Murtad
Saya tak akan berpindah agama--dan dengan demikian sebenarnya saya
memilih agama saya sekarang. Tapi saya sedih benar mendengar cerita
orang yang dilarang memilih agama yang ingin dianutnya. Saya sedih
mendengar kisah Revathi Massosai.
Perempuan Malaysia ini, yang sudah menikah dan beranak satu, lahir
dari ayah ibu yang beragama Hindu tapi kemudian berpindah jadi
Muslim. Dari pasangan ini ia mendapatkan nama Muslim. Tapi ia
dibesarkan oleh neneknya, seorang Hindu, dan Revathi memilih
mengikuti agama sang nenek. Di Malaysia, ini jadi masalah. Di negeri
itu, orang yang berayah Muslim harus jadi seorang Muslim. Dan sebagai
Muslimah, Revathi dilarang berpindah agama atau menikah dengan
seorang yang tak seiman. Ia dilarang murtad.
Tapi di tahun 2004 Revathi kawin dengan seorang pria Hindu. Pasangan
ini mendapatkan seorang anak perempuan.
Januari yang lalu ia datang ke mahkamah pengadilan agar secara resmi
ia disebut sebagai seorang Hindu. Bukan saja usahanya gagal; ia malah
ditahan para petugas. Ia dimasukkan ke "pusat pemulihan akidah". Dia
ditahan sampai enam bulan. Tujuan para pejabat syariah Islam ialah
untuk menjaganya agar ia tetap berada "di jalan yang benar"--tentu
saja "jalan yang benar" menurut para pemegang otoritas iman di Malaysia.
Selama enam bulan dikungkung itu, ia harus mengenakan jilbab,
menegakkan salat, dan lain-lain. Yang kemudian diceritakannya kepada
dunia ialah bahwa juga kepadanya disajikan daging sapi--sesuatu yang
bagi orang Hindu merupakan pelanggaran.
Pengakuan itu agaknya menimbulkan suara marah dari kalangan Hindu di
Malaysia, dan para advokat pembela penguasa syariah di Negara Bagian
Malaka itu pun buru-buru menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Revathi
tak benar. Mereka yakin, demikian dikutip BBC, bahwa perempuan itu
masih bisa dibujuk untuk tetap tak meninggalkan Islam.
Revathi membantah.
Saya tak tahu, apa yang akan didapat para penguasa syariah Islam di
Malaka itu sebenarnya: seorang Muslimah yang selamat rohnya dari api
neraka, atau jumlah penganut Islam yang tak berkurang, atau seorang
yang hanya pura-pura saja beriman kepada Allah tapi hatinya menderita
dan tak ikhlas.
Saya tak tahu bagaimana orang-orang yang berkuasa di peradilan
syariah itu menafsirkan kearifan terkenal Quran, bahwa "tak ada
paksaan dalam agama".
Saya juga tak tahu pasti adakah segala usaha mencegah seorang dewasa
memilih agamanya sendiri itu merupakan bagian dari politik waswas
yang merundung Malaysia--yang menyebabkan soal identitas "Islam"
dipertautkan tetap dengan identitas "Melayu", hingga agama bukan lagi
diyakini karena kesadaran, melainkan dipegang karena faktor genetik.
Saya orang Indonesia, yang dengan agak bangga bisa mengatakan, di
negeri ini keislaman tak secara otomatis dikaitkan dengan ras. Iman
bukanlah sesuatu yang otomatis. Agama adalah akal, kata Nabi. Akal
mengimplikasikan kemerdekaan berpikir dan memilih.
Memang harus saya katakan, saya seorang Muslim karena orang tua saya.
Tapi saya sebenarnya bebas untuk tak mengikuti garis itu--sebagaimana
orang-orang Arab dulu bebas untuk tak mengikuti kepercayaan nenek
moyang mereka dan memutuskan untuk mengikuti Rasul Tuhan, dengan
risiko dimusuhi keluarga sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya
sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak
berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam agama saya ada
kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada keburukan
yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa terdiri
atas bab-bab yang paling represif dan buas, tapi juga pasase yang
paling mulia dan memberikan harapan. Agama menyumbangkan kepada
kehidupan manusia secercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan
akan datang, nilai itu--dan segala sifat Allah--tetap memberi
inspirasi. Agaknya itulah yang berada dalam inti iman.
Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang saya pilih
dan Revathi pilih, melainkan bagaimana seseorang tetap berada dalam
inti iman itu--bagaimana ia hidup dan bertindak.
Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan seorang murtad
tak bisa menggugat--sebagaimana tokoh Lazaro yang murtad tak bisa
untuk tak merasa dekat dengan Don Manuel, pastor di kota kecil
Spanyol dalam novel Migel de Unamuno, Saint Manuel Bueno, Sang Martir.
Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah seorang
penolong, penyabar dan--menurut sang pencerita--suka mendahulukan
"mereka yang paling malang, dan terutama mereka yang membangkang".
Tapi ia juga padri dengan mata sedih. Pandangannya meredup ketika ia
mengatakan kepada seorang anak bahwa orang harus percaya kepada Neraka.
Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya menghormatinya dan
jadi pembantunya. Berdua mereka merawat yang sakit, menemani yang
kesepian, memberi makan yang lapar, menghibur yang berduka.
Pastor itu tak meminta Lazaro tetap jadi seorang Kristen. Ia hanya
minta agar pemuda itu "berpura-pura percaya", meskipun tetap tak
beriman, sekadar agar tak membuat heboh penduduk kota kecil itu. Don
Manuel tak mendesakkan kebenaran, sebab kebenaran, seperti pernah
dikatakannya kepada Lazaro, "mungkin sesuatu yang begitu tak
tertanggungkan, begitu mengerikan, begitu mematikan, hingga
orang-orang biasa tak dapat hidup dengan itu".
Ia sendiri mungkin tak percaya akan neraka; ia bersedih bila Tuhan
membalas dendam. Tapi ia tak hendak meninggalkan agamanya,
sebagaimana ia membiarkan Lazaro murtad. Pada saat yang sama, seluruh
laku hidupnya menunjukkan bahwa harapan bisa terjadi--harapan sebagai
bayang-bayang Tuhan yang hadir dalam tiap perbuatan baik dan ikhlas
bagi mereka yang luka dan diabaikan.
Goenawan Mohamad
(Tempo, 23 Juli 2007)