RUMAH DUNIA Mempersembahkan BEDAH BUKU PUISI DI LENGKUNG ALIS MATAMU Penerbit AKAR Indonesia, November 2006 Pembahas Toto ST Radik Moderator: Firman Venayaksa Menu makanan: bawa sendiri Waktu: Sabtu, 20 Januari 2007 Pukul: 13.30 17.00 WIB Alamat: Komplek Hegar Alma 40 Pintu Tol Serang Timur Patung Kemang Pusri - Kampng Ciloang Serang 42118, Banten BIO DATA: Johannes Sugianto dilahirkan di Bojonegoro, 5 Mei 1962 dan sejak usia setahun pindah ke Malang, kota yang membesarkannya dengan berbagai pengalaman dan petualangan. Lalu hijrah ke Jakarta, melanjutkan kuliahnya tapi mandek di tengah jalan karena biaya. Dunia jurnalistik sempat dijalaninya selama 7 tahun, dan sekarang menjadi staf Public Relations di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sejak kecil, dunia sastra tak asing lagi baginya. Namun puisi memang baru disentuhnya, yang membuatnya langsung jatuh cinta. Karya-karya bertebaran di berbagai milis puisi seperti Bunga Matahari, Apresiasi Sastra, Puitika, Penyair, Fordisastra dan media cetak (Suara Pembaruan, tabloid Apakabar Hong Kong, Batam News dll). Di antologi "Jogja 5,9 Skala Richter" dan "Empati untuk Yogya" puisinya ikut bersanding dengan para penyair lainnya. Selain sebagai pemilik situs www.blue4gie.com, Yo juga menjadi nara sumber di berbagai media dan aktif di milis puisi seperti Apresiasi-Sastra, Bunga Matahari, Fordisastra, sejuta-puisi dan lainnya. Sebagai Penyair, Yo pernah diundang tampil sebagai nara sumber dan membacakan puisi di Bintan Art Festival 2006 yang berlangsung di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Bukunya yang telah terbit adalah Di Lengkung Alis Matamu dengan pengantar oleh Joko Pinurbo. Buku ini diterbitkannya dengan biaya sendiri. PERTAMA Inilah kumpulan puisi pertama karya Johannes Sugianto, seorang penulis yang dikenal dengan id blue4gie di berbagai komunitas puisi cyber. Karyanya juga tersebar di berbagai media cetak, dan turut dalam antologi puisi yang berkaitan dengan bencana gempa Yogyakarta. Meski wajah baru dalam dunia sastra, namun kehadirannya mampu menarik perhatian penyair sekaliber Joko Pinurbo, hingga bersedia memberikan Kata Pengantar yang dikemas dalam sebuah 'surat'. Sastrawan Raudal Tanjung Banua dan Joni Ariadinata bertindak sebagai editor buku ini. Bahkan saat launching buku ini, Joko Pinurbo dan TS Pinang datang untuk berbicara serta membaca salah satu puisi di buku ini. Bacalah beberapa pendapat di bawah ini: 1. Sajak-sajakmu, dari hulu hingga hilir, mengalir tertib dan tenang, bahkan kadang aku melihat sajak-sajakmu seperti pertapa yang tahan godaan. Sajak-sajakmu memang bersahaja, santun, tidak suka membuat orang kaget atau merinding. Barangkali itulah puitika yang telah kaupilih sebagai gaya pribadimu. Tak ada keliaran. Tak ada kesan mbeling dan urakan. Tak ada hasrat untuk main-main. Sajak-sajakmu seperti si bijak yang sedang membawakan renungan atau piwulang, bukan si nakal yang suka bikin sensasi. Sajak-sajakmu tidak bernafsu untuk mempertunjukkan permainan sirkus dan silat kata. Bagiku ini menarik: dalam sajak-sajakmu aku melihat kontradiksi antara gejolak jiwa dan kesantunan kata-kata. (Joko Pinurbo, penyair, dalam kata pengantar yang bertajuk "Surat Malam untuk Yo") 2. Menggauli sajak-sajak Johannes Sugianto seperti menengadah melihat layang-layang yang sedang 'tegak tinggi tali'. Kadang tinggi, tapi tampak dekat, kadang dekat tapi tampak tinggi. Ranah jelajahnya jauh, titik galiannya dalam, gairah puitiknya menggebu seperti riuh angin halimbubu. (Damhuri Muhammad, cerpenis) 3. Lirik-lirik Joe dalam buku ini adalah catatan perjalanan seorang lelaki, dimana dia meletakkan letihnya sembari berbincang dengan sepi. Sajak-sajaknya adalah fermentasi air mata, nanah luka hati, juga ratapan. Seperti anggur, sajak-sajaknya secara lembut akan membuat dada kita menghangat dalam setiap sesapan (TS Pinang, penyair) BEDAH BUKU Pada bedah buku kali ini, Toto ST Radik, penyair kelahiran Serang, secara khusus membedahnya. Untuk persiapan diskusi bacalah: Membaca Buku Puisi Di Lengkung Alis Matamu Johannes Sugianto PUISI: BUKAN SEKADAR BERTEMU KATA-KATA Oleh: Toto ST Radik* 1 HAMPIR tiga puluh tahun lalu Dami N. Toda dalam tulisannya Peta Perpuisian Indonesia 1970-an Dalam Sketsa (Budaya Jaya X/112, 1977, juga dalam Satyagraha Hoerip [ed], Sejumlah Masalah Sastra, Penerbit Sinar Harapan, 1982) mengatakan dengan yakin bahwa saat itu ada dua titik ekstrem dalam wawasan estetika perpuisian Indonesia. Dua titik wawasan tersebut kelihatannya berbeda, tapi membentuk satu kesatuan, sehingga utuh lengkaplah gambaran peta estetika perpuisian Indonesia. Macam mata kiri dan mata kanan saja! tandasnya. Yang dimaksud dengan mata kiri dan mata kanan ialah wawasan estetika Chairil Anwar (1940-an) dan wawasan estetika Sutardji Calzoum Bachri (kredo puisi 1973). Wawasan estetika Chairil Anwar bertolak dari kepercayaan terhadap kata atau bahasa, yang dengan penuh kesadaran menolak seni improvisasi, dan dengan penuh kesadaran pula memilih kata hingga ke putih tulang dan sumsum kata dan menjadikannya sebagai alat penyair untuk kepentingan puitik sedangkan wawasan estetika Sutardji Calzoum Bachri bertolak dari penampikan kekuatan kata atau bahasa sebagai alat estetik satu-satunya atau bahkan tidak menganggapnya sebagai alat estetik tetapi menerima sebagai sesuatu (obyek) atau mahluk lain yang substansial, yang hadir dan punya identitas sendiri. Estetika Chairil percaya bahwa kata/bahasa mampu menyampaikan keutuhan rasa estetik sekaligus juga menyadari bahwa ia sering tak berdaya apa-apa sebagai alat estetik dan komunikasi. Sedangkan estetika Sutardji sadar sepenuhnya ketidakberdayan kata/bahasa sebagai alat estetik, sekaligus juga memanfaatkan kata/bahasa sejauh apa adanya keterbatasan eksistensinya, untuk menolong sebagian atau seutuhnya pengalaman estetik. Dengan kata lain, estetika Chairil menyandarkan diri pada ethosnya kata/bahasa, sedangkan estetika Sutardji pada pathosnya kata/bahasa sebagai mahluk hidup perpuisian. Mata kiri mata kanan, sebuah dunia telah lengkap. Lengkap? Sepuluh tahun kemudian, pada awal dekade 1980-an terbit puisi-puisi Afrizal Malna di Majalah Horison. Sejak itu puisi-puisinya berlari menderu-deru mengarungi peta perpuisian Indonesia. Puisi-puisinya terkesan gelap, aneh, asing, nungging, penuh gambar-gambar dan benda-benda mitikal dari kehidupan teknologi modern (mikropon, tissue, sepatu, eskrim, softeks, plastik, televisi, dll). Lantas masuk kategori mana puisi-puisi Afrizal Malna dalam perkembangan wawasan estetik perpuisian Indonesia? Mata kiri? Mata kanan? Chairilan? Sutardjian? Ataukah telah tumbuh mata yang lain, mata ketiga, yang secara estetik berbeda dengan Chairil dan Sutardji? Mata tengah yang letaknya di jidat? Atau mata sembarang yang lokusnya di hidung, pipi, dagu, telinga, atau belakang kepala? Dami N. Toda (lagi-lagi dia!) dalam kata penutup kumpulan puisi Afrizal Malna Kalung dari Teman (Grasindo, 1999) tidak mengatakan secara tegas di mata mana wawasan estetik puisi-puisi Afrizal Malna berada. Dami hanya menyebut Afrizal Malna tampak telah menguasai pencariannya dan definitif mantap menemukan pengungkapan puitik khas dan utuh milik penyair.... Dengan keyakinan wawasan pengucapan khas, tanpa keengganan tabu ia mantap memakai metafor/simile/conceit.... Terkesan anti-estetik (halaman 116). Apakah ini pernyataan samar Dami bahwa telah tumbuh mata yang lain itu? Wawasan estetik baru yang disebutnya anti-estetik? Toda akhirnya mengatakan bahwa puisi-puisi Afrizal