menyebarkan HIV. Mengapa? Karena 
baik seks bebas maupun narkoba masing-masing pakai mekanisme jarum suntik. Pada 
seks bebas jarum suntiknya tumpul sedangkan pada narkoba ada yang pakai jarum 
suntik yang runcing. Namun ada bedanya, yaitu jarum suntik yang tumpul 
"katanya" ada alat proteksi yang disebut kondom, sedangkan jarum suntik yang 
runcing tidak ada proteksinya. Saya beri tanda kutip "katanya" karena kondom 
itu tidak menjamin sebagai alat proteksi terhadap HIV. Mengapa? 
-- Pertama, many visitors to a sexual health clinic report usage of condoms, 
which appears to lead to a statistically significant increase risk of gonorrhea 
among men, according to the results of a new study. More than 15 percent of 
study participants had been diagnosed with either gonorrhea or chlamydia, some 
both. [sumber: http://www.msnbc.msn.com/id/8974735]. Kalau kondom bisa jebol 
oleh kuman gonorrhea, maka apa susahnya bagi virus yang ukurannya jauh lebih 
kecil dari kuman, untuk menjebol. 
-- Kedua, ini lebih meyakinkan lagi tidak amannya proteksi berkondom dilihat 
dari segi teknologi kondom yang terbuat dari karet lateks, di mana pori-pori 
karet lateks itu berdiameter 0,003mm, sedangkan ukuran virus jenis HIV 
diameternya 0,000001mm. Perbandingan keduanya adalah seperti pintu gerbang yang 
besar dengan seekor tikus. Logikanya "tikus" dengan sangat mudah bisa 
mondar-mandir di pintu gerbang yang sangat besar itu tanpa halangan sedikitpun.
 
Alhasil, kondom tidaklah aman sebagai alat proteksi. Bangsa ini sudah babak 
belur dengan citra negara terkorup no 2. Dan itu semua di alamatkan kepada 
ummat Islam, karena ummat Islam yang mayoritas di negara ini. Lalu apa jadinya 
bangsa ini jika kemudian menjadi negara seks bebas no 2 juga di dunia? Tidak! 
Pertumbuhan populasi peseks bebas harus diredam. Sekurang-kurangnya grafik 
pertumbuhan yang menanjak harus dipatahkan dengan filosofi: kejahatan terjadi 
karena bertemunya niat dan kesempatan, bertemu ruas dengan buku. Jadi solusinya 
ialah: memperbaiki niat dan membuat mekanisme penghalang kesempatan.

Memperbaiki niat dengan Firman Allah:  
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAhSyt WSAa SBYLA (S. BNY ASRAaYL, 17:32), dubaca: 
-- wala- taqrabuz zina- innahu- ka-na fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya:
--  Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu keji dan jalan yang 
amat jahat.
Dan membuat mekanisme penghalang kesempatan, yaitu Undang-Undang Anti 
Pornografi dan Pornoaksi dengan sanksi yang keras harus cepat-cepat disahkan. 
WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 Februari 2007


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke