A BRIDGE OF BIRDS Perang Vietnam, Cinta, dan Jalinan Antar-generasi Prancis Antoine Audouard DATA BUKU Penerbit : Pustaka Alvabet Edisi cetak : I, Juli 2007 Tebal : 362 halaman Ukuran : 14 x 21 cm ISBN : 978-979-3064-47-5 Harga : Rp. 39.500,- SINOPSIS André Garnier mendapat kabar dari seseorang bahwa ayahnya akan segera pulang ke rumahnya. Esok harinya, sebuah ambulans tiba, membawa sesosok pria tua penyakitan yang tak lain adalah ayahnya, Pierre Garnier. Tak lama tinggal di rumah putranya, Pierre akhirnya meninggal lantaran penyakit Alzheimer akut yang dideritanya. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Pierre melontarkan kalimat misterius kepada André: Ada yang ingin kukatakan. Penasaran atas kalimat terakhir ayahnya, Andrésetelah mendapat informasi dari teman ayahnyakemudian pergi ke Vietnam guna menyelidiki kehidupan sang ayah kala menjalani dinas militer sebagai tentara Prancis. Ia pun terlibat dalam suatu pencarian yang melelahkan. Dan, di ujung episode petualangan personal dan historisnya, Andre menemukan inspirasi bagi terbangunnya jembatan burung (ikatan) antara dirinya dan ayah kandungnya, antara masa lalu dan masa kini, antara Timur dan Barat. Karya berlatar perang Vietnam ini menyuguhkan narasi perihal naik-turun hubungan tiga generasi Prancis yang malu karena kalah perang. Namun, A Bridge of Birds tak sekadar hikayat perang. Ia juga bertutur ihwal kelemahan dan kekuatan abadi dari kata berjuluk cinta. Manusia dari pelbagai generasi akhirnya menyadari bahwa sukses dan gagal hidup tak pernah lepas dari pesona perempuan, juga guratan asa seorang anak. Salah satu novel paling ambisius tahun inidoa untuk mimpi hebat Prancis . A Bridge of Birds terdengar seperti melodi paling menyayat hati. Le Point Novel A Bridge of Birds adalah hasil karya ambisius, hebat, dan halus, yang memperlihatkan suatu penulisan yang luar biasa elegan. Livres Hebdo Hikayat menarik ihwal Indochina, yang bercerita tentang seorang lelaki dan ayahnyayang keburu meninggal sebelum sempat bertutur perihal kisah militernya di Vietnam. Pengembaraan kolonial, yang mengingatkan pada Mans Fate karya Malraux. Jasmin Penulisnya, tak diragukan lagi, adalah salah satu ahli terhebat perang Indochina saat ini. Tapi lebih dari itu, ini juga novel istimewa perihal wanita, ibu, dan cinta, yang diam-diam membayangi kisah utamanya . Elle TENTANG PENULIS Antoine Audouard lahir pada 1956. Selama enam tahun ia menjabat sebagai direktur penerbitan pada Laffont-Fixot, Prancis. Setelah itu, ia lebih menekuni dunia tulis-menulis. Karyanya, Farewell My Only One, mendapat sambutan luas dan banyak pujian, menjadi referensi utama di Goncourt, dan telah diterjemahkan ke dalam empat belas (14) bahasa. Kini, pria paro baya ini tinggal dan bekerja di New York. ******************************************** Catatan dari Penulis Prancis menjajah Indochina sejak akhir abad 19. Koloninya mencakup daerah-daerah yang membentuk Vietnam saat iniTonkin di Utara, Annam di Tengah, dan Cochinchina di Selatanjuga Laos dan Kamboja saat ini. Seperti ekspansi kolonial Eropa lainnya, hal itu bermula dari percampuran yang rumit antara idealisme (membawa peradaban kepada orang-orang yang berada dalam kegelapan, seperti yang dikatakan Mark Twain), semangat akan petualangan dan tantangan, serta ketamakan yang tak mengenal batas. Indochina Prancis menjadi mutiara dan kebanggaan Kerajaan. Kekuasaan Prancis terhadap wilayah itu terus-menerus digoyang, tetapi gelombang demi gelombang perlawanan nasional berhasil ditumpas. Usaha setengah hati untuk menciptakan elite lokal hanya berakhir dengan sukses terbatas, bahkan memiliki efek merugikan yaitu meningkatkan ambisi generasi muda Vietnam untuk mengadopsi ide revolusi Prancis dan sosialismenya. Pada 1930-an, seorang pemuda yang kemudian dikenal sebagai Ho Chi Minh, menciptakan paduan aneh antara nasionalisme dan komunisme, dan muncul sebagai pemimpin politik yang cerdas dan gigih. Pada 1940, kekalahan Prancis dari Nazi Jerman