Sholat Ied Dua Kali
Seri ke-337, Jum'at, 8 November 2002
http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/337.shtml
--------------------------------------------------------------------------------


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saat ini saya dipercaya untuk menjadi panitia Iedul Fitri dan Zakat 2002.
Saya dapat informasi dari Teman yang aktif di Muhammadyah, bahwa
Muhammadyah sudah menetapkan bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 5 Desember
(29 hari bulan Hijrian) maju 1 hari dari kalender Nasional. Kami/ Panitia
sudah memutuskan apabila terjadi perbedaan, Yang kami ikuti adalah
Pemerintah.

Yang saya tanyakan:

Bisa atau tidak apabila Secara pribadi sudah melaksanakan Sholat di hari
Raya mengikuti Muhammadyah lalu memimpin sholat atau ikut sholat pada
lebaran yang ditetapkan pemerintah. hukumnya apa ikut atau memimpin atau
khotbah di Dua Perayaan yang berbeda.
Mengenai Zakat bagaimana pengaturan pendistribusiannya.
Masalah lain

Saya pernah dengar ceramah (maaf saya sendiri belum mencari haditsnya)
istri itu sunahnya kalau sholat harus dirumah. Pertanyaan saya, bisa atau
tidak kita sholat di dua tempat satu di masjid satu di rumah mengimami
istri untuk sholat. Hukumnya apa?

Didi S.


Jawaban:

Assalamu'alaikum wr. wb.

Fenomena shalat ied dua kali dalam satu negara, karena perbedaan pendapat
dalam menentukan tanggal 1 Syawwal, akhir-akhir ini muncul di beberapa
negara Islam. Tidak hanya di Indonesia, di Pakistan juga demikian.
Mudah-mudahan ini tidak sampai menimbulkan perpecahan antar umat Islam.
Mudah-mudahan perbedaan seperti itu bisa dijadikan penggugah kesadaran umat
Islam bahwa mereka memang terkadang berbeda dalam masalah furu'iyah, atau
amalan ibadah , namun hati mereka tetap satu, tidak pernah berbeda.

Secara hukum fiqh, hari raya yang benar adalah yang diumumkan oleh
pemerintah, sesuai hadist A'isyah bahwa Rasulullah bersabda "Hari raya Idul
Fitri kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Fitri, hari Idul Adha
kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Adha dan hari Arafat kalian
adalah dimana mereka semua melaksanakan wukuf" (H.R. Tirmidzi).

Para Fuqaha juga sepakat mengatakan bahwa apabila ada satu atau dua orang
melihat hilal, sehingga belum kuat untuk dijadikan landasan bagi pemerintah
untuk menentukan hari ied, ia wajib berbuka puasa sendiri dan mengikuti
shalat Ied besoknya bersama masyarakat.

Namun kalau kita mengatakan bahwa saudara-saudara kita yang melaksanakan
shalat ied sebelum pemerintah tidak sah shalatnya, tentu ini juga tidak
akan membawa maslahah, selain akan memicu perpecahan juga akan membuka
prasangka buruk antar sesama muslim, toh mereka yang melaksanakan shalat
Ied lebih dulu mempunyai alasan dan dalil yang cukup kuat.

Bagi orang awam, tentu tidak ada masalah, sebab mereka hanya melaksanakan
shalat ied sekali itu saja, sesuai yang mereka ikuti. Bagaimana dengan Pak
Imam yang terkadang harus mengimami dua masjid yang berbeda waktu
pelaksanaan Ied-nya, seperti kasus yang saudara kemukakan?

Kalau kita kaji secara fiqh, permasalahannya kembali pada masalah apakah
boleh seseorang melaksanakan satu shalat sunnah dua kali, padahal
seharusnya dilaksanakan sekali? Kalau itu shalat witir, jelas ada nash
hadist yang mengatakan "Tidak ada dua witir dalam satu malam" (Tirmidzi
diperkuat oleh Bukhari). Namun bila itu shalat Ied, tidak ada nash yang
menyinggungnya. Di sini kita bisa mengambil kaidah fiqh yang cukup populer
bahwa "al-Aslu fil ibadah al-Hurmah maalam yarid daliilun 'ala
masyru'iyatih" (pada dasarnya ibadah yang tidak ada dalilnya adalah haram).
Melihat pertimbangan ini, jelas shalat Ied pak Imam yang sah adalah yang
waktunya sesuai dengan Ied resmi pemerintah. Adapun shalatnya yang kedua,
belum jelas hukumnya. Bisa saja kita katakan sah, dengan alasan maslahah,
namun ini belum jelas ukurannya.

