Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 54 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- PENGALAMAN PERLAWANAN RAKYAT DALAM MEREBUT KEKUASAAN DESA Oleh: E. Musyadad [1] Di Kabupaten Kediri, pemilihan kepala desa (Pilkades) akan dilaksanakan serentak pada 1 Nopember 2007 di 200-an desa. Hal yang sam! a di sekitar 200-an desa di Jombang, yang telah melakukan pemi! lihan ke pala desa secara serentak, tepatnya tanggal 22 Juli 2007 lalu. Kondisi politik ini tentunya menjadi perhelatan yang cukup semarak, khususnya di desa-desa. Semua orang di dua kabupaten ini membicarakan tentang Pilkades. Penyelenggaraan kegiatan politik ini sangat penting bagi mereka yang hidup di desa. Karena, mereka telah belajar banyak dari pemerintahan desa sebelumnya. Mereka mengalami langsung dampak dari kebijakan pemerintah tidak seperti kebijakan pemerintah pusat yang terasa jauh. Mereka mengenal satu sama lain antar aparat pemerintah dan warga. Intinya, relasi kuasa di desa sangat-sangat terasa dan terlihat nyata, dan hubungan psikologisnya sangat mewarnai. Sehingga, mereka berkepentingan secara langsung untuk membicarakan dan menentukan nasib perjalanan desanya kedepan. Di beberapa kelompok baik di Jombang maupun di Kediri, model perebutan kekuasaan desa ini sangat unik dan bisa menjadi contoh baik dalam upaya perlawanan rakyat. Dulu kita menga! nggap bahwa politik itu kotor dan ketika kita mau masuk ke arena kekuasaan tersebut harus berpikir dua kali. Pola pikir anti kekuasaan, secara langsung berpengaruh dalam pola pengorganisasian perlawanan rakyat. Mereka sering kita dorong sesuai dengan pikiran kita, dimana menjadi pemain (aktor) politik itu harus hati-hati. Mereka harus justru dijadikan pemerhati atau pengontrol di lingkungannya. Gagasan membangun alat-alat kekuasaan, memang sudah kita mulai semisal, keinginan kita untuk mendirikan partai. Namun, ide ini kemudian bertabrakan dengan sumber daya kita sediri yang sangat minim dan belum solid. Sehingga, partai kemudian hanya menjadi isu elit baru dalam kerja-kerja pengorganisasian kita. Maka, kita harus berpaling lagi kepada kelompok terkecil kita. Membangun kekuatan dari sekup terlemah dan terkecil. Dari pengalaman ini, jika nantinya dapat berkembang dan meluas, saya kira akan menjadi modal konkrit kita untuk melakukan perebutan kekuasaan yang lebih b! esar. Pengalaman merebut kekuasaan di sekup terkecil (desa) da! lam bula n-bulan ini sangat terasa di Jombang dan Kediri. Dan tanpa kebetulan jika mereka menjadi aktor politik di desanya, karena memang mereka telah menyadari bahwa kekuasaan itu harus diduduki oleh kader atau kelompok mereka sendiri. Kalau tidak ada kader kelompok, bagamaimana eksistensi kelompok bisa mempengaruhi agenda politik desa ini dengan masuk dalam panitia pemilihan maupun Badan Permusyawaratan Desa. Mari saya antar anda ke kelompok muda Balung besok di Jombang. Di desa ini ada sebuah dusun yang bernama Mojosongo dan disana ada segerombol anak muda yang bernama Kelompok Remaja Manunggal Rakyat atau sering disingkat Keramat. Mereka menjalankan agenda rutinan setiap bulan diskusi membahas persoalan desa yang dimata mereka perlu dibenahi. Dalam kesempatan itu, mereka juga mengundang tokoh desa yang sekiranya dapat menyelesaikan persoalan. Kegiatan ini terus mereka lakukan dari bulan ke bulan, dan selalu pindah tempat di desa tersebut. Dalam pertemuan i! ni, mereka juga menjadikan fundraising kelompok dengan mengelilingkan tabungan bumbung yang danamnya untuk organisasi. Pendanaan juga dilakukan dengan memfasilitasi anggota untuk berjualan solar Irek, membuat lapangan parkir, berdagang keliling dan hasilnya disisihkan untuk organisasi Keramat. Pada akhirnya keberadaan mereka mulai mendapat tempat dalam