TENTANG TERCELANYA SIKAP EKSTRIM DI DALAM PENGKAFIRAN
  DAN DAMPAK NEGATIFNYA
   
   
  Oleh :
   
  Al-Allamah al-Imam asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz
   
   
  Penyusun dan Komentar :
   
  Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid al-Halaby al-Atsary
   
   
   
   
   
  Kata Pengantar
  (Syaikh Ali Hasan al-Halaby)
   
   
   
  Segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta. Sholawat dan Salam 
semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan yang paling mulia, keluarga beliau 
dan seluruh sahabatnya. Dan tidaklah ada permusuhan melainkan terhadap 
orang-orang yang zhalim.
   
   
   
  Amma Ba’du : Inilah penjelasan ilmiah yang mendalam, yang di dalamnya berisi 
penelitian dan pembahasan yang cermat, yang menetapkan suatu permasalahan yang 
paling urgen, yang akan memberikan faidah bagi seluruh umat dan menangkis 
fitnah yang membutakan.
   
   
   
  Saya (Syaikh Ali, red.) memandang harus menyebarkan penjelasan ini dan 
memandang sangat urgen sekali menyebarkannya, sebagai nasehat dan amanat, 
dengan dua alasan :
   
   
   
  Pertama, Mayoritas manusia tidak mengetahui dan memahami hal ini. Bahkan 
orang yang tahu pun tidak mau menyebarkannya[1] dan tidak mau menunjukkannya, 
kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh.
   
   
   
  Kedua, Bahwasanya di dalam penjelasan ini, terdapat penyingkapan keadaan 
sebagian manusia yang ghuluw (ekstrim) dan berlebih-lebihan. Yang mana mereka 
berbuat kejelekan dikarenakan kebodohannya terhadap agama dan mereka 
membinasakan mayoritas kaum muslimin dengan penyimpangan-penyimpangan mereka.
   
   
   
  Adapun Islam itu -walhamdulillah- adalah tinggi dan mulia. Islam lebih dapat 
memberikan dan mengarahkan kepada kebenaran. Hanya kepada Allohlah saya meminta 
agar penjelasan ini[2] dapat memberikan manfaat kepada khayalak umum (umat) dan 
khusus (ahli ilmi), dan Dia-lah Alloh SWT yang berfirman : 
   
   
   
  “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa 
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat 
keras siksaan-Nya” (Al-Anfal : 25)
   
   
   
  Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara 
alam semesta.
   
   
   
   
   
  Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Senior)[3]
   
   
  Segala puji hanyalah milik Alloh, Sholawat dan Salam semoga senantiasa 
tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga beliau sahabat beliau dan siapa saja 
yang berpetunjuk dengan petunjuk beliau.
   
   
   
  Amma Ba’du : Majelis Ha`iah Kibaril Ulama telah mempelajari di dalam 
daurohnya yang ke-49 yang bertempat di Tha’if, yang dimulai dari tanggal 
2/4/1419[4], mengenai apa yang telah terjadi di banyak negara-negara Islam dan 
selainnya, dari aktivitas takfir (pengkafiran) dan tafjir (perusakan) serta apa 
yang berkembang darinya seperti tertumpahnya darah dan hancurnya gedung-gedung.
   
   
   
  Melihat bahayanya perkara ini dan dampak yang ditimbulkannya, seperti 
lenyapnya nyawa orang-orang yang tidak bersalah, hilangnya harta-harta yang 
terjaga, ketakutan manusia dan terguncangnya stabilitas keamanan, maka majelis 
memandang perlunya mengeluarkan penjelasan yang menerangkan hukum dari 
aktivitas-aktivitas ini, dalam rangka menegakkan nasehat bagi Alloh dan 
hamba-hamba-Nya, memelihara kehormatan dan mengeliminir kerancuan pemahaman 
orang-orang yang tersamar atasnya hukum perkara ini.
   
   
   
  Maka, kami katakan –dengan (mengharap) taufiq dari Alloh- :
   
   
   
  Pertama, Takfir merupakan hukum syar’i yang tempat kembalinya adalah Alloh 
dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlil (penghalalan), tahrim (pengharaman) dan iijab 
(pewajiban), kembalinya adalah kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka demikian pula 
dengan takfir.
   
