DL - Pemerintah Belanda tidak menyubsidi harga, tapi membiayai pembangunan 
Pusat Pelelangan produk pertanian, pembangunan jaringan pipa untuk mengalirkan 
CO2 dari industri ke kebun kaca, penciptaan benih yang memerlukan sedikit air 
dengan panen berlimpah ruah, dll. Resultatnya, Belanda menjadi pengekspor 
bunga/tanaman hias terbesar di dunia, petani kaya raya dan negara mendapat 
devisa. Hebat bukan Belanda ini, ehm ehm ......... :-).


  http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=131955
   
  Tajuk Rencana:
   
  Beda Petani Indonesia dengan Jepang-Eropa 

Jumat, 6 Januari 2006

  Bertolak belakang dengan petani di Indonesia, betapa enaknya 
menjadi petani di Jepang dan Eropa. Atas nama kesejahteraan petani, 
pemerintah Jepang dari dulu hingga kini menutup rapat-rapat pintu 
bagi beras dari luar negeri. Tak sebutir beras asing pun boleh masuk 
ke pasar Jepang.
      
   Juga demi kesejahteraan petani di benua Eropa, pemerintah di 
masing-masing negara memberi perlindungan maksimal terhadap semua 
produk pertanian dari serbuan produk impor. Masih tersimpan di benak 
banyak orang, bagaimana gigihnya juru runding Uni Eropa di forum 
World Trade Organization (WTO) menolak tuntutan puluhan negara 
berkembang, plus Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika 
Selatan, agar Eropa menghilangkan atau setidaknya menurunkan subsidi 
ke sektor pertaniannya.   
  
   Untuk melindungi petani mereka, Uni Eropa bahkan pasang badan 
untuk menerima tuduhan sebagai pihak yang menggagalkan keinginan 
bangsa-bangsa di dunia membentuk rezim perdagangan baru. Bayangkan, 
betapa nyamannya hidup sebagai petani di Jepang dan Eropa.
      
   Bagaimana di Indonesia? Jawabnya gamblang saja: betapa tidak 
enaknya menjadi petani di negara ini. Alih-alih dilindungi, yang 
didapatkan petani kita dari waktu ke waktu tak lebih dari 
penganiayaan demi penganiayaan. Keberpihakan kepada mereka hanya 
sebatas kata-kata di ruang rapat serta pernyataan, iming-iming dan 
janji-janji yang disuarakan dengan lantang untuk konsumsi publik. 
Puluhan tahun sudah petani Indonesia diiming-imingi dengan ratusan 
janji bagi perbaikan derajat hidup mereka. Realisasinya? Nol!   
  
   Bukannya kesejahteraan yang mereka dapatkan, melainkan 
meningkatnya derajat kemiskinan mereka. Jutaan petani tak lagi punya 
ladang karena sudah dibeli orang kota. Nasib mereka berujung pada 
status sebagai buruh tani.
      
   Sekarang saja, ketika petani Indonesia punya kesempatan menikmati 
hasil jerih payah mereka berkat menguatnya harga beras, sedang 
berproses upaya menurunkan harga dengan beras impor. Sangat berani 
dan tega, karena keputusan mendatangkan 132.000 ton beras dari 
Vietnam itu diambil di tengah kuatnya arus penolakan, tak hanya dari 
petani, tetapi juga dari elemen masyarakat lainnya, plus DPR dan 
sejumlah gubernur.   
  
   Situasinya benar-benar kontradiktif. Di depan DPR beberapa waktu 
lalu, Presiden berpidato bahwa Indonesia dalam status surplus beras. 
Selain berasal dari sisa panen tahun lalu, stok beras dalam negeri 
akan bertambah dengan panen baru yang jatuh sekitar Maret-April 
2006.
      
   Bukannya menghaturkan terima kasih kepada petani, tapi pemerintah 
justru ingin menghilangkan kesempatan petani menikmati hasil jerih 
payahnya. Apa alasan hakiki dari keputusan impor beras itu tidak 
pernah diketahui. Masyarakat dibiarkan menerima kebijakan tidak 
masuk akal itu.   
  
   Bulog menolak membeli beras petani karena harganya terlalu 
tinggi. Tidak bersediakah Presiden memerintahkan atau memaksa Bulog 
melaksanakan fungsi sosialnya untuk membeli beras petani di negara 
ini agar mereka bisa bahagia sejenak? Kalau pemerintah ngotot impor 
beras, apa makna eksistensi Bulog bagi rakyat di negara ini? Sangat 
tidak masuk di akal banyak orang bahwa Perum Bulog, yang notabene 
adalah alat negara dan instrumen pemerintah, berperilaku sebagai 
pedagang menghadapi petani di negaranya sendiri.
      
   Mudah-mudahan benar bahwa atas nama kepentingan konsumen dan 
pengamanan stok pangan, impor beras menjadi pilihan tak 
terhindarkan. Namun, jika realisasi impor semata-mata untuk menekan 
harga beras produk petani dalam negeri, apalagi jika impor itu hanya 
untuk mengejar fee, itu kebijakan tak bermoral.   
  
   Untuk sekali ini saja, bersedialah mendengarkan jerit tangis 
petani kita. Petani tidak bersedia menjual ke Perum Bulog karena 
harganya tidak menarik, bukan karena pasokan berkurang. Dari 
beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Sumatera Selatan 
(Sumsel), petani menyatakan menolak impor beras itu. Kalau produk 
impor itu masuk, bagaimana dengan prospek beras dari petani kita 
yang akan panen serentak pada Maret-April 2006. Stok dalam negeri 
pasti cukup. Sesungguh-sungguhnya, beras impor tidak diperlukan 
sekarang ini.
   
  *** 

Reply via email to