Duri Lapindo di Pasar Baru Porong

(JATAM, 18/07/07) Jum’at minggu lalu, pengungsi banjir lumpur Lapindo di pasar Baru Porong sempat panik. Subuh hari, aliran listrik di kawasan pengungsian itu tiba-tiba padam. Air juga berhenti mengalir.

Warga menduga, kejadian itu lanjutan pernyataan Yuniwati Teryana, Kepala Divisi Humas Lapindo Brantas Inc. dan Hisjam Rosidi, Kadinsos Pemda Sidoarjo - akhir Juli lalu. Untuk membuat pengungsi segera pindah, keduanya menyampaikan rencana akan memadamkan aliran listrik dan air, juga menyetop jatah makan pengungsi sejak 10 Agustus lalu.

Untunglah, sekitar 2 jam kemudian listrik dan air kembali hidup. Jatah makan pengungsi juga datang tepat waktu. Mereka pun lega.

Sehari sebelumnya, beberapa pengungsi mengirim anak-anak balita dan orang lanjut usia untuk mengungsi sementara ke tempat saudaranya, tak jauh dari kawasan tersebut. Beberapa anak, bahkan dilarang orang tuanya pergi sekolah keesokan harinya.

Tak sekali dua, rencana penggusuran ini mereka dengar. Berbagai desakan untuk segera meninggalkan kawasan pengungsian terus datang. Misalnya saat mengurus surat-surat kepemilikan tanah di kelurahan. Petugas-petugas dari Pemda Sidoarjo juga berkali-kali menemui warga, meminta segera mengosongkan Pasar Baru. Mereka juga diadu domba dengan pedagang pasar lama, yang dikabarkan akan segera menempati pasar Baru.

Mengapa para pegungsi ini membuat gusar Lapindo dan pemerintah, hingga berbagai cara mereka usahakan agar pengungsi segera keluar dari pasar Baru Porong?

“Kami ini bagai duri buat Lapindo dan pemerintah”, kata Sunarto, pimpinan pegungsi. “Kami lah pengungsi yang tersisa dari desa-desa yang tenggelam oleh lumpur Lapindo – yang masih terus tinggal di pengungsian. Kami menjadi tanda dan peringatan kepada Lapindo dan pemerintah atas kejadian tersebut dan tanggung jawab mereka”.

Pasar Baru Porong, dipenuhi pengungsi Reno Kenongo. Mereka bertahan, tidak bersedia menerima uang kontrak rumah yang jumlahnya Rp 5 juta setahun, juga menolak uang Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) tanah dan bangunan, yang ditawarkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya – perusahaan yang didirikan Lapindo untuk mengurus jual beli tersebut.

Mereka belajar dari warga Siring, Jatirejo, Kedung Bendo dan sebagian besar Reno Kenongo yang telah menerima uang kontrak rumah Rp 5 juta, biaya evakuasi barang Rp 500 ribu dan Rp 300 ribu untuk biaya hidup per kepala selama 6 bulan.

Setelah menempati rumah kontrakan, umumnya warga tinggal terpencar, masalahnya mereka kesulitan mencari kontrakan dalam jumlah yang banyak di kawasan yang sama. Rata-rata warga berpindah sekitar 10 km, tetapi ada juga yang pindah hingga ke Surabaya, Lumajang, Malang dan Jember – yang jarak tempuhnya sekitar 4 jam.

Setelah pindah kontrakan, mereka harus memikirkan masa depan keluarganya, mencari pekerjaan baru, agar keluarganya bisa makan – apalagi uang kontrakan rumah hanya dibayar dua tahun.

Jikapun terjadi komunikasi antar warga, biayanya cukup mahal. “Biaya untuk konsolidasi warga RT kami saja - mahal sekali, untu sekali kontak saja dibutuhkan Rp 200 ribu, belum biaya transportasi untuk menyebarkan undangan”, ujar Hari Suwandi, wakil ketua RT 8 RW 3 Kedung Bendo.

“Mungkin kami memang sengaja dibuat begitu oleh Lapindo dan pemerintah, dibuat putus asa, tak punya pilihan lain, akhirnya sebagian dari kami mulai menerima tawaran yang disodorkan, masing-masing akhirnya mencari selamat, terpencar– seperti sekarang”, Ujar Khudori, pengungsi pasar Baru Porong, dengan nada sedih.

Sebenarnya, baik Khudori maupun Hari Suwandi, merasa aneh dengan penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo ini.

Ada 11 desa yang tenggelam lumpur Lapindo. Diawal kejadian, penduduk yang tinggal di desa-desa itu disebut sebagai korban, Masing-masing mereka mengungsi, mencari selamat, pindah ke kawasan yang lebih aman disekitarnya. Lapindo mengantinya dengan membayar jatah hidup Rp 500 ribu perkepala selama 6 bulan – dari Lapindo.

Beberapa bulan berikutnya, dimulailah pembicaraan ganti rugi, yang sempat berubah sebutan menjadi ganti untung – yang lantas banyak diprotes berbagai kalangan.

Tapi setahun kemudian, sejak Perpres 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, keluar. Warga tak lagi diperlakukan sebagai korban, tapi lebih mirip mitra jual beli.

“Korban diperlakukan bagai penjual tanah. Malah pembeli yang menentukan pembayarannya. Kami harus kesana-kemari mengurus alat bukti penjualan tanah. Serifikat tanah yang asli harus diberikan ke Minarak, meskipun baru dibayar 20%. Jika tidak, mereka tak mau membayar” ujar Sunarto.

Sejak keluarnya Perpres, tuntutan warga untuk ganti rugi Cash and carry 100%, dijawab menjadi uang muka 20%, sisanya paling lambat akan dibayar sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 tahun habis. Kontrakan rumah akan habis tahun depan. (JM)

--------------------------------------------------------------------
Informasi lain terkait dengan advokasi pertambangan mineral dan energi dapat dilihat di www.jatam.org Dapatkan update informasi dari website kami dengan mendaftarkan alamat email anda sebagai anggota Info Kilat JATAM yang ada di sudut kiri bawah dalam website kami.

=======================
Luluk Uliyah
Sekretariat JATAM
email : [EMAIL PROTECTED]
HP. 0815 9480 246
=======================




Kirim email ke