   
   
  Tidaklah setiap ucapan dan amalan yang disifatkan dengan kekufuran, maka 
dengan serta merta menjadikan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama.[5] Oleh 
karena tempat kembalinya hukum takfir adalah kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka 
tidaklah boleh kita mengkafirkan kecuali dengan apa yang ditunjukkan oleh 
al-Qur’an dan as-Sunnah akan kekufurannya dengan penunjukkan yang jelas. 
Tidaklah cukup di dalam menvonis kafir hanya dengan syubhat (kesamar-samaran) 
dan dugaan semata, yang nantinya akan berkonsekuensi pada hukum-hukum yang 
riskan.
   
   
   
  Apabila hudud saja ditolak karena syubhat, yang mana dampak dari hal ini 
lebih minim jika dibandingkan dengan dampak dari takfir, maka tentunya takfir 
lebih utama untuk ditolak karena syubhat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 
‘alahi wa Salam memperingatkan dari menvonis seseorang sebagai kafir yang pada 
kenyataannya tidak kafir, beliau bersabda :
   
   
   
  “Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya : wahai kafir, maka akan 
kembali (vonis) ini pada salah satu dari keduanya. Apabila ia memang kafir, 
maka apa yang dikatakannya benar, namun apabila tidak kafir, maka vonis itu 
akan kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar).
   
   
   
  Terkadang terdapat ayat di dalam al-Qur’an atau Sunnah yang difahami darinya 
bahwa suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan adalah kufur, namun tidaklah 
dikafirkan orang yang disifatkan dengannya karena adanya penghalang yang 
menghalangi dari kekafiran.
  
   
   
   
  Dan hukum ini, sebagaimana hukum-hukum lainnya, tidak bisa sempurna melainkan 
dengan adanya sebab-sebab dan syarat-syaratnya[6] serta hilangnya 
penghalang-penghalangnya. Sebagaimana hukum warisan, sebabnya adalah hubungan 
kekerabatan. Namun terkadang pewarisan itu tidak ada walau memiliki sebab 
hubungan kekerabatan, dikarenakan adanya penghalang seperti perbedaan agama 
misalnya. Demikian pula dengan kekufuran, dimana seorang mukmin yang terpaksa 
tidaklah dikafirkan.
   
   
   
  Kadang-kadang, seorang muslim mengucapkan sebuah ucapan kufur dikarenakan 
terlalu bergembira, marah, atau yang semisalnya. Maka ia tidaklah kafir 
dikarenakan ketiadaan maksud padanya. Sebagaimana di dalam kisah ada seorang 
yang berkata :
   
   
   
  “Ya Alloh, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”. Ia keliru karena 
terlalu bergembira[7] (HR Muslim dari Anas bin Malik).
   
   
   
  Gegabah di dalam masalah takfir akan membawa dampak kepada perkara yang 
krusial, seperti halalnya darah dan harta, terhalangnya pewarisan, batalnya 
pernikahan dan hukum lainnya yang sama dengan hukum murtad.
   
   
   
  Lantas, bagaimana bisa hal ini dibenarkan bagi seorang mukmin untuk berani 
berbuat ini karena serendah-serendahnya syubhat?!
   
   
   
  Apabila perkaranya ditujukan kepada pemerintah[8], maka ini lebih berbahaya 
lagi. Yang mana dapat menyebabkan mereka semakin sewenang-wenang terhadap umat, 
terhunusnya pedang, tersebarnya kekacauan, tertumpahnya darah dan rusaknya 
ummat dan negeri.
   
   
   
  Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam melarang menentang mereka. 
Beliau bersabda : 
   
  “kecuali sampai kalian melihat  kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki 
burhan (keterangan yang nyata) dari Alloh.” (Muttafaq ‘alaih dari ‘Ubadah).
   
   
   
  v                      Sabda beliau : “kecuali sampai kalian melihat…”, 
berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berdasarkan dugaan dan desas-desus 
belaka.
   
   
   
  v                      Sabda beliau : “kekufuran”, berfaidah bahwasanya tidak 
cukup hanya kefasikan walaupun besar, seperti berbuat aniaya, minum khomr, 
bermain judi dan lebih condong kepada perkara yang haram.
   
   
   
  v                      Sabda beliau : “nyata”, berfaidah bahwasanya tidak 
cukup hanya berupa kekufuran yang tidak nyata, yaitu yang tidak terang dan 
tampak.
   
   
   
  v                      Sabda beliau : “dan kalian memiliki burhan dari 
Alloh”, berfaidah bahwasanya haruslah dari dalil yang terang, baik dari segi 
tsubut (periwayatannya) yang shohih dan penunjukannya yang shorih (terang). 
Tidaklah cukup dalil yang dha’if sanadnya dan samar penunjukannya.
   