Melihat dari beberapa pertimbangan tersebut, saya melihat, bahwa imam yang
dimintai menjadi khatib atau imam di dua masjid yang berbeda waktu shalat
iednya, sebaiknya ia menjadi imam hanya pada masjid yang waktu iednya
bersamaan dengan waktu resmi pemerintah. Untuk masjid yang kedua, ia ikut
cukup menjadi ma'mum saja. Masalah khutbah, ia bisa menyampaikan di kedua
masjid. Alasannya adalah mengambil yang lebih maslahah dari beberapa
kemungkinan di atas. Untuk menjadi imam tentu banyak yang berkemampuan,
tidak halnya menjadi khatib yang memerlukan kemampuan khusus. Wallahu a'la
bissowab.

Masalah pendistribusian zakat diberikan kepada penerima zakat sesuai dengan
ketentuan ayat surah Taubah:60 yaitu sebagai berikut:

Fakir, yaitu mereka yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, untuk
mencukupi kebutuhan sehari-harinya
Miskin, yaitu mereka yang mempunyai harta dan pekerjaan, namun tidak
mencukupi kebutuhan primer mereka,
Amil Zakat, mereka yang mengumpulkan dan mendestribusikan zakat,
Muallaf, mereka yang baru masuk Islam,
Hamba Sahaya yang diberi kesempatan oleh majikannya untuk membeli dirinya,
Mereka yang terjerat hutang,
Sabilillah, untuk mujahidin di jalan Allah,
Ibnu Sabil, mereka yang kehabisan bekal dalam perjalanan di jalan Allah,
Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan menjelang di akhir bulan
Ramadhan. Hukumnya wajib. Karena zakat fitrah termasuk zakat wajib, maka
penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat harta.

Sedangkan orang-orang yang dianjurkan untuk diberi sedekah adalah:
Kerabat
Tetangga
Fakir Miskin
Orang-orang soleh
Sedekah boleh diberikan kepada orang berkecukupan dan orang fasiq demi
untuk tujuan baik.

Zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang nafkahnya menjadi tanggungan
pemberi zakat, seperti anak dan keturunanya, orang tua dan isteri, karena
ini tidak bisa merealisasikan maksud pemberian zakat dalam arti
sesungguhnya. Zakat diberikan kepada orang yang memerlukan, sedangkan
mereka itu tidak termasuk orang yang memerlukan, karena masih ada yang
memberinya nafkah, yaitu pemberi zakat.

Namun para ulama berpendapat, boleh memberikan zakat kepada orang yang
menjadi tanggungan tersebut, apabila ia termasuk golongan orang yang
terjerat hutang atau anggota pasukan yang berjihad di jalan Allah. Artinya
mereka menerima zakat atas nama kelompok ini, bukan atas nama fakir miskin.


Masalah kedua:
Memang ada hadist yang mengatakan bahwa "Shalat perempuan di rumahnya lebih
baik dari shalat selainnya" (ABu Dawud dll), namun khusus pada waktu shalat
Ied, Rasulullah memerintahkan wanita-wanita tua, mereka yang sedang haid,
dan gadis-gadis agar keluar pada waktu Ied, mereka yang sedang haid tidak
ikut shalat, namun mereka semua menyaksikan kebaikan dan do'a umat Islam"
(H.R. Tirmidzi dll dari Umi Atiyah). Ini menunjukkan, sebaiknya kaum wanita
juga ikut memeriahkan shalat Idul Fitri.

Bolehkah Shalat Ied sendiri?

Ulama Maliki dan Hanafi mengatakan barang siapa ketinggalan shalat Ied
bersama imam, ia tidak boleh melakukannya sendiri, karena shalat sunnah
tidak boleh di-qadla. Shalat ied juga tidak boleh dilakukan sendiri tanpa
berjamaah bersama imam di masjid jami'

Ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh mendirikan shalat ied sendiri
dan boleh meng-qadlanya bila ketinggalan berjamaah.


Wassalam

Muhammad Niam




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke