Koran Tokoh Edisi Minggu 9 September.

Sejak Merebaknya Stasiun Televisi
Bahasa Indonesia Alami Penurunan Mutu

MEDIA massa memiliki peran penting dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kata 
'unduh', 'canggih', 'tombol' muncul di masyarakat berkat sosialisasi media 
massa. Di sisi lain, media massa juga memberi sumbangan negatif, yaitu 
menyuguhkan kekerasan fisik dan verbal. Sialnya, itu terjadi pada jam produktif 
bagi anak menonton tayangan televisi. Demikian diungkapkan Dr. I Wayan Pastika, 
M.S., dosen Fakultas Sastra (FS) Unud dalam diskusi "Sumbangan Media Massa 
kepada Perkembangan Bahasa Indonesia" yang diadakan Forum Bahasa Media Massa 
(FBMM) Bali bekerja sama dengan FS Unud, Kamis (30/8). Diskusi diawali Orasi 
Ilmiah berjudul "Fonetik Eksperimental dan Manfaatnya pada Kajian Fonologi" 
oleh I Nyoman Suparwa. Kegiatan tersebut berlangsung dalam rangka ulang tahun 
ke-49 Fakultas Sastra Unud.
Pastika yang membawakan materi "Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar Dalam Acara TV" 
itu mengatakan, bahasa Indonesia dewasa ini (terutama sejak merebaknya stasiun 
televisi) mengalami penurunan dari segi mutu karena penggunaannya hampir tanpa 
kendali baik dari segi leksikal, gramatikal, maupun sosial. Peran media massa 
sangat besar dalam memberdayakan suatu bahasa menjadi bahasa yang bermartabat 
tanpa terlalu banyak dikendalikan oleh unsur-unsur bahasa lain.
Bahasa Indonesia yang kita tuturkan dewasa ini bukanlah bahasa pijin (sebuah 
bahasa yang dibentuk dari percampuran dua bahasa atau lebih) atau bahasa kreol 
(bahasa pijin yang dijadikan bahasa ibu oleh suatu guyub tutur). Namun, sejak 
reformasi sistem perpolitikan di Indonesia, nasib bahasa Indonesia terancam 
oleh masuknya kosakata dan struktur bahasa asing dan daerah. Masuknya sistem 
bahasa lain ke bahasa Indonesia hampir tanpa melalui proses penapisan sehingga 
dapat mengacaukan sistem bahasa Indonesia yang pada akhirnya dapat menggoyahkan 
kemampuan bahasa Indonesia sebagai penanda jati diri bangsa Indonesia.
"Menurut pengamatan saya dari segi penggunaan bahasa, siaran berita telah 
menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa. Hal ini dapat 
dilakukan karena ranah berita menggunakan ragam tulis," kata Editor Pelaksana 
Jurnal Terakreditasi Nasional Linguistika ini. Namun, Metro TV mempunyai 
kegemaran mengklasifikasikan acara-acaranya (terutama siaran berita) dengan 
istilah-istilah asing, seperti Headline News, News Flash, Live by Phone, Top 
Nine News, dan Business Corner. "Benarkah akan terjadi penurunan jumlah pemirsa 
apabila stasiun televisi itu mengganti istilah asing dengan bahasa Indonesia, 
yakni Berita Utama, Sekilas Berita, Langsung melalui Telepon, Sembilan Berita 
Utama, Sudut Usaha?" tanyanya. "Judul acara hanya pandangan pertama yang 
kemudian dengan mudah ditinggalkan jika tak sesuai keinginan pemirsanya," 
tambahnya.


Bahasa Kasar
Pastika juga menyoroti bahasa sinetron. "Hidup kita di Indonesia tidak 
didominasi oleh Jakarta, termasuk bahasa. Jika dicermati, tayangan televisi 
nasional banyak menggunakan bahasa Melayu-Jakarta," ujar doktor linguistik dari 
Faculty of Arts The Australian National University, Canberra itu. Percampuran 
kosakata Melayu-Jakarta dengan bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk 
penghilangan jati diri bahasa Indonesia. Ia mencontohkan, 90% sinetron 
menggunakan bahasa Melayu-Jakarta. Sinetron "Untung tidak selalu Untung" 
(SCTV), "Soleha" (RCTI), "Hikayah" (Trans), dan "Candy" (RCTI) disebutnya 
sebagai contoh. Cuplikan sinetron "Untung tidak selalu Untung" yang dicatatnya 
antara lain "ya deh", "gua blum bikin PR nih", "udah deh, PR gua nggak perlu 
dibacain", "baru tau rasak, lho". Jika bahasa ini diungkap kepada orangtua yang 
hanya mengerti bahasa Indonesia, tentu mereka tak mengerti.
"Berbeda halnya kalau film televisi itu adalah film impor," katanya. Sebagian 
film impor diterjemahkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam 
umum. Tahun 1980-an, film Jepang berjudul "Oshin" sangat digemari masyarakat 
karena ceritanya menarik dan mengandung pesan moral positif. Film "The Jewel of 
Palace" (Indosiar) juga digemari karena mengandung filsafat hidup yang 
menghargai sesama dan etos kerja. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia 
ragam lisan umum seperti "Aku tidak mengerti mengapa kejadian seperti ini 
selalu kualami", "Aku rasa aku tidak bisa memakannya. Apakah kau bisa 
memakannya?", "Nanti kau akan mendapatkan kembali pekerjaanmu". "Meskipun bukan 
bahasa Melayu-Jakarta, film ini tetap digemari masyarakat umum," katanya.
Pastika pun mengritik bahasa pesohor seni seperti pemain film, penyanyi, dan 
pembawa acara televisi. Saat mereka berbicara dalam acara televisi yang 
bersifat informal, mereka lebih menggunakan bahasa "gaul" yang pada intinya 
juga sebuah bahasa pijin. "Mereka berbahasa seenaknya, tidak sadar bahwa mereka 
tidak terbatas berada di studio televisi," kritiknya. "Lu ngomong dong. Enak 
aja.", "Gue ngadepin biasa aja.", "Kayak gini, ngapain pegang-pegang." 
merupakan contoh cuplikan pembawa acara dan pesohor yang dicatatnya dalam acara 
"Infotainmen" dan "Ada Gosip".
Buruknya lagi, petelevisian di Indonesia sudah menganggap bahwa bahasa kasar 
merupakan hal yang biasa. Bahasa kasar merupakan bentuk kekerasan verbal dan 
diyakini membawa pengaruh tidak baik bagi perkembangan emosi dan budi pekerti. 
"Diam, tolol" dan "Kalau nongol, mukanya dipecahin" menjadi contoh bahasa kasar 
yang dianggap lucu dalam lawakan "Tawa Sutra". "Di luar negeri, stasiun 
televisi yang menyiarkan bahasa kasar, ada sanksinya. Di sini malah biasa. Tak 
mengherankan, perilaku kasar adalah hal yang biasa dalam masyarakat kita," 
sindirnya.
Menurut Pastika, berbahasa kasar bertolak belakang dari nilai-nilai budaya 
kita. "Kalau kita berbicara, harus menjaga mulut kita karena menyangkut etika," 
jawabnya menanggapi pertanyaan Pius, mahasiswa FS Unud. Nyoman Suparwa, dosen 
FS Unud memperhatikan penggunaan kata "joss" yang sangat sering dipakai Harian 
Denpost. "Kadang dipakai untuk anak-anak yang disetubuhi, kadang untuk PSK. 
Konotasinya apa? Hati-hati, koran juga dibaca oleh anak-anak," katanya.
Ida Bagus Martinaya, Redaktur Bali Post yang juga menjadi salah seorang 
pembicara utama dalam diskusi tersebut menyatakan, kata 'joss' diambil dari 
kata 'extra joss'. "Menurut penyair, kata 'joss' memiliki kedekatan rasa dengan 
ditusuk dan dicoblos. Tetapi, seharusnya gunakan saja 'diperkosa'," kata Gus 
Martin. Ia menyatakan bahasa koran yang baik harus memiliki sifat komunikatif, 
informatif, efektif, inovatif, dan reaktif. Pastika berpendapat, kata 'joss' 
berkonotasi 'enak' yang terkesan menistakan orang lain. "Untuk anak-anak yang 
bernasib sial, kata itu seolah menertawakan mereka," tandasnya.
Peran media massa dalam pengembangan bahasa Indonesia juga menjadi perhatian 
Sukarda dari FS Unud. "Kalau Pusat Bahasa memasarkan bahasa bisa ditolak, 
tetapi kalau media massa, langsung diikuti," katanya. Oleh karena itu, Pastika 
mengatakan, Pusat Bahasa harus bisa "memasarkan" bahasa Indonesia kepada media 
massa. "Media massa harus mengikuti perkembangan produk Pusat Bahasa. Mereka 
harus punya kepedulian terhadap kebahasaan, terutama lembaga yang mampu secara 
ekonomi," imbuhnya.
Laksmi dari MGMP Bahasa Indonesia SMK mengatakan, penggalan kata yang ada di 
koran banyak yang tidak tepat. Ini tentu membingungkan. Ia juga mencermati 
bahasa iklan. "Kalau baku, bahasa iklan memang kurang pas tetapi jangan sampai 
membingungkan," pintanya. Contoh, iklan shampo yang berbunyi, "Sunsilk untuk 
rambut hitam berkilau." "Untuk apa rambut yang sudah hitam diberi Sunsilk. Kata 
'untuk' harusnya 'agar'," koreksinya.
Djoko, dari RRI Stasiun Denpasar mengatakan, RRI pernah bangga karena menjadi 
rujukan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemunculan televisi dan radio 
swasta sangat kuat pengaruhnya. Masyarakat lebih memilih koran dengan bahasa 
Indonesia yang baik dan benar tetapi tidak memilih radio berbahasa Indonesia 
yang baik dan benar. "Sekarang kami sulit mencari pewara atau reporter yang 
memiliki spontanitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar," akunya.
Widminarko, Pemimpin Redaksi Koran Tokoh menambahkan, penggunaan bahasa di 
media massa perlu ada rambu-rambunya. Tiap media massa, bahkan lingkungan kerja 
lainnya, perlu memiliki 'buku pintar'. "Penggunaan bahasa Indonesia di media 
massa perlu memperhatikan aspek logika dan ekonomi kata," katanya.
Ida Bagus Suwana dari SMAN 1 Denpasar menanyakan, apa yang bisa kita lakukan 
mengatasi masalah kebahasaan itu? "Kita harus mulai dari diri sendiri. Sejak 
tiga tahun lalu, keluhan terhadap tayangan televisi kita sudah dilaporkan ke 
KPI. Tetapi, hingga saat ini tetap saja acara penuh kekerasan disiarkan. Saya 
sanksi jika kita memerlukan sanksi untuk itu. Masalahnya, ini ibarat kita 
terbiasa makan yang enak tetapi tidak sehat. Orang Jepang makan sushi yang 
tidak enak tetapi panjang umur. Mana yang kita pilih?" ujar Pastika. - rat



Ratna Hidayati
Koran Tokoh
Gedung Pers Bali K. Nadha Lantai 3
Jalan Kebo Iwa 63A Denpasar, Bali
Tlp. +62 361 416 676, 740 2414
Faks. +62 361 416 659


mediacare
http://www.mediacare.biz

Kirim email ke