Jakarta 8 Januari 2007
  Banjir Aceh dan Ekonomi Deforestasi 

  Banjir bandang yang menimpa Aceh pekan terakhir Desember 2006 ini sungguh 
memilukan. Musibah terbesar kedua di Aceh setelah tsunami Desember 2004 lalu, 
kini makin menyengsarakan rakyat Aceh yang belum pulih trauma psikologisnya 
akibat tsunami. Akibat banjir bandang tersebut 1.755 rumah hanyut, 4.537 rumah 
rusak berat, dan 6.287 rumah lainnya rusak ringan. 
  Sementara sampai Rabu (27/12) jumlah korban yang tewas tercatat 46 orang, 
yang hilang 164 orang, dan yang mengungsi 45.556 kepala keluarga atau sekitar 
203.722 orang .Berapa jumlah korban seluruhnya, menurut Sekertaris Pelaksana 
Harian Satkorlak Penanggulangan Bencana Provinsi NAD,  belum diketahui pasti. 
Namun sebuah informasi menyebutkan, jumlah korban tewas di Aceh Tamiang saja 
mencapai 200 orang. Jika semua korban tewas dan hilang (yang kemungkinan besar 
tewas) dijumlahkan, maka musibah banjir bandang ini bisa menelan korban 500-an 
orang. 
  Tragisnya banjir dan longsor ini tidak hanya terjadi di Aceh. Tapi juga di 
Sumatera Utara dan Riau. Di dua daerah ini, puluhan orang tewas dan ribuan 
orang tenggelam. Diperkirakan, bulan Januari dan Februari mendatang, ketika 
musim hujan mencapai puncaknya, akan makin banyak musibah banjir dan longsor di 
seantero Indonesia. 
  Sudah bukan rahasia lagi, banjir di Aceh, Sumut, dan Riau penyebab utamanya 
adalah deforestasi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). TNGL yang membentang 
hampir di separuh Pulau Sumatera ini, kondisinya hancur akibat pembalakan liar. 
Musibah banjir bandang di Kali Bohorok, Langkat, Sumut, awal November 2003, 
yang menewaskan 200 orang lebih, juga akibat perusakan TNGL di kawasan 
tersebut. Rupanya peringatan alam yang berupa banjir bandang Bohorok tersebut 
belum membuat para pemangku kepentingan memberikan perhatian serius terhadap 
fungsi TNGL.
  Ekonomi perusakan
Lester R Brown dalam bukunya yang terkenal The Worldwacth Reader on Global 
Environmental Issues (New York, 1991) menyatakan bahwa hutan sebagai gudang 
kehidupan yang terbesar di bumi bernilai jauh lebih mahal daripada nilai kayu 
gelondongannya. Karena itu, tulis Brown, meski kekayaan hutan ini dikonversi 
demi produksi kayu, penebangan kayu di hutan tetap tidak bisa dibenarkan secara 
ekonomis.
  Di Amerika Serikat, misalnya, penebangan hutan telah menimbulkan kerugian 
dunia perikanan dan terumbu karang yang nilainya lima kali lipat dari hasil 
industri perkayuan tersebut. Bisnis kayu tebangan hutan di sepanjang pantai 
North Fork, Idaho misalnya, pada tahun 1960-an, tercatat hanya menghasilkan 
uang sebanyak 14 juta dolar AS. Sementara kerusakan lingkungan --berupa 
pendangkalan sungai, pantai, dan hancurnya terumbu karang karena erosi-- 
mencapai 100 juta dolar AS. 
  Kerugian tersebut dihitung dari menurunnnya hasil tangkapan ikan para nelayan 
setempat dalam waktu yang sama setelah hutan-hutan sekitar Idaho hancur. Yang 
menyedihkan, untuk mencapai 'pemulihan' kondisi hutan seperti semula (produksi 
ikan sama dengan sebelum ada penebangan hutan) dibutuhkan waktu puluhan tahun. 
Padahal, selama waktu pemulihan tersebut, industri kayu itu pun sudah tidak 
berproduksi lagi. Bila kondisi itu diperhitungkan, artinya kerugian akibat 
penebangan hutan terhadap perekonomian masyarakat amat besar, puluhan kali 
lipat dari hasil kayu tebangan hutan tadi.
  Hal yang sama pernah diteliti di Filipina. Perikanan di Teluk Bacuit di dekat 
Palawan, Filipina menurun drastis setelah lereng-lereng gunung di wilayah 
hutannya digunduli. Endapan lumpur dari sungai-sungai yang berhulu di gunung 
yang gundul itu telah menyebabkan terumbu karang di pantai Palawan mati. 
Padahal terumbu karang merupakan habitat paling disukai ikan. Akibatnya hasil 
nelayan pun turun rastis. Ekonomi penduduk setempat pun lumpuh,
  Dari gambaran itu, kita pun bisa membayangkan, berapa kerugian masyarakat 
akibat penebangan hutan tersebut. Sebagai bahan perbandingan, bencana banjir 
bandang di Aceh saat ini yang menewaskan ratusan orang dan menghancurkan ribuan 
rumah, apakah sebanding dengan hasil kayu yang didapat dari hutan yang 
digunduli tersebut? Memang belum ada data berapa nilai kerugian akibat banjir 
bandang itu. Yang jelas, menurut Mustoha Iskandar, Direktur Pengembangan 
Inhutan III, nilai ekonomi kayu satu hektare hutan alam perawan sekitar Rp 50 
juta. 
  Dengan demikian, seandainya 600 ribu hektare hutan alam di Sumatera diambil 
kayunya, nilai kotor yang dihasilkan sekitar Rp 30 triliun. Nilai tersebut, 
kata Mustoha, belum termasuk biaya operasional. Jika dipotong biaya operasional 
dan modal, perolehan tersebut bisa kurang dari separuhnya atau hanya sekitar Rp 
10 triliun. Dengan banyaknya pungutan di bisnis kehutanan, hasil tersebut masih 
terpotong separuhnya lagi. Sehingga, nilai ekonomi yang diperoleh pengusaha 
menjadi Rp 5 triliun.
  Hanya itulah nilai ekonomi yang bisa diperoleh pengusaha atau para penebang 
hutan. Sekarang, kita bisa memperkiraka, berapa nilai kerusakan lingkungan 
akibat penggundulan hutan itu? Pertama, dari aspek biodiversitas. Berapa 
keanekaragaman jenis spesies (biodiversitas) yang mati dan punah akibat 
perusakan hutan? Hutan tropis adalah tempat hunian biodiversitas terbesar di 
dunia. Lebih dari 60 persen biodiversitas di muka bumi berada di hutan tropis.
  Kedua, penebangan hutan akan menimbulkan erosi dan sedimentasi di sungai yang 
mata airnya berada di hutan tersebut. Selanjutnya, erosi dan sedimentasi tadi 
akan mengotori laut dan merusak ekosistemnya, terutama terumbu karang yang amat 
sensitif terhadap polusi. Rusaknya terumbu karang ini akan sangat berpengaruh 
pada kehidupan ikan di laut. Ketiga, hancurnya hutan juga dapat memacu 
pemanasan suhu bumi. Hutan tropis Indonesia sudah ditetapkan PBB sebagai 
paru-paru bumi. Keempat kerusakan hutan telah menyebabkan banjir dan longsor 
yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang amat besar.
   
   
  wassalam
   
  rachmad
  Independent
  pemerhati public & media
  rbacakoran at yahoo dot com


MOD:
Pak Rahmat, kenapa kalau bikin subyek selalu ditambahi Re:?
Sudah saya hapus...

Kirim email ke