   
   
  v                      Sabda beliau : “dari Alloh”, berfaidah bahwasanya 
tidak ada gunanya ucapan salah seorang ulama walau setinggi apapun kedudukannya 
di dalam ilmu dan amanah, apabila ucapannya tidak ditopang dengan dalil yang 
shorih lagi shohih dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alahi Wa 
Salam.
   
   
   
  Dan syarat-syarat ini menunjukkan atas riskannya perkara ini.
   
  Intinya adalah, tergesa-gesa/gegabah di dalam takfir memiliki bahaya yang 
sangat riskan, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla : 
   
   
   
  “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang 
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia 
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu 
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan 
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raaf : 33).
   
   
   
  Kedua : Apa yang berangkat dari keyakinan yang salah ini, berupa penghalalan 
darah, pelanggaran kehormatan, perampasan harta baik individu maupun 
masyarakat, perusakan pemukiman dan sarana transportasi serta penghancuran 
gedung-gedung bangunan.
   
   
   
  Aktivitas-aktivitas ini dan semisalnya, adalah diharamkan secara syariat 
dengan kensensus kaum muslimin. Karena di dalamnya terdapat pelanggaran 
terhadap kehormatan jiwa manusia yang terpelihara, pelanggaran terhadap harta, 
terguncangnya stabilitas keamanan dan kehidupan ummat yang aman tenteram di 
dalam rumah-rumah dan kantor-kantor mereka, pada pagi maupun sore hari, serta 
pelanggaran terhadap kemaslahatan umum yang menyebabkan manusia tidak tenang 
dengan kehidupannya.
   
   
   
  Islam telah menjaga harta, kehormatan dan raga kaum muslimin. Maka haram 
melanggarnya dan bersikap keras/ekstrim padanya. Dan termasuk apa yang 
disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam pada akhir ucapannya kepada 
umatnya di saat haji wada’ adalah :
   
   
   
  “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian 
sebagaimana haramnya hari, bulan dan negeri kalian ini.”
   
   
   
  Kemudian Nabi melanjutkan : 
   
   
   
  ”Sungguh, tidakkah telah kusampaikan?! Ya Alloh persaksikanlah!!” (Muttafaq 
‘alaihi dari Abi Bakrah).
   
   
   
  Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
   
   
   
  “Setiap muslim terhadap muslim lainnya, haram darah, harta dan 
kehormatannya.” (HR Muslim dari Abi Hurairoh).
   
   
   
  Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda : 
   
   
   
  “Waspadalah kalian dari kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu adalah 
kegelapan pada hari kiamat.” (HR Muslim dari Jabir).
   
   
   
  Alloh telah menjanjikan sanksi bagi orang yang membunuh jiwa yang terlarang 
dengan sanksi yang pedih. Alloh SWT berfirman tentang hak seorang muslim : 
   
   
   
  “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya 
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan 
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisa’ : 93).
   
   
   
  Alloh berfirman tentang hak seorang kafir yang dilindungi (Ahlu Dzimmah) 
tentang hukum bagi orang yang membunuhnya tanpa sengaja : 
   
   
   
  “Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara 
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan 
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” 
(An-Nisa’ : 92). 
   
   
   
  Apabila orang kafir yang mendapatkan keamanan jika dibunuh secara tidak 
sengaja saja memiliki diyat (denda) dan kaffarat, lantas bagaimana dengan yang 
membunuhnya dengan sengaja?! Sesungguhnya kejahatannya semakin dahsyat dan 
dosanya semakin besar. Telah shohih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam 
bahwasanya beliau bersabda : 
   
   
   
  “Barangsiapa yang membunuh Mu’ahid (kafir yang memiliki perjanjian dengan 
kaum muslimin), tidak akan mencium aroma surga.” (Muttafaq ‘alaihi dari 
Abdillah bin ‘Amr).
   
   
   
  Ketiga : Sesungguhnya majelis, ketika menerangkan hukum takfir kepada manusia 
tanpa didasari burhan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi 
Wa Salam, dan bahaya mengimplementasikannya secara mutlak, yang membawa dampak 
buruk dan dosa, maka majelis mengumumkan kepada seluruh dunia : bahwasanya 
Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini, dan bahwasanya apa yang 
terjadi di sebagian negeri berupa tertumpahnya darah orang yang tidak bersalah, 
hancurnya rumah-rumah, kendaraan-kendaraan dan fasilitas umum maupun khusus, 
serta hancurnya gedung-gedung bangunan, maka ini semua termasuk tindakan 
kriminalitas dan Islam berlepas diri darinya.
   
