Mall
Jika tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu
bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan
yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah
putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup
lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan
lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan
busana dan boga.
Sepuluh--bukan, lima--tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga
dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.
Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall
di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa
mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang
tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat,
pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman
saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan
yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan,"
tanyanya, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di
seluruh Jepang?"
Saya menggeleng, dan ia menjawab, "Jumlahnya lebih besar ketimbang
jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh."
Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan
rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah
negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin
jajanan di negeri kaya--mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya
tak perlu bagi hidup manusia.
Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya
hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di
Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya
akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh
tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores.
Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan
seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta
lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama:
sakit dan kematian.
Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan
kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan
ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan
akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja--termasuk mereka yang tak
pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau
Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan
mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi
ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang
dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub
mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5
kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang
rata-rata menghabisi 11,4 kW.
"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang
itu pula, "terlalu sulit, terlalu sulit."
Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia
hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah
usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan
jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak
bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan--tapi kata-katanya masih
terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."
Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca
hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari
seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di
dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut
di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan
menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu--dan tak menenggelamkan Amerika.
Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia
juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur
di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat
lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali
mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami
mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata
seorang pakar, emisi CO2 yang akan datang dari Cina bakal dua kali
lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang,
Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi
anak-cucu kita?
"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih
layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus
diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu miliar orang Cina dan satu
miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga
baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator
kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah
artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai
tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang
selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal
yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu
bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil,
lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi
benda yang sia-sia.
Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala
sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak
akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia
tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.
Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah
dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup
hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar.
Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.
Goenawan Mohamad
(Tempo, 7 Mei 2007)