jakarta 23 januari 2007 Berbalas pantun: Kritik dengan Kritik Demokrasi butuh produktivitas. Untuk itu ada prasyarat: stabilitas dan tertib politik. Caranya? Ikuti aturan main. Suatu ungkapan yang padat, ringkas, dan berisi. Ungkapan itu muncul menanggapi fenomena kritik versus kritik. Awalnya adalah kritik sejumlah tokoh terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Try Sutrisno, mantan wakil presiden yang juga mantan panglima ABRI, menyorot kepemimpinan yang lemah. Mantan presiden Megawati Soekarnoputri menuduh Yudhoyono hanya tebar pesona, bukan tebar karya. Maka, Yudhoyono pun menjawab: siapa pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja, dan siapa pemimpin yang hanya berpangku tangan. Menurutnya, mereka senang menonton sambil berkomentar sana-sini. Padahal, yang dibutuhkan adalah kerja keras semua pihak untuk memperbaiki kondisi bangsa. Tentu kritik adalah bagian dari sistem demokrasi. Demikian pula sah belaka jika kritik dibalas dengan kritik lagi. Tak ada yang salah. Saling menuding, maupun menyalahkan pun tak mengapa. Yang penting, semua berada dalam koridor demokrasi. Namun, kenyataan itu menerbitkan tanya: di mana posisi rakyat? Mereka tentu akan menjawab: kami berdebat karena memperjuangkan kepentingan rakyat. Politik memang ibarat panggung. Ketika suatu masyarakat menjadi besar, maka kekuasaan tak lagi personal. Karena demokrasi sesungguhnya adalah keterwakilan. Individu hanya terlibat saat pemilihan. Selebihnya adalah perjuangan kepentingan melalui wakil-wakilnya di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mereka juga menjaring kepentingan publik melalui infrastruktur sosial yang ada. Semua proses checks and balances itu dicermati masyarakat untuk dicerminkan kembali pada proses pemilihan berikutnya. Inilah pemahaman yang esktrem dan simplistis, namun sering itulah kenyataannya. Karena itu, demokrasi butuh produktivitas. Demokrasi hanyalah metode, bukan tujuan. Dengan demikian, kita diingatkan bahwa jika fenomena kritik versus kritik itu dibiarkan keluar dari inti demokrasi maka ujungnya adalah pengabaian terhadap kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi bukan hanya mempersyaratkan prosedur, aturan, dan kelembagaan, tapi juga budaya. Inilah yang menjadi jiwa demokrasi. Sedangkan lainnya hanyalah jasad wadag-nya. Tentu saja budaya ini erat dengan sejarah dan tata nilai masyarakat. Sehingga, kita mengenal beragam varian demokrasi, sesuai dengan sejarah dan nilai-nilai yang berlaku. Celakanya, kita sudah merasa puas dengan mempraktikkan demokrasi wadag. Kita khawatir fenomena kritik versus kritik ini sebetulnya hanya mempertontonkan kelas para pemimpin kita yang masih bertaraf demokrasi baju, bukan demokrasi suara hati. Yang oposisi asal lempar batu, yang berkuasa maunya ditepuktangani saja. Sehingga ketika rotasi kekuasaan terjadi, tak ada kapitalisasi apa pun. Maka, Indonesia hanya jalan di tempat. Padahal, negeri-negeri lain sedang berlari. Tanpa terasa, sumber daya alam kita makin tipis, dan sumberdaya manusia terus terdegradasi. Akhirnya kita hanya menjadi buih peradaban. Jika kita urut lagi ke pangkalnya: apa sih yang membedakan kelompok-kelompok politik kita? Semuanya sama saja. Bandingkan dengan Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika. Atau, Partai Buruh dan Partai Liberal di Australia. Padahal, partai-partai besar di Indonesia telah memiliki basis sosial tradisional yang berbeda, namun ketika berkuasa akan berwajah sama. Kakinya beda, namun kepalanya sama. Jadi, problem kita memang di elite. Mereka adalah manusia wadag tanpa jiwa. Kritik versus kritik yang sedang terjadi masih sebatas silat lidah dari mulut yang sama. Semestinya, setiap periode ada tugas sejarah yang menunggu. Dengan demikian, setiap periode adalah undakan menuju puncak. Itulah produktivitas. Politik yang berbingkai nilai-nilai dan tugas sejarah. Tanyakan pada elite kita: apa kepentingan nasional kita? Jawabnya adalah bingkai yang pecah. wassalam rachmad Independent pemerhati public & media rbacakoran at yahoo dot com