   
   
  Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan hari akhir berlepas 
diri darinya. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini merupakan perbuatan dari 
orang-orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan aqidah yang sesat, dan dia 
menanggung dosa dari kejahatannya sendiri. Maka tidak boleh dianggap 
aktivitasnya kepada Islam dan tidak pula kepada  kaum muslimin yang berpetunjuk 
dengan petunjuk Islam, yang berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah 
Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, serta berpegang teguh dengan tali Alloh yang 
kokoh. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini murni merupakan tindakan 
kriminalitas dan kejahatan yang dibenci oleh syariat dan fithrah. Oleh karena 
itu datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan dari 
berkumpul dengan pelakunya.
   
   
   
  Alloh Ta’ala berfirman :
   
   
   
  “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia 
menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, 
padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari 
kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak 
tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan 
apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah 
kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) 
neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang 
seburuk-buruknya.” (QS Al-Baqoroh : 204-206)
   
   
   
  Wajib atas seluruh kaum muslimin di manapun berada untuk saling berwasiat di 
dalam kebenaran, saling menasehati dan tolong menolong di dalam kebajikan dan 
ketakwaan, beramar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang hikmah dan nasehat yang 
baik, serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Alloh 
SWT : 
   
   
   
  “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan 
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2)
   
   
   
  Dan firman-Nya Subhanahu : 
   
   
   
  “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka 
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh 
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, 
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan 
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 
(At-Taubah : 71).
   
   
   
  Firman-Nya Azza wa Jalla : 
   
   
   
  “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali 
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati 
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” 
(Al-Ashr)
   
   
   
  Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda : 
   
   
   
  “Agama itu nasehat (3x)”,
   
   
   
  seorang sahabat bertanya : “kepada siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah 
menjawab :
   
   
   
  “Kepada Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan 
masyarakatnya.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari, dan Bukhari memu’allaqkannya 
tanpa menyebutkan sahabat.)
   
   
   
  Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda : 
   
   
   
  “Perumpaan kaum muslimin dalam kasih sayang, cinta dan lemah lembut bagaikan 
satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengeluh maka akan memanggil seluruh 
tubuhnya hingga turut terjaga dan merasakan demam.” (Muttafaq ‘alaihi dari 
an-Nu’man bin Basyir).
   
   
   
  Ayat-ayat dan hadits yang semakna dengan hal ini banyak sekali.
   
   
   
  Kami memohon kepada Alloh SWT dengan nama-nama-Nya yang indah dan 
sifat-sifat-Nya yang tinggi agar menghilangkan bencana bagi seluruh kaum 
muslimin dan agar memberikan taufiq kepada seluruh penguasa kaum muslimin 
terhadap kebaikan ummat dan negeri, memangkas kerusakan para perusak dan 
menolong agama-Nya dengan eksistensi mereka, serta meninggikan kalimat-Nya dan 
memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya di manapun mereka berada. Semoga 
Alloh menolong mereka di dalam kebenaran. Sesungguhnya Alloh adalah pelindung 
dan Is mampu untuk melaksanakannya. Semoga sholawat dan salam senantiasa 
tercurahkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, keluarga beliau dan 
sahabat beliau.
   
   
   
  (Dialihbahasakan oleh Abu Salma al-Atsari dari booklet yang berjudul Bayaanu 
Ha`iati Kibaaril Ulama’ fi Dzammil Ghuluwwi wat Takfiiri wa maa yansya`u ‘anhu 
min atsarin khathirin, dikeluarkan oleh Markaz Imam Albani, Yordania)
   
   
   
  HOME
   
   
  
--------------------------------------------------------------------------------
   
  [1] Karena perkaranya menurut kebanyakan dari mereka adalah dapat 
dipilah-pilah. Apabila selaras dengan hawa nafsunya maka disebarkan dan apabila 
menyelisihi hawa nafsunya maka disembunyikan dan dihilangkan!! Maka 
sesungguhnya fatwa para ulama inimenyelisihi hawa nafsu mereka, yang mana para 
ulama dengan fatwa ini -menurut mereka- adalah bodoh terhadap fiqhul waqi’ 
(realita zaman) dan rancu dengan irja’. maka demi Alloh, sesungguhnya hal ini 
adalah musibah besar dan bencana yang dahsyat.
   