Malna dari periode 1980-an jelas terlihat berada di wilayah kreativitas pembebasan kata wawasan kredo Sutardji Calzoum Bachri. Hanya saja di dalam wilayah penciptaan Afrizal Malna kata yang telah dibebaskan itu tidak bernyali akrobatik untuk tiba pada ekstrimitas anti kata (seperti akrobatik kata buntung, sungsang bahkan macet-kata dalam Sutardji Calzoum Bachri) tetapi mengolah unsur lain, yakni otonomi kata yang terbebas (dari penjara konvensi arti itu secara maksimal dibentukkan sosok-sosok konkret mahluk puisi baru yang berdiri sebagai individu merdeka) bersimfoni mitikal di dalam satuan komponen alur (plot) sahut-menyahut saling berhadap muka atau memunggung, berhubungan atau tak berhubungan, bersepakat atau berlawanan, saling berdiskusi di dalam bungkah-bungkah metafor, simile, antitesis ataupun conceit (halaman 122-123). Ah, mari kita sederhanakan saja biar terang lokus dan fokusnya: puisi-puisi Afrizal berbeda dengan Chairil berbeda dengan Sutardji, tidak di mata kiri tidak di mata kanan. Dia sedang menata mata yang lain, mata ketiga, entah di tengah atau sembarang tempat: wawasan estetik baru yang anti-estetik, yang masih saja berlanjut. 2 Bentuk sastra yang paling menonjol jumlahnya (juga gairah pelaku dan pencintanya) sepanjang masa adalah puisi. Puisi di mana-mana pun. Dari kota besar hingga kota kecil. Dari secuil kolom koran, mingguan/tabloid remaja populer, hingga majalah sastra/budaya bulanan/triwulan. Dari cetakan stensilan/fotokopian yang buram sampai cetakan buku yang luxurious. Walau pada kenyataannya nasib puisi (dan penyairnya) lazimnya yang paling rawan dari sisi ekonomi, dibandingkan rekan-rekan sejawatnya bernama prosa fiksi. Lihatlah. Hari ini sebuah nama lagi nongol di rimba perpuisian Indonesia. Namanya Johannes Sugianto. Dia datang begitu saja seraya membawa buku puisi berjudul Di Lengkung Alis Matamu. Buku yang diterbitkan sendiri bersama penerbit Akar Indonesia, Yogyakarta, November 2006. Dia datang tidak sendiri, tapi diantar Joko Pinurbo, penyair yang banyak menerima penghargaan disebabkan mengidolakan sarung dan celana. Bahkan sebelum itu, dia meminta jasa penyair Raudal Tanjung Banua sebagai penyunting dan cerpenis Joni Ariadinata sebagai supervisor. Tiga nama itu benar-benar jaminan mutu. Jika diandaikan ke dalam ranah politik, tiga nama tim sukses itu tentulah akan berhasil memenangkan pilkada atau pemilu bagi jagoannya. Tapi puisi bukan politik dan tidak memerlukan tim sukses. Begitu puisi lahir, dia bermuka-muka sendiri dengan pembacanya: berdialog, berdiskusi, berkelahi, berterima, bertolakan. Ada 86 puisi dalam Di Lengkung Alis Matamu. Seluruhnya ditulis tahun 2006, sejak Maret hingga November (ada tiga puisi yang penanggalannya membingungkan: Kinasih [mei 25], Kamirah [maret 15], Puisi Kita (juli 07], tapi mari kita abaikan saja perkara itu). Dari sisi ini Johannes tergolong manusia produktif (atau sedang berada dalam kurun subur) menulis puisi. Hal itu diakuinya dalam catatannya, begini selengkapnya: Saat mencoba menulis puisi, memang beda sekali dibanding menulis hal lain seperti berita atau artikel. Begitu bertemu kata-kata, semua pengalaman hidup yang terpendam sekian lama, mengalir deras begitu saja. Menulis puisi, yang bagi sebagian orang sulit bahkan yang mampu menulis cepen misalnya, dapat kulakukan dengan mudah (tapi belum tentu bermutu atau sudah layak jadi sebuah puisi). Namun aku tak peduli. Terus aku menulis...." (halaman 9). Maka tidaklah mengherankan jika hanya dalam setahun (walaupun masih coba-coba) Johannes melahirkan ratusan puisi, di mana 86 di antaranya dipilih untuk segera dibukukan. Namun produktivitas sama sekali tidak berhubungan langsung dengan kualitas. Keseluruhan puisinya dalam Di Lengkung Alis Matamu tergolong