pikiran warga desa. Apalagi, mereka selalu tampil nyentrik dan unik. Karyanya dianggap kreatif. Misalnya, mempekerjakan pemuda pengangguran untuk membuat undangan dari bahan-bahan rosokan. Dalam sela-sela diskusi itu, selalu muncul keinginan Keramat untuk membangun desa mereka. Namun, apa daya kekuasaan yang mereka miliki tidak cukup kuat. Hingga akhirnya, muncul momentum Pilkades. Yang pertama mereka bicarakan adalah bagaimana dari kader mereka masuk dalam struktur kekuasaan desa, baik di BPD, Pantia Pilkades, maupun kelak menjadi Kepala Desa. Akhirnya, dalam rapat Keramat, disusunkah beberapa strateg! i untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam, pemilihan BPD, a! da kader dari Keramat, namun oleh pihak "status quo" digagalkan dengan alasan administrasi tidak lengkap. Kemudian dalam struktur Panitia Pilkades, orang dari simpatisan Keramat masuk sebagai anggota panitia. Perebutan kekuasaan masih diteruskan. Mereka menyepakati untuk mencalonkan Ketua Keramat untuk maju ke Pemilihan Kepala Desa. Maka disusunlah agenda kerja dan tim kerja menyambut pemenangan ini. Satu persatu mereka lakukan dari tahap pendaftaran hingga memasang poster dan selebaran di seluruh pojok kampung. Apa mereka bermodal banyak? Tidak sama sekali. Bahkan ketika harus membuat selebaran, anggota Keramat "bantingan" uang dan terkumpul tidak lebih dari 200 ribu rupiah. Namun, mereka tidak patah arang. Mereka menyusun strategi baru, membuat kontrak politik dan mencari dukungan tanda tangan sebanyak mungkin untuk mengamankan suara dari Calon lain yang menggunakan politik uang. Kontrak politik mereka susun, ada beberapa point yang sangat krusia! l, yakni: menghilangkan BIAYA PUNGLI dalam setiap pengurusan administrasi warga, mengalokasikan DANA KESEJAHTERAAN RAKYAT yang diambil dari tanah ganjaran minimal 1/3 (sepertiga) dari seluruh tanah ganjaran yang diatur dalam Perdes. Kontrak politik ini dibuat dalam selebaran dan ditempel tempat-tempat strategis desa. Selain itu, tim kerja dan calon melakukan door to door ke seluruh warga desa dengan membawa naskah kontrak politik dan lembar tanda tangan sebagai dukungan. Mereka punya cara tersendiri untuk merebut dukungan ini. Nama tokoh-tokoh penting dan berpengaruh yang menjadi "selebritis desa" ditempatkan di urutan awal. Mereka langsung mendukung. Adanya dukungan nama-nama tokoh ini kemudian menjadikan dukungan mereka semakin banyak. Kultur masyarakat desa yang patron, mau tidak mau warga desa mendukung calon dari Keramat ini. Dukungan juga didapat dari warung-warung kopi. Warung kopi di Jombang menjadi budaya masyarakat pinggiran, sehingga terseb! ar di beberbagai sudut desa. Di warung ini mereka mencari oran! g-orang yang selalu tidak puas terhadap pembangunan desa dan kemudian diajak membangun barisan dalam mendukung Calon dari Keramat. Mereka bergerilya tanpa amunisi uang yang cukup, tetapi mereka telah menjadi aktor langsung dalam perebutan politik desa. Kelompok-kelompok seperti Keramat ini banyak sekali yang ada di Jombang. Antar kelompok ini sebelumnya telah melakukan pertemuan-pertemuan, sehingga komunikasi mereka terus terjadi untuk saling berbagi strategi pengorganisasian kelompok. Hal yang sama juga terjadi di Kediri. Kali ini saya antar anda ke kelompok perempuan Sido Rukun di Dusun Dasun Desa Joho Kediri. Di Dasun, dua tahun lalu berdiri kelompok ibu-ibu yang bernama Paguyuban Perempuan Sido Rukun yang berkutat pada pengelolaan sumber daya lokal, yakni pisang, ketela, rosella dan hasil bumi lainnya. Mereka membuat hasil olahan dan secara bersama-sama mereka memasarkan. Disela-sela itu, mereka membuat arisan uang maupun berupa arisan beras yang akhirnya ! diubah menjadi koperasi ibu-ibu yang anggotanya sekitar 60 orang. Paguyuban ini juga mengelola TPA (Tempat Pendidikan Alquran) sebagi respon tidak adanya pendidikan agama di dudun itu. Anggota paguyuban secara bergiliran menjadi gurunya. Dari serangkaian kegiatan mereka, ada persoalan yang sering mereka hadapi, yakni tidak ada dukungan dar pihak pemerintah desa bahkan cenderung menghambat. Di tengah budaya patriarki dan feodal yang hidup di desa, mereka mencoba untuk berbuat sesuatu atas desanya. Dan akhirnya momentum itu datang juga, yakni Pilkades bulan November 2007 mendatang. Mereka membicarakan persoalan ini. Jauh sebelumnya Paguyuban tidak punya pikiran untuk masuk dalam wilayah politik desa, karena melihat pelaku politik desa terasa seperti orang-orang hebat. Banyak uang dan punya pengalaman politik sebelumnya. Namun, hal ini tidak membuat mereka berhenti berharap untuk membangun desanya. Akhirnya, muncul Ketua paguyuban yang bernama Lastri untuk maju dal! am bursa pemilihan. Lastri ini umurnya baru 29 tahun dan mempu! nyai sat u anak. Tetapi, anggota paguyuban melihat sosok ini sebagai orang yang jujur dan bertanggung jawab. Pengalaman mengomandoi paguyuban menjadi referensi anggota untuk mencalonkan diri. Akhirnya, dibentuklah tim inti pemenangan di Joho. Mereka memetakan suara yang ada berdasarkan dasa wisma, organisasi terkecil yang selama ini dibentuk negara. Di akhir kerjanya, tim menyimpulkan untuk dusun Dasun saja, suaranya sudah menang sekitar 80%. Persoalannya bagaimana dengan tiga dusun lainnya? Tim inti bergerak ke dusun lain. Kebetulan, sepak terjang Paguyuban Perempuan Sido Rukun sudah banyak didegar, sehingga mereka dengan mudah membangun kontak. Di salah satu dusun, Nongkopait, kegiatan paguyuban ini menginspirasi kelompok ibu-ibu membuat koperasi, bahkan anggotanya lebih banyak. Pertemuan kemudian dirancang untuk membuat kerjasama antar koperasi ini. Ketika membutuhkan referensi pengalaman koperasi, Paguyuban Dasun dengan senang hati membaginya. Relasi ini m! au tidak mau menjadi ikatan baik dan kemudian bersatu untuk memenangkan pemilihan Pilkades ini. Suara tentang pencalonan Lastri, perempuan desa ini, semakin kuat saja gaungnya. Terlebih adanya lomba yang diadakan pemerintah kabupaten Kediri tentang "keberhasilan kelompok usaha di desa". Dan kebetulan Lastri dan paguyuban perempuannya menang dan menjadi wakil Kediri menuju Provonsi. Suaranya tambah melambung tinggi. Perempuan-perempuan tersebut telah merubah wajah desa justru sebelum adanya Pilkades. Mereka sudah berlajan dalam ril kemenangan. Dan sekali lagi, keberhasilan kelompok-kelompok desa ini tidak hanya berjalan sendiri di Kediri. Mereka telah punya jaringan belajar antar kelompok. Sehingga, banyak kelompok yang melakukan hal yang sama, merebut kekuasaan desa dengan memulai mengorganisir kelompok kecil di desanya. Wacana Pilkades Bersih, Pilkades Damai, dll memang terus digulirkan oleh pemerintah maupun kelompom sosial l! ainnya. Memang semua orang menginginkan Pilkades tidak lagi sa! rat deng an konflik dan politik uang. Ironisnya, upaya ini dianggap tidak lebih seperti 'menggarami lautan', seperti sia-sia saja. Namun, ada harapan besar di beberapa kelompok untuk membangun desanya melalui Pilkades kedepan. Mereka melakukan berbagai inisiatif untuk mewujudkan desa yang mandiri dengan memilih Kepala Desa yang berpihak kepada masyarakat desa. Ketika kita malu-malu untuk membangun negeri ini, kelompok-kelompok di desa justru menjadi aktor dalam perebutan kekuasaan desa. Mereka melakukan aksi dan menyebarluaskan perlawanan rakyat dari wilayah yang sangat konkrit. -------------------------------------------------------------- [1] Penulis adalah staf Perkumpulan Alha-Raka Jombang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari simpul Jombang. [EMAIL PROTECTED]