  [2] Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa ilmiah terakhir dari 
Samahatis Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu kurang dari 9 bulan sebelum 
beliau wafat, yang disebarkan oleh Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 56, 
bulan Shofar 1420, langsung pasca wafatnya syaikh.
   
  [3] Saya telah memberi komentar (ta’liq) dan keterangan (syarah) pada 
penjelasan ini dengan menyandarkan kepada Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah fi Dzammi 
Murji’ah wal Irja’ (Fatwa Komite Tetap tentang Tercelanya Kelompok Murji’ah dan 
Faham Irja’) di dalam sebuah risalah kecil yang sedang dicetak, yang kuberi 
judul dengan Kalimatun Sawa`un fin Nushroti wats Tsana`i ‘ala Bayani Ha`iah 
Kibaril Ulama’ wa Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah lil Ifta’ fi Naqdli Ghuluwi 
Takfir wa Dzammi Dholalatil Irja’ (Kalimat yang Sepadan di Dalam Menyokong dan 
Menyanjung Penjelasan Lembaga Ulama Senior dan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Fatwa 
Yang Mengkritik Sikap Ghuluw di Dalam Takfir dan Mencela Kesesatan Irja’) –yang 
sedang dicetak, alhamdulillah-. (Buku ini telah terbit, pent.)
   
  [4] Adalah wafatnya Samahatu Ustadzuna asy-Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Baz 
rahimahullahu pada tanggal 27/1/1420 H.
   
  [5] Sesungguhnya kufur itu ada dua macam : Kufur asghar yang tidak 
mengeluarkan dari agama dan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama. Kufur 
akbar itu bermacam-macam, seperti istihlal (penghalalan), imtina’, juhud 
(pengingkaran), takdzib (pendustaan), nifaq, dan syak (ragu-ragu) dan ia 
memiliki sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada kekufuran, yaitu ucapan, 
perbuatan dan keyakinan.
   
  [6] Pada ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ al-Fatawa (14/118), 
terdapat penjelasan tentang syarat-syarat ini. Beliau berkata tentang hokum 
orang yang berbicara dengan ucapan kufur :
   
  “Dan apabila ia : (1) mengetahui apa yang diucapkannya, dan dirinya (2) 
memiliki pilihan serta (3) bermaksud dengan apa yang ia ucapkan, maka yang 
demikian ini ucapannya dianggap kufur”.
   
  Saya (Syaikh Ali Hasan, pent.) katakan : kebalikan/lawan dari syarat-syarat 
di atas merupakan penghalang-penghalang kekafiran.
   
  [7] Terlalu gembira merupakan sebab adanya penghalang yang menghalangi 
pengkafiran terhadap dirinya, yaitu karena ketidaksengajaan (ketiadaan maksud). 
Ketiadaan maksud untuk melaksanakan tidaklah mengkafirkan. Maka 
perhatikanlah!!! Kecuali orang yang bermaksud sedangkan dia tidak dalam keadaan 
terpaksa, maka dianggap sebagai kekufuran, baik itu ucapan maupun amalan yang 
dapat menghilangkan keimanan dari segala sisi, seperti mencela Alloh atau 
Rasul-Nya SAW, atau yang semisal dengannya. Hal ini termasuk kekafiran yang 
mengeluarkan dari agama alias murtad.
   
  [8] Yaitu : dari kalangan penguasa kaum muslimin, semoga Alloh memperbaiki 
negeri dan umatnya dengan eksistensi mereka. Bukanlah termasuk pendapat yang 
kuat mengenai dalil yang sering digunakan oleh para penyeleweng yang berdalil 
dengannya untuk mengkafirkan seluruh penguasa muslim, yaitu firman Alloh : 
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh maka 
termasuk orang-orang yang kafir.”
   
  Sungguh indah ucapan Imam Ahmad rahimahullahu : “Kufur itu ada yang tidak 
mengeluarkan dari agama. Sebagaimana keimanan yang ba’dhuhu duna ba’dhin 
(sebagiannya bukanah bagian lainnya). Demikian pula dengan kufur (ada yang 
kufrun duna kufrin / kekufuran yang tidak mengkafirkan, pent.), sampai 
datangnya perkara yang tidak diperselisihkan padanya.” (Majmu’ al-Fatawa 
Syaikhul Islam VII/254).
   
  sumber : http://www.almanhaj.or.id

 
---------------------------------
Be a PS3 game guru.
Get your game face on with the latest PS3 news and previews at Yahoo! Games.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke