STATEMENT PILAR
  Menyikapi proposal biaya penempatan sebesar HK$15.000 dan penolakan Menteri 
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk berdialog dengan BMI di Hong Kong 
  9 September 2007
  
 Suasana peringatan hari kemerdekaan masih melekat di hati kita masing-masing. 
Pada tanggal 9 September 2007, Konsulat Indonesia di Hong Kong pun merayakan 
dengan menggelar Konser Indonesian Day dan mengundang artis-artis dari 
Indonesia yang jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi sampai hari 
ini, tuntutan perlindungan terhadap hak-hak dan kesejahteraan Buruh Migran 
Indonesia (BMI) di Hong Kong tetap belum terealisasikan.  
  Sudah sejak lama, BMI di Hong Kong mengeluhkan persoalan tingginya biaya 
penempatan yang rata-rata mencapai HK$21.000 kepada pemerintah Indonesia. Biaya 
ini jelas tidak manusiawi dan benar-benar pemerasan. Sejak April 2007, BMI yang 
tergabung di dalam Persatuan Buruh Migran Indonesia Tolak Overcharging (PILAR) 
menuntut supaya pemerintah segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan 
biaya penempatan yang mencekik ini dan menghentikan praktek-praktek perampasan 
terhadap gaji dan hak-hak BMI di Hong Kong.  
  Dalam pertemuan antara perwakilan PILAR dengan Konsulat Jenderal dan 
perwakilan konsulat lainnya pada tanggal 26 Agustus 2007 kemarin, kebijakan 
biaya HK$21.000 didasarkan kepada Surat Keputusan no. B603/BP/1999 yang 
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan ini mengatur rincian dan 
jumlah biaya yang harus dibayarkan oleh setiap BMI untuk bisa bekerja ke Hong 
Kong. Tapi konsulat tidak bersedia untuk memberitahukan jumlahnya. Penarikan 
biaya ini dilakukan setelah BMI bekerja di Hong Kong dengan cara memotong gaji 
bulanan BMI selama 5 sampai 7 bulan pertama dan difasilitasi oleh agency yang 
bekerjasama dengan lembaga finansial di Hong Kong. Jika BMI tidak membayar atau 
telat membayar 1 bulan saja, maka BMI dan keluarganya di Indonesia akan diteror 
habis-habisan lewat telpon, dikirimi surat peringatan dan bahkan mengirim 
tukang tagih ke rumah majikan dimana BMI bekerja. Bukannya melindungi BMI yang 
terancam dan hampir kehilangan pekerjaan, konsulat justru menyalahkan
 dan memaksa BMI untuk melunasi ”hutangnya” kepada PJTKI/agency.
  Meski pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal 
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (Dirjen Binapenta) telah mengeluarkan 
Surat Keputusan baru no. 653 yang menetapkan penurunan biaya penempatan menjadi 
Rp. 9.132.000, menggantikan SK no. B603/BP/1999, tapi kebijakan ini tidak 
pernah diterapkan. Alasannya karena asosiasi PJTKI di Indonesia dan asosiasi 
agency di Hong Kong keberatan. Tidak pernah sekalipun dalam proses penentuan 
biaya penempatan, pemerintah Indonesia mengkonsultasikan kepada BMI yang justru 
berkepentingan terhadap urusan ini.
  Karena protes beruntun dari kalangan BMI di Hong Kong, akhirnya pemerintah 
terpaksa meninjau ulang kebijakan biaya penempatan ini. Sejak Nopember 2006, 
pemerintah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh Menteri 
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Konsulat Indonesia di Hong Kong, Depnakertrans, 
asosiasi PJTKI (APJATI), asosiasi agency di Hong Kong (APPIH) dan lembaga 
finansial. Dari pertemuan ini, diusulkan bahwa biaya penempatan akan diturunkan 
dari HK$21.000 menjadi HK$15.000. Tapi biaya baru ini belum diterapkan karena 
menteri belum mengesahkan sampai sekarang. BMI di Hong Kong secara luas tidak 
pernah dilibatkan di dalam setiap proses negosiasi biaya penempatan ini oleh 
pemerintah. Pemerintah hanya mau mendengar pendapat dari PJTKI dan agency tapi 
menolak berkonsultasi dengan BMI secara luas. Mengapa BMI yang justru 
menanggung beban biaya penempatan tidak diberi kesempatan untuk bersuara?
  Bahkan keberadaan proposal baru sebesar HK$15.000 ini sengaja ditutup-tutupi 
oleh pemerintah Indonesia. Konsulat Indonesiapun menolak untuk memberitahu 
jumlahnya dengan dalih karena Menteri Tenaga Kerja belum mengesahkan proposal 
ini. BMI hanya akan diberitahu jika proposal ini sudah disahkan. Mengapa BMI 
tidak boleh tahu perubahan proposal biaya penempatan baru ini? Mengapa BMI 
tidak berhak menikmati jika memang biaya tersebut benar-benar telah diturunkan? 
Selain proses yang sama sekali tidak demokratis, proposal biaya penempatan 
HK$15.000 jelas masih amat mahal bagi BMI. 
  Sikap pemerintah yang tidak mau transparan terhadap BMI adalah bukti 
pemerintah tidak mau melindungi BMI. Pemerintah tidak mau dikritik meski mereka 
sadar BMI akan tercekik karena biaya selangit ini. BMI sengaja dibodohi dan 
dipaksa untuk manut saja terhadap apapun keinginan pemerintah.   
  Sejak April 2007, PILAR secara konsisten menuntut pemerintah Indonesia untuk 
bertanggung jawab terhadap BMI dan menyelesaikan persoalan tingginya biaya 
penempatan. Berbagai aksi telah PILAR tempuh mulai dari forum terbuka, 
penggalangan tanda tangan, demonstrasi sampai dialog dengan Konsulat Indonesia. 
Tapi sampai saat ini pemerintah belum menjawab dan secara kongkret memenuhi 
tuntutan-tuntutan BMI. Pemerintah tetap tutup telinga, pura-pura tidak 
mendengar penderitaan BMI. Hak-hak dan kesejahteraan BMI tidak pernah dijadikan 
agenda utama pemerintah ketika membuat kebijakan untuk BMI. 
  Saat ini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno, dan beberapa 
pejabat pemerintah lainnya sedang berkunjung ke Hong Kong untuk bertemu dengan 
Konsulat Indonesia dan mendiskusikan proposal baru biaya penempatan HK$15.000. 
Para pejabat tersebut sekaligus juga akan menghadiri Konser Indonesian Day di 
Queen Elizabeth Stadium yang diselenggarakan oleh Konsulat Indonesia. PILAR 
telah meminta kepada konsulat untuk dipertemukan dengan Menteri Tenaga Kerja 
tapi ditolak dengan alasan jadwal Bapak Menteri telah penuh. Kalau Bapak 
Menteri ada waktu untuk menghadiri Konser Indonesian Day, mengapa tidak ada 
waktu untuk bertemu dengan BMI? Kalau memang BMI dianggap pahlawan devisa dan 
pemerintah ingin melindungi BMI, mengapa tidak mau berdiskusi tentang persoalan 
biaya penempatan yang jelas-jelas menyangkut nasib seluruh BMI di Hong Kong? 
  Jelas bagi pemerintah, BMI tidak lebih dari barang dagangan dan sapi perahan. 
Kepentingan pemerintah terhadap BMI hanyalah kepentingan untuk mengurangi 
pengangguran di Indonesia dengan mengirim tenaga kerja keluar negeri 
sebanyak-banyaknya dan mengeruk devisa sebesar-besarnya. BMI adalah rakyat 
Indonesia dan perlindungan terhadap BMI adalah tanggung jawab utama pemerintah 
sebagai wakil rakyat terhadap rakyatnya. BMI berhak menentukan nasibnya sendiri 
dan harus dilibatkan di dalam setiap proses pembuatan kebijakan bagi BMI. Kami 
juga menolak proposal baru biaya penempatan sebesar HK$15.000. 
  Maka dari itu, kami menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk:
  
   Stop      overcharging dan tetapkan biaya PJTKI hanya 1 bulan gaji.
   Libatkan      BMI di Hong Kong secara luas di dalam pembuatan kebijakan 
untuk BMI.       
   Bebaskan      semua BMI di Hong Kong untuk proses mandiri baik dengan 
majikan yang sama      atau beda majikan.
   Cabut SK      No. B603/BP/1999 dan SK Dirjen Binapenta No. 653/2004.  
   Cabut      UUPPTKILN No. 39/2004.
   Bubarkan      Terminal 3 di Bandara Sukarno Hatta, Jakarta.
  Selama perubahan kongkret belum diberikan kepada BMI di Hong Kong, kami tidak 
akan berhenti berjuang dan menggalang kekuatan untuk melawan. 
  Hidup Buruh Migran Indonesia!
  Hidup Rakyat Indonesia!                 
  Anggota PILAR
  Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional 
Muslim Society, Al Ikhlas, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), 
Birul Walidain, Borneo Dancers, Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan 
Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Ikatan Wanita Hindu Dharma Indonesia 
(IWHDI), KREN Dancers, Nur Muslimah Shatín, Simple Groups, Terali Dancer, 
Wanodya Indonesian Club


  For reference: 

Eni Lestari
  Spokesperson
  Tel. No.: 96081475
    
       
---------------------------------
Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect.  Join Yahoo!'s user panel 
and lay it on us.

Reply via email to