Assalamu'allaikum Wr Wb Saya kagum dengan apa yang selalu diungkapkan oleh pak Agussyafii, selain produktif apa yang diungkapkan sangat padat dan berisi dan saya rasakan selalu up to date and segar tanpa merasa mengurui. Banyak hikmah dan manfaat yang dapat saya petik dan biasanya saya sampaikan kembali keorang - orang dekat saya. Kebetulan saya senang duduk berlama - lama dimasjid sambil menunggu waktu sholat. Hanya saya sering saya agak terganggu dengan tanggapan dari sahabat milis ini yang sering tidak nyambung dengan apa yang diungkapkan oleh pak Agus ini. Karena sering tanggapan tersebut tidak memahami apa yang tersirat dari apa yang tersurat. Maaf dalam hal ini saya tidak mau berpolemik cuma sebaiknya kita berlomba menyampaikan kebenaran berdasarkan ajaran dinul Islam pasti benar, tanpa plintar - plintir. Kita bisa saling melengkapi agar pengetahuan kita semakin luas. Sebuah artikel boleh saja disanggah tapi dengan argumen yang kuat dan memadai tanpa harus merasa menggurui Maaf bila ada yang tersinggung, apa yang saya ungkapkan semata - mata saya merasa sangat menyayangi para sahabat milis ini sehingga jangan ada yang saling bersinggungan atau tersinggung. Wassalam "Tampubolon, Mohammad-Riyadi" <Mohammad-Riyadi. To [EMAIL PROTECTED] "Media Dakwah" er.com> <media-dakwah@yahoogroups.com> Sent by: cc [EMAIL PROTECTED] ogroups.com Subject RE: [media-dakwah] Jagoankah Kita? 11/22/2006 03:31 PM kalau kondisi 'puncak' merupakan kondisi asli kita, dari sekian lama umur kita, berarti sangat sedikit sekali kita hidup dalam keaslian..lebih banyak dalam kepura-puraan..? Buya HAMKA menjelaskan kebahagiaan adalah perasaan yang akan timbul bila se- seorang mengalami / mendapatkan suatu keinginan yang belum pernah dialami / dapatkan selama ini.. jadi, apakah bisa berarti ketika seorang ayah / ibu mendapatkan 'puncak' kebahagiaan saat kelahiran putra/i pertamanya.. apa berarti saat kelahiran putra/i berikutnya adalah kepura-puraan..? Saya rasa tidak demikian juga, kalau boleh meminjam istila ust. Anis Matta Lc, kondisi kejiwaan kita, bisa kita atur dengan memetik 'dawai' kejiwaan yang mana yang akan kita petik..siapa yang tidak sedih jika ditinggalkan orang yang sangat disayangi..? tapi, 'dawai' kejiwaan mana yang akan dipilih untuk dipetik..? tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut dengan meraung-raung..? atau memuji kebesaran Alloh azza wa jalla dan semakin meningkatkan ketakwaan walau air mata tetap menetes..? keimanan kita naik dan turun, jika iman kita lebih kuat dari ujian yang sedang berlangsung kita akan lebih stabil, dengan pengertian pilihan dawai kejiwaan yang kita petik selalu sesuai dengan apa yang telah disyariatkan..nada yang keluar [akhlak yang terlihat] tentu akan selalu indah tidak pernah sumbang.. kalau terkadang kita berakhlak 'sumbang' semestinya kita segera bangkit untuk kembali berbunyi 'merdu'.. lalu, bagaimana supaya suara yang keluar dari suatu masyarakat [kaum] akan terdengar merdu..? perlu kesamaan pemahaman nilai-nilai dalam agama ini.. wallohu 'alam biosh showab.. ________________________________ From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of agussyafii Sent: Wednesday, November 22, 2006 1:26 PM To: media-dakwah@yahoogroups.com Subject: [media-dakwah] Jagoankah Kita? Jagoankah Kita? Suatu hari Nabi Isa berjalan bersama tiga orang muridnya, ketika melewati perempatan jalan mereka menjumpai bangkai binatang yang sangat besar dan baunya menyengat. Setelah sampai tujuan, mereka ditanya oleh sohibul bait, apakah mereka melihat sesuatu di perempatan jalan. Yang satu menjawab bahwa ia melihat bangkai besar sekali, yang satu lagi mengaku melihat bangkai yang baunya sangat menyengat, dan yang satu lagi mengaku melihat bangkai yang seram dilihat mata. Giliran Nabi Isa, beliau menjawab bahwa ia melihat bangkai yang giginya sangat putih. Dari empat jawaban itu mengindikasikan adanya "isi jiwa" atau pusat perhatian yang berbeda-beda. Jadi pada dasarnya siapa itu seseorang dapat dilihat apa yang dikatakan, apa yang dilaporkan dan apa yang dikeluhkan. Kata-kata mutiara tasauf berbunyi ; Kullu wi`a in bima fihi yandloh, wa kullu ina in bima fihi tarsyuh, artinya jika ada cipratan dari gelas, pasti isi gelas itu sama dengan yang mencipratnya, dan jika ada suatu wadah rembes, pasti isi wadah itu ada kesamaannya dengan yang merembes. Bagaimana akidah seseorang, bagaimana tingkat iabadah seseorang dan bagaimana kualitas akhlaknya dapat ditengarahi dari apa yang keluar atau yang dikeluarkan olehnya. Memang manusia bisa berpura-pura, tetapi keaslian seseorang akan muncul ketika mengalami keadaan puncak; sangat gembira, sangat sedih, sangat takut, sangat berkuasa, sangat terpojok dan sangat leluasa. Fenomena yang sering memperlihatkan keaslian seseorang antara lain adalah ketika kehilangan sesuatu, ketika ditinggalkan sesuatu, ketika ditimpa sesuatu. Nabi bersabda; laisa as syadidu bis shur`ati innama asyadidu man yamliku nafsahu `indal aghodlobi. Artinya; jagoan itu tidak diukur dari kemampuanya bertarung, tetapi yang sebenarnya jagoan adalah orang yang tetap mampu menguasai dirinya terutama ketika sedang marah. Wassalam, agussyafii http://agussyafii.blogspot.com <http://agussyafii.blogspot.com> [Non-text portions of this message have been removed]