puisi yang biasa-biasa saja. Nyaris tidak ada greget penciptaan dalam arti pergumulan penciptaan individual di wilayah estetik tertentu, apalagi pemberontakan terhadap wawasan estetik lama yang melahirkan estetika baru. Puisi-puisi Johannes memang berada di wawasan estetika Chairil Anwar, sebagaimana banyak penyair lain menjalaninya. Tapi Johannes belum lagi sampai pada dengan penuh kesadaran memilih kata hingga ke putih tulang dan sumsum kata dan menjadikannya sebagai alat penyair untuk kepentingan puitik. Kata-kata/ungkapan yang digunakan dalam puisi-puisinya adalah kata-kata/ungkapan umum, belum lagi masuk dalam kebernasan kata sampai ke inti-kata di dalam kapasitas kode budaya sebagai diksi puisi dengan daya saran yang intens. Apalagi bermain-main menggarap imaji dan metafor yang pekat-likat. Saya juga berkeyakinan, puisi-puisi yang ditulisnya dengan mudah dan cepat itu langsung dipublikasikan dengan segera pula, baik di milis-milis, blog, maupun situs pribadinya, dan tak pernah lagi mengalami revisi berkali-kali yang melelahkan, yang bagi sebagian orang pemuja keperawanan proses kreatif dianggap sebagai onani. Tentu saja semua itu sah. Tapi puisi yang umum dan biasa-biasa saja biasanya lekas pudar bahkan hilang begitu saja, karena terlampau mudah dicerna, karena tak ada sesuatu yang menyisakan tanya atau bahkan teror yang mengganggu nyenyak tidur pembaca. Jika saja Johannes mau lebih perduli, mau lebih bersabar, mau lebih suntuk bergumul dan bertikaman dengan kata (bukan sekadar bertemu kata-kata) ketika menulis puisi, mau lebih lelah dan kejam merevisi atau me-rekreasi puisi-puisinya sebelum dipublikasikan, tentulah puisi-puisi yang dihasilkannya akan menjadi lebih bernas. Karena yang terkumpul dalam Di Lengkung Alis Matamu ini sesungguhnya bukan puisi-puisi yang buruk. 3 Puisi adalah dunia rekaan yang dilahirkan dengan kerja keras sepenuh tenaga, mengejan berkali-kali dalam rasa nyeri yang sangat. Tidak cret! begitu saja. Bahkan menulis puisi-puisi humor pun dilakukan secara serius dengan konsentrasi dan pengerahan tenaga dalam yang sungguh-sungguh. Maka menulis puisi tentulah bukan pekerjaan sekadar atau dikerjakan secara tak sadar. Tapi menyangkut pergumulan penciptaan individual yang harus ditemukan dan dimenangkan oleh setiap penyair di dalam karya-karyanya dengan disiplin kerja estetik pribadi. Sebab hanya dengan demikianlah, puisi-puisi sang penyair dapat berdiri tegak di hadapan semua saja, entah ia berada di mata kiri, mata kanan, mata tengah, mata sembarang, atau di lengkung alis mata. Selamat datang, Yo. Mari! Serang, 16.1.2007. ~ disampaikan pada acara Diskusi Buku Puisi Johannes Sugianto Di Lengkung Alis Matamu (Akar Indonesia, November 2006) yang diselenggarakan di Rumah Dunia Serang, Sabtu 20 Januari 2007. * Toto ST Radik lahir di desa Singarajan, Serang, 30 Juni 1965. Puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya Mencari dan Kehilangan (1996), Indonesia Setengah Tiang (1999, kumpulan puisi terbaik versi Komunitas Sastra Indonesia), Jus Tomat Rasa Pedas (2003), dan Pangeran [Lelaki yang Tak menginginkan Sorga] (2005). Sedangkan cerpennya terdapat dalam antologi cerpen Kacamata Sidik (Senayan Abadi, 2004), Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senayan Abadi, 2005), dan Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Pada 1999 mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara X di Johor, Malaysia. 2000 dan 2001 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Presiden Sanggar Sastra Serang (s3) ini juga aktif di Rumah Dunia Serang dan Forum Kesenian Banten (FKB). Tinggal di Penancangan, Serang.
--------------------------------- Need a quick answer? Get one in minutes from people who know. Ask your question on Yahoo! Answers.