www.achmadbintoro.blogspot.com/2007/06/julukan-kaya-itu-kini-merugikan.html
  
  TAK selamanya julukan kaya membanggakan. Gara-gara anggapan itu,  Pemerintah 
Pusat bakal menghapus DAU daerah kaya, terutama DKI Jakarta  dan Kaltim yang 
memiliki kapasitas fiskal lebih besar. Pejabat dan  wakil rakyat meradang. 
Rame-rame mereka bersuara di Jakarta. Disebut  "miskin" pun rela, asal DAU 
Kaltim yang totalnya Rp 2,9 triliun itu  tidak dihapuskan.

SAYA  mungkin orang Kaltim yang udik. Tetapi, gedung-gedung yang berderet  
megah dan jangkung menjulang ke langit itu memang memukau saya. Dari  dalam bus 
yang membawa kami keluar dari Gedung DPR RI Senayan, usai  menyampaikan 
penolakan atas rencana penghapusan Dana Alokasi Umum  (DAU), menuju Hotel Red 
Top di Pacenongan, Jakarta, pertengahan bulan  lalu, mata saya nyaris tak 
berkedip menyaksikan pemandangan itu.

Saya  tidak menemukan kemegahan yang sama di kota-kota di Kaltim, sebuah  
provinsi "kaya" dengan PDRB Rp 164,7 triliun (2006). Sebuah provinsi  yang 
disejajarkan dengan DKI Jakarta secara finansial sehingga dinilai  mampu 
mengeluarkan obligasi daerah. Di Samarinda, gedung tinggi bisa  dihitung jari. 
Ada Gedung BPD Kaltim di Jalan Sudirman, Kantor Gubernur  Kaltim di Jalan Gajah 
Mada, dan Swiss Belhotel Borneo di Jalan  Mulawarman. Hotel berlantai delapan 
itu merupakan gedung tertinggi saat  ini. 

Di depan gedung dan bangunan, trotoar mengawal sepanjang  jalan. Di sini, mata 
terasa menjadi lebih sejuk saat tertumbuk  pohon-pohon rindang di sepanjang 
trotoar. Para pejalan kaki leluasa,  tanpa gerah, mengayunkan langkah demi 
langkah menyusuri trotoar itu.  Kondisi trotoar yang rindang seperti itu juga 
nyaris tidak pernah saya  temui di Samarinda. Itu pula barangkali yang membuat 
warga Samarinda  malas berjalan kaki di atas trotoar.

Kondisi jalannya apalagi.  Mulus berhotmix, lebar dan nyaris tak berlubang. 
Begitu mulusnya,  sampai HR Daeng Naja, pengamat hukum bisnis dari Samarinda, 
yang duduk  tak jauh dari saya, sedikit pun tak terganggu menjalankan hobinya:  
membaca. Sebuah majalah yang mengupas eksploitasi kekayaan sumber daya  alam 
Riau, habis dilahapnya.
 
Majalah itu dibagikan gratis  ketika berlangsung rapat dengar pendapat Panggar 
DPR RI dengan sekitar  200 orang perwakilan dari lima daerah yang selama ini 
dikenal "kaya".  Rombongan dari Kaltim, Riau, Papua, Sumsel, dan Jakarta. Tapi 
95 persen  datang dari Kaltim. Mereka menolak rencana pemerintah pusat yang  
menerapkan formula baru dalam penghitungan DAU yang akan membuat  daerah-daerah 
itu, terutama Kaltim dan DKI Jakarta, bakal kehilangan  DAU mulai TA 2008. 
Hadirnya majalah khusus itu sedikit menutupi  kekurangan informasi tentang Riau 
yang datang dengan kekuatan ala  kadarnya, hanya empat orang.

Sambil menikmati merdunya suara Saskia dan Serge lewat lagu kenangan Don't Tell 
Me Stories dari sebuah kaset yang diputar oleh sopir bus, pikiran saya sesekali 
merambah Kaltim. Ah,  kalau saja perjalanan Samarinda-Balikpapan juga bisa 
senyaman ini.  Kalau saja jalan-jalan di ibukota provinsi ini tidak selalu 
keriting  dan sempit. Kalau saja jalan Trans Kaltim di Poros Selatan, Tengah 
dan  Utara juga merupakan hotmix, bukannya "hotdog"  yang menjadi becek kalau 
hujan dan berdebu kala panas.

Tidak  harus dengan melihat pemandangan yang sama. Bisa berkendara di atas  
permukaan jalan yang mulus, lebar dan tanpa perlu banyak tikungan ular  saja 
sudah cukup. Hal itu sudah bisa membuat saya akan merasa lebih  nyaman, aman, 
dan terhindar dari mabok darat. Entah kapan akan bisa  terwujud.
  ***
  
  
TAK lama setelah otonomi daerah berjalan, sempat santer kabar akan dibangun 
high way Balikpapan-Samarinda-Bontang-Sengata.Tetapi  rencana tinggal rencana. 
Hingga otda mencapai tahun keenam, Kaltim  belum juga memiliki cukup banyak 
uang untuk membangun infrastruktur  sekelas itu. Rencana pembangunan senilai Rp 
9 triliun itu pun  terbengkelai. Pernah ditawarkan kepada investor, tetapi 
investor  mundur. 