sepertinya akan mengubah sedikit dominasi Prancis di Indochina. Jepangkekuatan politik dominan di daerah ituberkompromi dan bahkan memanipulasi dengan indah administrasi lokal Prancis. Tetapi, pada 9 Maret 1945, orang Jepang sudah muak dan memutuskan berpisah dari Prancis. Dalam waktu kurang dari 24 jam, dengan tanpa pertempuran berarti mereka berhasil membunuh atau menyandera kekuatan militer Prancis yang lemah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri dan bertahan hidup dalam kondisi sulit tersebut. Setelah Jepang menyerah bulan Agustus 45, Konferensi Postdam (yang di dalamnya Prancis tidak diikutsertakan) menugaskan Inggris (di Selatan) dan China (di Utara) untuk mengatur penyerahan Jepang di Indochina. Konsensus yang berlaku, yang berada di bawah pengaruh Roosevelt, adalah tidak boleh kembali ke sejarah kolonial tanpa sebuah mimpi. Di Prancis, seorang pria melihatnya secara berbeda. Dalam sebuah usaha keras untuk memulihkan kehormatan dan pengaruh Prancis, Jenderal De Gaulle tidak bisa menerima selain perbatasan kerajaan sebelumnya. Dia menolak cita-cita lokal, memimpin dengan dana dan militer terbatas, membentuk persekutuan taktis dengan Inggris (yang memiliki alasan tersendiri untuk melihat antikolonialisme dengan rasa curiga), dan di awal September 1945 mengirimkan Jenderal Leclerc, jenderal kepercayaannya, kembali ke Indochina untuk memulihkan kekuasaan Prancis dengan cara apa pun. Seperti nenek-moyang mereka, petualang abad ke-19, para tentara berusia 20 tahun didaftar, terbakar oleh keinginan untuk menebus kekalahan tahun 1940. Mereka berangkat dengan sebuah misi yang kelihatannya sederhana: membebaskan Indochina. Tetapi kenyataan yang menanti mereka lebih dari yang mereka perkirakan. Setelah bertahun-tahun dipenjara dan diasingkan, Ho Chi Minh dan mantan guru sejarah yang berubah menjadi Jenderal, Vo Nguyen Giap, mengumpulkan kesuksesan militer mereka terhadap Prancis. Setelah 15 bulan Jenderal Leclerc tiba di Saigon, perang pun resmi diumumkan. Perang itu akan berlangsung selama 7,5 tahun dan 77.000 tentara Prancis (jumlah yang sama dengan tentara Amerika yang gugur di perang Vietnam), 300.000 tentara Vietnam, dan orang-orang sipil menjadi korban. Orang-orang komunis yang sangat terorganisasi, yang didukung Mao di China, sedikit demi sedikit mengukuhkan kekuatan mereka. Sementara orang Prancis terganggu oleh ketidakstabilan politik di Prancis (ketika perang menjadi sangat tidak populer) dan ketidakmampuan mereka menciptakan politik alternatif bagi penguasa komunis nasionalis. Dana Amerika (di tahun-tahun terakhir Amerika menyumbang lebih dari 80 persen anggaran militer Prancis di Indochina) tidak cukup untuk mengubah gelombang pasang tersebut. Pada Mei 1954, dalam perang Dien Bien Phu, Prancis menderita kekalahan psikologis saat kamp yang dikelilingi parit ini, yang awalnya dibuat untuk menjebak tentara Vietnam, diambil alih Jenderal Giap setelah bertempur sengit selama beberapa bulan. Hanya beberapa bulan kemudian, tentara Prancis dipaksa menyerah kepada Vietnam dalam konferensi Jenewa. Pada awal 50-an, gelombang baru penasihat hukum, pengamat dan diplomat Amerika tiba di Saigon. Terobsesi dengan penyebaran komunisme, dan mengetahui betapa pentingnya manajemen Prancis dalam perang ini, beberapa di antara mereka mulai berkomplot membuat politik kekuatan ketiga. Butuh waktu 15 tahun sebelum orang Amerika itu memaksa negara mereka terlibat perang Vietnam baru. Antoine Audouard Pustaka Alvabet Ciputat Mas Plaza, Blok B/AD Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat, Jakarta Selatan 15411 Telp. 021-7494032 Fax. 021-74704875
========================================== Pustaka Alvabet Ciputat Mas Plaza Blok B/AD Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat, Jakarta 15411 Indonesia Telp. +62 21 7494032, 74704875 Fax. +62 21 74704875 Website: http://www.alvabet.co.id --------------------------------- Luggage? GPS? Comic books? Check out fitting gifts for grads at Yahoo! Search.