http://www.tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/
Jumat, 29 Desember 2006 | 18:05:03 WIB 

Ibrahim Fahmy Badoh

Bila Partai Politik Berbisnis
Rabu, 27 Desember 2006 



Pembahasan substansi Paket Rancangan Undang-Undang Politik sedang bergulir di 
tim perumus pemerintah. Dalam diskusi tentang pendanaan partai politik, isu 
kemandirian parpol menjadi hal yang sangat menarik. Diskusi ini bahkan 
memunculkan ide parpol berbisnis sebagai salah satu alternatif memandirikan 
parpol.

Keinginan agar parpol berbisnis oleh mereka yang menganjurkan dipandang dapat 
mendorong kemandirian partai. Jika dibiarkan berbisnis, parpol tidak perlu 
melirik anggaran publik atau menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya di 
parlemen atau birokrasi untuk mengeruk keuntungan demi kas parpol. Di sisi 
lain, yang tidak setuju ide ini justru menganggap partai berbisnis dapat 
membuka peluang korupsi baru. Persaingan sehat tidak pernah akan terwujud di 
dunia bisnis karena bisnis parpol akan mendapat bekingan politik. Bisnis parpol 
juga dapat membuka peluang korupsi jika bermain di ranah publik, seperti ikut 
mengimplementasikan anggaran pemerintah.

Parpol dan bisnis

Peran sektor bisnis dalam mendukung pundi partai sebenarnya bukan hal baru. 
Undang-Undang Parpol Nomor 31 Tahun 2002 memperbolehkan badan hukum, termasuk 
swasta, menyumbang ke pundi parpol maksimum Rp 800 juta. Dalam kampanye 
pemilihan umum legislatif 2004, beberapa parpol bahkan mendapat dukungan yang 
tidak sedikit dari sektor bisnis. Partai Golkar, misalnya, mampu mengumpulkan 
Rp 25,4 miliar dari sumbangan perusahaan. Jumlah ini mencakup 22,5 persen dari 
total pembiayaan kampanyenya. Jumlah ini disusul oleh Partai Amanat Nasional 
(Rp 3,34 miliar), Partai Syarikat Islam (Rp 1,8 miliar), dan Partai Bintang 
Reformasi (Rp 1 miliar). Jika dibandingkan dengan total dana kampanye yang 
dapat dikumpulkan parpol pada saat itu, nilai sumbangan perusahaan cukup 
dominan. PBR memiliki persentase terbesar penerimaan dari sumbangan perusahaan, 
yaitu mencapai 71,3 persen.

Fenomena di atas dapat menjadi ilustrasi sederhana bagaimana karakteristik 
bisnis yang murni pencari laba bertemu dengan kepentingan kekuasaan. Besarnya 
komposisi sumbangan perusahaan dapat dipandang sebagai besarnya kepentingan 
bisnis dalam mempengaruhi kebijakan parpol. Transaksi yang terjadi pada saat 
proses mencapai kekuasaan lewat pemilu dapat berlanjut ketika kekuasaan didapat 
dan diimplementasikan. Otoritas penguasa dalam mengimplementasikan kebijakan 
dapat mudah dipengaruhi kepentingan pengusaha sebagai pamrih dukungan saat 
pemilu padahal dalam posisinya, bisnis sebenarnya berada di luar lingkup 
kekuasaan. Akibatnya, mengubah peran kekuasaan, yang seharusnya berwatak 
pelayanan menjadi berorientasi keuntungan.

Pembatasan sumbangan dari perusahaan dalam Undang-Undang Parpol bermaksud agar 
parpol dapat dibentengi dari pengaruh berlebihan kepentingan bisnis. Bisnis 
harus tetap menempatkan diri sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan 
pembangunan dan harus berada di luar kekuasaan politik. Jika parpol yang selama 
ini menjadi hulu kebijakan pemerintah dibolehkan berbisnis, akan tidak ada lagi 
tirai pembatas antara kekuasaan politik dan kepentingan bisnis serta 
jelas-jelas akan mengancam kebijakan publik untuk kepentingan bisnis partai.

Pengaturan keuangan parpol

Pengaturan dana politik (political finance) seharusnya menempatkan isu 
pendanaan parpol sebagai bagian dari upaya memperkuat sendi demokrasi. 
Pengaturan dana parpol seharusnya tidak hanya didasarkan pada isu kemandirian, 
tapi juga pada persoalan ketimpangan politik, partisipasi politik, dan 
akuntabilitas politik (Nassmacher, 2001). Dalam konteks kemandirian, aturan 
harus menjamin agar aspirasi dan ideologi yang ada di masyarakat dan diwakili 
oleh parpol tetap hidup dan tidak mati suri, apalagi diberangus. Karena itulah 
parpol yang tumbuh harus diberi hak hidup dengan membentuk iuran anggota atau 
menerima subsidi negara. Di Amerika dikenal istilah hard money dan soft money. 
Parpol di tingkat pusat di Amerika dilarang menerima sumbangan dari perusahaan, 
tapi mendapat subsidi negara (soft money) agar lebih mandiri. Sumbangan 
kampanye (hard money) diberikan langsung kepada kandidat. Di Indonesia, subsidi 
negara diberikan berdasarkan jumlah kursi, tapi di beberapa daerah, parpol dan 
ormas juga tetap mendapat anggaran dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. 
Hal ini jelas sangat merugikan partai kecil yang tidak memiliki pengaruh dalam 
proses penganggaran.

Kemandirian parpol juga harus dapat dikaitkan dengan partisipasi politik dalam 
bentuk sumbangan kader dan simpatisan. Semakin besar sumbangan individu, 
meskipun jumlahnya kecil ke partai politik, semakin besar dukungan 
konstituennya. Iuran individu juga harus didorong ke arah demokratisasi serta 
akuntabilitas partai politik, dan parpol memiliki kewajiban 
mempertanggungjawabkan keuangannya kepada konstituen. Kewajiban pelaporan 
keuangan parpol setiap tahun dan kewajiban audit dana parpol yang sudah diatur 
di dalam Undang-undang sebenarnya bermaksud mendorong akuntabilitas keuangan 
politik. Hanya, prakteknya belum optimal karena masih banyak partai yang 
mangkir melaporkan atau tidak memiliki kemampuan membuat laporan keuangan yang 
baik. Proses audit juga belum maksimal karena parpol memiliki kewenangan 
menunjuk auditor sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Auditor yang 
diserahi tanggung jawab audit malah mendapat tugas tambahan memperbaiki laporan 
keuangan sehingga menjadi tidak independen.

Pengaturan parpol berbisnis tidak akan membuat parpol lebih mandiri, tapi 
sebaliknya membuka peluang elite parpol mengeruk keuntungan dari bisnis parpol. 
Kemandirian harus diartikan luas tidak hanya pada kemampuan parpol dalam 
mendapatkan sumber pendanaan, tapi pada pengaruh kepentingan bisnis yang dapat 
mempengaruhi kebijakan parpol. Bisnis parpol juga tidak menjamin politikus dan 
elite partai tidak melirik keuntungan dari kekuasaan yang dimiliki di ranah 
pemerintah dan parlemen. Upaya menaikkan gaji anggota parlemen untuk 
memperbesar setoran politikus ke parpol ternyata juga tidak berdampak langsung 
pada peningkatan kinerja parpol. Buruknya pertanggungjawaban keuangan parpol 
selama ini juga menjadi preseden buruk apakah kekuatan pendanaan dari iuran 
politikus dan kroni parpol benar-benar digunakan untuk membina konstituen serta 
memperkuat fungsi parpol atau hanya mengalir ke elite partai. Ini karena hampir 
semua partai tidak melaporkan pengeluaran dana partainya. Hal yang sama juga 
sangat mungkin terjadi jika parpol berbisnis.

Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK ICW 

Kirim email ke