Kaltim ternyata bahkan masih kalah mampu dibanding  Makassar, tetangga di 
seberang selat, yang kini malah sudah membangun  jalan tol Seksi IV. Tetapi, 
Makassar yang infrastrukturnya sudah lebih  maju itu tetap dianggap belum 
sekaya Kaltim. Sehingga oleh pemerintah  pusat tidak termasuk kelompok daerah 
yang akan dikurangi DAU-nya. Malah  kemungkinan akan mendapat tambahan. Dari 
mana tambahan dana itu? Ya,  dari hasil pengurangan dan penghapusan DAU 
daerah-daerah "kaya"  termasuk Kaltim. Begitulah cara pusat merumuskan 
pemerataan dan  "keadilan".

Orang acapkali menganggap Kaltim sebagai daerah  kaya. "Dari Kaltim? Saya punya 
tetangga, suaminya kerja di perusahaan  minyak di Balikpapan. Enak ya pak 
tinggal di daerah kaya," kata seorang  sopir taksi yang mencegat saya setiba di 
Bandara Soekarno Hatta. Dengan  bangga bercampur kagum, sopir itu menceritakan 
sukses tetangganya. 

Ia  beranggapan penduduk Kaltim umumnya makmur. Terlebih sebagian besar  
penumpang Kaltim yang pernah ia antar selama bertahun-tahun ini, selalu  
menginap di hotel-hotel bintang. Happy P Erawan dari Yayasan Mental  Aritmatika 
(Mentari) yang membuka cabang di Kaltim juga tidak menolak  persepsi sebagian 
orang Jakarta terhadap warga Kaltim itu. Ia mengaku  sering melihat orang-orang 
Kaltim berbelanja di SOGO Jakarta. "Ini kan  cerminan bahwa mereka adalah 
orang-orang berduit atau malah kelebihan  duit," katanya.

Anggapan itu pula yang tertanam di pemikiran  pejabat pemerintah pusat. Siapa 
yang tidak kenal Syaukani HR misalnya,  Bupati Kutai Kartanegara. Inilah 
kabupaten "paling kaya" di Indonesia,  dengan total APBD 2006 mencapai Rp 4,2 
triliun. Tetapi daerah ini pula  yang memiliki paling banyak penduduk miskin, 
dan cenderung meningkat  dari tahun ke tahun. Angka terakhir 112.560 jiwa.

Kaltim kaya  tapi kok banyak penduduk miskin, begitu stigma yang melekat. 
Sementara  proyek- proyek mercu suar justru dibangun di mana-mana. Kantor 
Bupati  berdiri megah. Pulau Kumala dibangun dengan dana ratusan miliar bahkan  
triliunan rupiah. Ada stigma bahwa dana bagi hasil perimbangan keuangan  itu 
telah bocor, dikorupsi. Stigma-stigma itu antara lain barangkali  yang 
mendasari DAU Kaltim dihapuskan.

Aji Sofyan Effendi,  pengamat ekonomi Unmul yang juga turut merumuskan DAU pada 
saat awal  otonomi daerah berjalan, membenarkan bahwa stigma-stigma itu turut  
dijadikan dalih bagi pusat untuk menghapus DAU Kaltim.

"Tetapi  pusat mestinya proporsional. Soal proyek mercu suar misalnya. Kenapa  
DKI Jakarta saat membangun proyek Ancol yang menelan dana puluhan  triliun 
rupiah tidak pernah dipersoalkan. Orang diam-diam saja. Tetapi  begitu Pulau 
Kumala dibangun dengan dana yang cuma triliunan saja,  orang sontak ribut," 
kata Aji Sofyan.

Ibarat terdakwa, Kaltim  sudah terhukum. Aji menyebut Kaltim telah dihakimi 
secara tidak fair  oleh kebijakan pemerintah pusat yang tidak realistis. Kalau 
dibilang  kaya, harus dilihat kaya dari sudut mana. Kaya secara SDA dengan kaya 
 secara ekonomi sangat berbeda. Toh, kenyataaan tak sampai 10 persen  dana dari 
hasil eksploitasi SDA di Kaltim itu yang kembali ke Kaltim.  PDRB Rp 164,7 
triliun itu lebih banyak dinikmati pusat, dan lebih  banyak berputar di 
Jakarta. 

Karena itu DKI Jakarta cuek-cuek  saja akan kehilangan DAU sebesar Rp 773 
miliar. Jumlah itu tak terlalu  berarti dibanding PAD DKI yang mencapai Rp 8 
triliun dan dengan APBD  yang Rp 20 triliun. Sedang Kaltim, apa yang telah 
dimiliki? "APBD kita  lebih besar kan baru beberapa tahun dinikmati. Jumlah itu 
pun belum  cukup untuk mengejar ketertinggalan Kaltim. Kenapa tertinggal? Ya,  
karena selama puluhan tahun Kaltim jadi perahan pusat. Tapi kini kok  malah DAU 
segala mau dihapuskan," Karo Humas Pemprov Jauhar Effendi  dengan gusar. 
Jarinya menujuk kepala, tanda ketidakmengertiannya  terhadap jalan pikiran 
pemerintah pusat.

Yang pasti, karena tak  mau kehilangan DAU, Kaltim rela disebut "tidak kaya" 
alias miskin. Bisa  jadi ini pertanda baik. Kerelaan pula untuk tidak 
bolak-balik dan  weekend ke Jakarta. Juga kesadaran untuk tidak lagi pamer diri 
 kepada orang Jakarta sebagai pejabat "kaya" dari Kaltim.  Semoga.(***)
  
       
---------------------------------
Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect.  Join Yahoo!'s user panel 
and lay it on us.

Kirim email ke