Bergman
Tuhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi
kemudian beban itu lepas, bahkan jauh sebelum
sutradara film ini meninggal dalam usia
89--dengan nama harum ke seluruh dunia--di Pulau
Farö di Laut Baltik, 30 Juli yang lalu.
Superstruktur keagamaan saya yang berat ke atas
telah runtuh, katanya pada suatu kali--dan ia merasa lega.
Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam
hidupnya, Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker
seorang ayah. Ayah itu pendeta Lutheran Swedia
yang keras, yang tak jarang mengurung Ingmar
kecil di ruang gelap--seperti yang bertahun-tahun
kemudian digambarkannya dalam tokoh Pendeta
Edvard Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih
itu, dalam film Fanny och Alexander (1983).
Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10
tahun. Ia anak yang peka rasa, agak pelamun, dan
terbuka pada khayal yang hidup. Dibesarkan dalam
keluarga Ekhdal yang longgar, sensual, gembira,
dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pendeta
Vergerus, setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi
ibunya: sebuah dunia dengan iman yang teguh, puritan, represif, dan bengis.
Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang
magis dan remang di antara boneka-boneka antik
sebuah keluarga Yahudi. Satu dimensi lain pun
muncul: dalam hidup ada sesuatu yang ajaib dan
mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh dari akidah agama.
Fanny och Alexander, yang mengandung anasir
otobiografis yang tebal, praktis sebuah gugatan
kepada ruang terkunci yang bernama akidah
agama. Masa kecil Bergman--seperti dalam kisah
si Alexander--adalah tahun-tahun yang dirundung
trauma dalam ruang terkunci itu. Salah satu
perasaan yang paling menusuk, bagi Bergman,
adalah perasaan direndahkan. Kini ia melihatnya
sebagai salah satu sebab ia memandang muram
ajaran agama. Ia menentang agama Kristen dengan
sangat, katanya dalam Bergman on Bergman,
Interviews with Ingmar Bergman, karena agama ini
dilekati motif penghinaan yang sangat ganas.
Bagi ajaran agama Kristen yang ia warisi, manusia
adalah pendosa sejak lahir. Ia selalu berada dalam posisi untuk diawasi.
Memang agak aneh, Bergman tak melihat segi lain
dari iman Kristen: adanya keyakinan akan Kasih
dan Penebusan. Mungkin karena dalam hidup Bergman
Tuhan hadir lebih sebagai tiran--dan teramat kuat
pula pembangkangannya lantaran itu. Dalam The
Magic Lantern, otobiografinya, ia mengatakan:
Saya telah bergulat seumur hidup saya dengan
sebuah hubungan yang menyakitkan dan tanpa suka cita dengan Tuhan.
Hubungan yang menyakitkan itu pula yang agaknya
mendasari film Der Sjunde Inseglet (versi
Inggris, The Seventh Seal, 1957). Dalam film ini
aktor Max von Sydow memainkan peran kesatria
Antonius Block yang pulang dari Perang Salib,
letih, murung, dan guncang iman. Diiringi
pembantunya, Jöns, ia kembali ke negerinya yang
dikerkah wabah. Di tengah jalan, Ajal
menjemputnya. Block mencoba menawar dengan
menantang bermain catur: jika ia kalah, ia
bersedia dibawa Ajal pergi. Di sela-sela
permainan itu, ia masuk ke sebuah gereja kecil.
Ia pun mengutarakan kerisauan hatinya kepada
seorang pastor--yang ternyata sang Maut sendiri.
Ajal: Apa yang kau tunggu?
Block: Pengetahuan.
Ajal: Kamu mau jaminan.
Dengan kata lain, Block perlu kepastian--yang ia
beri nama pengetahuan--karena ia berpijak di
sebuah dasar yang sudah guyah. Aku ingin Tuhan
ulurkan tangan-Nya, tunjukkan paras-Nya, bicara padaku.
Block memang di ambang murtad. Tapi siapa yang
gandrung kepada pengetahuan yang menjamin
adanya Tuhan sebenarnya menanggungkan Tuhan
sebagai obsesi. Tak mengherankan bila di depan
seorang perempuan yang dihukum bakar karena
dituduh jadi dukun penyebar sampar, Block hanya
tertarik pada persoalan adakah pada saat
kematiannya wanita itu melihat Tuhan. Sang
kesatria tak tergerak membawakan air untuk si
terhukum. Justru Jöns yang tak beriman yang punya belas.
Dengan kata lain, antara soal Tuhan dan manusia,
mana yang lebih didahulukan? Di satu sisi, kita
saksikan Block dengan obsesi mendapatkan jaminan
tentang Tuhan. Di sisi lain, di bawah matahari
yang cerah, kita lihat hidup sederhana dan
bahagia keluarga Jof, si pemain akrobat, yang tak memerlukan itu.
Saya selalu bersimpati kepada orang seperti
Jöns dan Jof
, kata Bergman. Sebaliknya, ia
memandang obsesi Block sebagai fanatisme: orang
yang pikirannya mengabaikan manusia di dekatnya.
Mungkin itu sebabnya, ketika membuat Vargtimmen
(The Time of the Wolf, 1968) Bergman merasa
menemukan makna kesucian yang lain: dalam manusia
sendiri. Pengertian cinta, katanya, adalah
satu-satunya bentuk kesucian yang bisa kita pikirkan.
Di sekitar masa itulah ia merasakan struktur
keagamaan dalam dirinya, yang berat ke atas,
telah digantikan dengan apresiasi kepada yang ada
di bawah: hidup di bumi yang fana dan penuh
salah, tapi mengandung sesuatu yang suci dan mempesona.
Ia merasa lega. Ketika segi religius dari
kehidupanku terhapus, katanya, hidup terasa lebih mudah dijalani.
Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari
trilogi keimanannya, Såsom I en Spegel (Through
a Glass Darkly, 1961), Nattvardsgästerna (Winter
Light, 1962), dan Tystnaden (The Silence, 1963).
Dalam Såsom I en Spegel, Karin yang menderita
skizofrenia adalah fokus cinta yang tak mudah
dari ayahnya, David. Tapi dengan itu David juga
yang bisa mengatakan bahwa cinta ada di dunia
nyata. Dalam Nattvardsgästerna, Pastor Tomas
Ericsson yang susut imannya akhirnya menjalankan
ritual di gereja kosong itu untuk Marta,
kekasihnya, yang konkret hadir di bangku sunyi itu.
Tanpa persentuhan hati semacam itu, kita akan
hidup dalam keterpisahan, seperti kakak beradik
Ester dan Anna yang menginap di sebuah kota asing
dalam Tystnaden. Artinya, sekali kita memutuskan
Tuhan tak menjawab lagi, neraka adalah orang lain yang tak peduli.
Goenawan Mohamad
(Catatan Pinggir Majalah Tempo, Senin 6 Agustus 2007)